Pemilu nasional 2014 telah berlangsung relatif aman dan lancar, tetapi, sayangnya, masih mempertontonkan politik minus ideologi. Sejak dimulainya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang dimungkinkan untuk diusung gabungan parpol, urgensi identitas ideologi dalam praktik politik di Indonesia telah terpinggirkan oleh kepentingan pragmatis kontestasi elektoral dan hasrat menduduki kursi kekuasaan.
Hampir tak ada parpol yang berlaga dalam Pemilu 2014 yang eksplisit menampilkan diri sebagai partai ideologis. Hal ini bahkan merambah hingga ke pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Parpol adalah salah satu instrumen penting dalam praktik demokrasi. Ia wadah bagi kelompok masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, yang semestinya didasarkan filosofi yang dirumuskan dalam bentuk ideologi tertentu yang dipahami dan dimaknai sebagai nilai-nilai yang baik oleh kelompok masyarakat.
Dalam sejarah berdirinya negara Indonesia, sebelum berkuasanya rezim Orde Baru, kita telah mempraktikkan demokrasi dengan menyelenggarakan pemilu yang diikuti banyak parpol yang mengusung ideologi berbeda-beda. Ada yang bulat-bulat diambil dari negeri asalnya, yaitu apa yang disebut sebagai ideologi beraliran kanan dan kiri. Umumnya partai kiri diasosiasikan sebagai partai yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat jelata, sedangkan partai kanan lebih condong kepada kepentingan para bangsawan dan kalangan atas.
Dalam praktik politik Indonesia kontemporer, ideologi kepartaian cenderung melebur menjadi satu. Ini gejala khas Indonesia yang mungkin tak banyak ditemukan di negara demokrasi lain. Akibatnya sekarang sulit bagi publik membedakan mana sebenarnya partai berideologi Islam dan mana partai berideologi nasionalis walaupun mungkin dalam anggaran dasar masing-masing disebutkan ideologi yang dianut. Kekaburan identitas ideologis partai ini dalam batas tertentu merupakan residu dari dampak penerapan asas tunggal Pancasila yang dulu dipaksakan rezim Orde Baru.
Padahal, sejatinya ini adalah dua spesies yang berbeda. Ideologi parpol seharusnya hanya terkait dengan pilihan cara, sementara Pancasila lebih merupakan falsafah hidup bersama yang dianut seluruh rakyat sebagai satu bangsa.
Apabila semua partai dipaksakan harus menggunakan ideologi yang sama tanpa kebebasan menentukan pilihan cara, sebenarnya pendirian parpol menjadi kehilangan makna. Inilah salah satu dosa sejarah terbesar dari kebijakan politik rezim Orde Baru yang masih membebani generasi sekarang. Alih-alih memperjuangkan ideologi tunggal demi persatuan bangsa, yang terjadi justru sebaliknya. Absennya ideologi untuk diperjuangkan hanya membuat politik yang seharusnya bertujuan mulia menjadi arena dagang sapi, transaksional. Ini terbukti telah menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme satu dasawarsa terakhir.
Dalam membentuk kelompok dukungan atau yang sering disebut koalisi, partai-partai politik di Indonesia saat ini juga tidak mementingkan persamaan ideologi yang dianut atau perjuangan kepentingan bersama dengan fokus tertentu. Sebagai contoh, Partai Demokrat, yang merupakan partai yang menguasai parlemen dan pemerintahan saat ini, adalah partai berideologi nasionalis. Namun, faktanya, sebagian besar pendukungnya adalah partai-partai berideologi Islam.
Di tengah cairnya ideologi parpol sekarang ini, publik tentu akan mengapresiasi jika pembentukan kabinet oleh presiden baru nanti tak berdasarkan politik transaksional, tetapi menjunjung asas profesionalisme dan meritokrasi. Namun, itu belum cukup menyuburkan kehidupan demokrasi dalam arti sebenarnya. Menyeragamkan ideologi kepartaian berarti mengingkari keragaman masyarakat yang merupakan fakta tak termungkiri.
Mohammad Novrizal Bahar
Dosen Tetap Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Kandidat PhD Universitas Utrecht, Belanda
Dari Kompas Selasa, 22 Juli 2014