Pesan untuk KPK dari Praperadilan Setnov
JUNAEDI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, NUS Research Fellow
Putusan praperadilan Setya Novanto (Setnov) telah membuat geger dengan menjadi perbincangan luas di publik. Termasuk Komisi Yudisial juga bereaksi untuk memeriksa hakim tunggal Cepi Iskandar (Sindonews, 30/9) terkait pelanggaran kode etik.
Tulisan ini tidak akan membicarakan soal potensi pelanggaran kode etik oleh hakim tunggal Cepi Iskandar (hakim Cepi), akan tetapi lebih banyak memperhatikan bagaimana pertimbangan dan petitum putusan praperadilan perkara tersebut.
Akan diungkapkan fakta putusan yang berhasil penulis baca dalam putusan praperadilan tersebut (Putusan No. 97/ Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel.)
Pertama, dalam pertimbangan putusannya (hal 213-215) hakim Cepi menolak argumentasi pemohon untuk menyatakan bahwa penyelidik/penyidik independen KPK tidak dikenal atau tidak sah pengangkatannya.
Dalam pertimbangannya, hakim Cepi berpendapat bahwa KPK tetap berwenang mengangkat penyelidik/penyidik independen, mengingat Pasal 43 ayat 1, Pasal 45 ayat 1, dan putusan MK 109/PUU-XIII/2015. Hal yang menjadi catatan hakim Cepi dalam putusannya adalah pengangkatan tersebut harus memperhatikan UU lain, yaitu KUHAP UU ASN No.5 Tahun 2014 serta tidak menutup kesempatan penyelidik/pe nyidik dari kepolisian dan kejaksaan serta dari PPNS instansi lain.
Dalam hal ini, putusan hakim Cepi telah sangat tepat mempertimbangkan persoalan penyelidik/penyidik yang di angkat sendiri oleh KPK.
Kedua, dalam pertimbangan putusannya yang lain (hal 217), hakim Cepi juga berpendapat bahwa pernyataan terlibat atau tidak terlibatnya seseorang dalam suatu perkara pidana ada lah sudah masuk dalam lingkup pemeriksaan materiil pengadilan, sedangkan praperadilan tidak berwenang dalam memeriksa materiil perkara atau pertimbangan fakta akan keterlibatan seseorang.
Dalam hal ini, lagi-lagi hakim Cepi telah dengan sangat tepat mempertimbangkan tentang per beda an praperadilan sebagai lang kah formil dalam suatu perkara dan bukan pemeriksaan materiil.
Ketiga, dalam pertimbangan putusannya juga (hal 215), hakim Cepi juga telah sangat tepat menolak argumentasi dan permintaan pemohon untuk membatalkan penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto.
Dalam pertimbangannya, hakim Cepi berpendapat bahwa praperadilan tidak berwenang untuk memeriksa atau menyatakan sah tidaknya suatu pencegahan yang dilakukan KPK. Hal ini karena pencegahan tersebut menjadi domain kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, dalam hal permohonan pencegahan, KPK tetap memiliki kewenangan karena permintaan pencegahan KPK dilakukan setelah penetapan tersangka dilakukan.
Keempat, kemudian dalam pertimbangan putusan yang lain (mulai dari hal 218 putusan), hakim Cepi menyoroti perihal penetapan tersangka Setnov yang dilakukan pada 17 Juli 2017, sedangkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan baru dilakukan pada 18 Juli 2017.
Dalam hal itu juga, hakim Cepi menyoroti perihal sprindik (56/01/07/2017) yang diterbitkan pada tanggal yang sama dengan penetapan tersangka. Dalam hal putusan tersebut, hakim Cepi menyoroti bagai mana perolehan dua alat bukti yang cukup sebagai modalitas bagi penetapan tersangka.
Hakim Cepi dalam pertimbangannya juga menyoroti kepatuhan KPK terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) KPKNo. 01/23/2008 perihal prosedur operasi baku kegiatan penyidikan tertanggal 1 Desember 2008.
Praperadilan Bukan Pengadilan Materiil
Doktrin dalam asas legalitas pada hukum acara pidana adalah ketentuan hukum acara berlaku dihitung pada saat proses atau pelaksanaan hukum acara pidana dilakukan. Dalam hal terdapat perubahan hukum acara, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara yang berlaku pada saat proses hukum itu dilakukan atau pada saat pemeriksaan peradilan itu dilakukan.
Dalam hal ini, proses hukum harus dipandang secara keseluruhan. Jadi, teori locus dan tempus dalam perkara Setnov bukan pada perbuatan pidana dilakukan, tetapi proses hukum atau per adilan dilakukan. Karena itu, setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/ 2014 terkait dengan praperadilan, haruslah dimaknai sebagai bentuk perubahan hukum formil pada khususnya, yaitu perubahan tentang wewenang praperadilan terkait Pasal 77 KUHAP menjadi tidak inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, termasuk penetapan tersangka (vide Diktum putusan, hal 110).
Dengan demikian, meskipun tindak pidana yang dilakukan ataupun proses penyidikan telah mulai dilakukan sebelum putusan MK aquo, apabila permohonan praperadilan dilakukan setelah putusan MK aquo, maka hal itu masih termasuk dalam lingkup legalitas yang dimaksudkan di atas.
Mengapa? Karena permohonan dilakukan setelah adanya putusan MK yang memberikan kewenangan terhadap praperadilan untuk memeriksa permohonan sah tidaknya penetapan tersangka. Pemeriksaan praperadilan sejauh mungkin harus menghindari pemeriksaan materiil atau menghadirkan alat bukti materiil (seperti menghadirkan saksi ataupun menghadirkan rekaman yang bermateri muatan materiil) terhadap keseluruhan pasal sangkaan, mengingat hal ini adalah kewenangan majelis pada pengadilan pidana dalam acara biasa.
Kewenangan badan praperadilan adalah me meriksa apakah dalam penetapan tersangka dalam proses penyidikan terhadap tersangka telah sesuai dengan hukum acara yang berlaku atau tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Sebagaimana yang telah di putuskan Mahkamah Konsti tusi bahwa praperadilan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan praperadilan atas penetapan tersangka, karena mahkamah berpandangan bahwa dalam penetapan tersangka yang di lakukan penyidik juga harus merujuk pada apa yang dimaksudkan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti karena hal tersebut sebagai bukti permulaan yang cukup sebagai pintu masuk bagi seorang penyidik dalam menetapkan tersangka.
Dalam hal ini, praperadilan memeriksa apakah penyidik telah menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksudkan sebagai pintu masuk dalam penetapan tersangka, karena pemeriksaan pengadilan melalui praperadilan adalah lebih difokuskan pada penjelasan penyidik atas dua alat bukti yang telah ditemukan tersebut.
Karena itu, waktu pemeriksaan dalam perkara praperadilan hanya diberikan waktu 7 hari atau satu minggu. Hal ini karena pemeriksaan praperadilan tidak lebih jauh dengan memeriksa kebenaran materiil dari perkara yang disidik penyidik.
Dengan adanya praperadilan yang memeriksa penetapan tersangka termaksud, maka dalam hal ini pengadilan memastikan bahwa proses penyidikan yang dilakukan penyidik telah dilakukan berimbang, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti pembanding dalam penyidikan yang dilaku kan penyidik.
Hal inilah di mak sudkan sebagai pengawasan horizontal yang dapat dimaknai sebagai penerapan asas equality before the law dalam proses penyidikan aquo. Karena itu, penetapan tersangka harus didahului dengan pemeriksaan calon tersangka sebelum menetapkan tersangkanya.
Pemeriksaan terhadap calon tersangka tersebut terlebih dahulu didapatkan dua alat bukti yang diperlukan sehingga penyidik yakin dan benar terdapat tindak pidana dan tersangkalah yang dapat disangkakan atas perbuatan pidana tersebut. In casu Setya Novanto berdasarkan fakta putusan dapatlah dilihat bahwa KPK secara prosedural kurang tepat dalam penetapan tersangkanya.
KPK seharusnya bertahap dalam penetapan tersangka, melakukan prosedur, yaitu menerbitkan sprindik, mengirimkan SPDP ke Penuntut Umum, melakukan pemeriksaan alat bukti saksi/ ahli/surat (termasuk calon tersangka, dalam hal ini sebagai saksi), dan berikutnya dalam hal sudah ditemukan dua alat bukti atas petunjuk Jaksa Peneliti, maka selanjutnya dapat menetapkan tersangka serta melakukan berbagai upaya paksa yang diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan selanjutnya.
Pesan
Pesan yang terkandung da – lam putusan praperadilan atas permohonan Setnov dan Putusan MK Nomor 21/PUUXII/ 2014 adalah guna terciptanya suatu tertib administrasi hukum acara penyidikan di berbagai instansi. Praperadilan adalah sebagai badan peradilan yang semata-mata melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik, yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Padahal dalam prosesnya, ternyata ada kekeliruan, maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang bisa memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana sehingga tetap bisa dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar.
Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Sumber: http://koran-sindo.com/page/news/2017-10-06/1/3/Pesan_untuk_KPK_dari_Praperadilan_Setnov