Pemerintah dikategorikan melakukan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa atau Onrechtmatigee Overheidsdaad atau OOD apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap dokter yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit.
Tanggung jawab hukum rumah sakit di Indonesia pada awalnya diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), yang kemudian diperluas materinya dengan Pasal 193 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2023).
Pada dasarnya, rumah sakit bertanggung jawab terhadap kelalaian yang dilakukan oleh dokternya saat menjalankan profesi untuk kepentingan rumah sakit. Hal ini sejalan dengan Doktrin Vicarious Liability. Dalam perkembangannya, Doktrin Vicarious Liability bercabang menjadi Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency. Doktrin Respondeat Superior membatasi pertanggungjawaban hukum rumah sakit hanya terhadap dokter tetap.
Sedangkan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit terhadap seluruh dokternya. Doktrin Respondeat Superior biasanya dipergunakan oleh pengacara rumah sakit untuk membatasi pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Doktrin Ostensible atau Apparent Agency biasanya dipergunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Akibatnya, Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency saling bertempur di pengadilan. Hal ini terlihat di dalam beberapa putusan pengadilan tahun 2010-2023.
Dalam Undang-Undang Rumah Sakit Pasal 6, diatur mengenai tanggung jawab hukum Pemerintah dan kemudian dipertegas dalam Undang-Undang Kesehatan 2023. Namun, praktiknya, apabila terjadi sengketa medis di rumah sakit, tanggung jawab Pemerintah belum tersentuh dalam proses hukum. Hal ini terlihat dalam beberapa putusan pengadilan tahun 2010-2023.
Pembahasan mengenai pertanggungjawaban hukum rumah sakit menjadi menarik apabila dibandingkan dengan teori-teori yang lahir dan berkembang di Amerika Serikat, dengan alasan: (1) Tonggak awal pertanggungjawaban hukum rumah sakit terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus Bing v. Thunig yang diputuskan oleh New York Court of Appeals pada tahun 1957. Meskipun demikian, sebelumnya, Amerika Serikat telah mengenal Doktrin Charitable Immunity sejak tahun 1876; (2) Informed consent pertama kali dikenal dalam putusan hakim Benyamin Cardozo pada kasus Schloendorff v. New York Hospital tahun 1914; (3) Standar Profesi Medis, pertama kali diterapkan oleh Hakim Tindall CJ dalam kasus Lamphier v. Phipos tahun 1838 di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.
Doktrin Charitable Immunity menempatkan rumah sakit sebagai lembaga amal dan kebal hukum. Doktrin ini didukung oleh Trust Fund Theory dan Implied Abandonment Theory. Trust Fund Theory menyatakan dana atau sumbangan dari donatur kepada rumah sakit bertujuan untuk menolong orang sakit, tanpa mengharapkan imbalan, dan bukan untuk tujuan lainnya. Implied Abandonment Theory menyatakan pasien menanggung risiko kelalaian akibat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit dan melepaskan haknya atas ganti kerugian karena telah menerima manfaat dari rumah sakit. Doktrin Charitable Immunity dalam perkembangannya memisahkan pertanggungjawaban hukum rumah sakit dan dokter. Rumah sakit tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum karena merupakan lembaga amal, sedangkan dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum karena merupakan kontraktor independen. Inilah awal mula lahirnya Independent Contractor Doctrine yang berpotensi menjadikan dokter sebagai aktor utama, bahkan aktor tunggal dalam sengketa medis di rumah sakit.
Perkembangan berikutnya, lahirlah Deep Pocket Theory yang menargetkan dokter sebagai pihak yang berkantong tebal dan dapat dimintakan ganti kerugian atas sengketa medis di rumah sakit. Namun, dalam perjalanannya, Deep Pocket Theory ini mengalami reorientasi terhadap pihak yang dijadikan target permintaan ganti kerugian karena beranggapan kantong dokter kurang tebal apabila dibandingkan dengan kantong rumah sakit. Deep Pocket Theory kemudian memfokuskan targetnya terhadap rumah sakit sebagai pihak yang dianggap berkantong tebal dan layak untuk dimintakan ganti kerugian atas kelalaian yang dilakukan oleh dokternya. Kondisi ini merupakan awal dari lunturnya Doktrin Charitable Immunity dan awal kelahiran Teori Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit.
Doktrin Respondeat Superior merupakan wajah awal pertanggungjawaban hukum rumah sakit, meskipun pada awalnya ada 5 doktrin yang menentangnya yaitu The Doctrine of The Rule of Fellow Servants, Defense of The Unholy Trinity, The Borrowed Servant Doctrine, The Captain of The Ship Doctrine, dan tentunya adalah Independent Contractor Doctrine yang berusaha untuk menjadikan dokter sebagai aktor tunggal dalam sengketa medis di rumah sakit. Doktrin Respondeat Superior seringkali diterjemahkan sebagai: Responsibility Without Fault, Let The Master Answer, Look To The Man Higher Up, Let The Superior Respond.
Hal utama yang harus diperhatikan terkait dengan penerapan Doktrin Respondeat Superior adalah adanya perintah dan larangan dari majikan kepada bawahan yang relevan dengan ruang lingkup pekerjaan. Oleh karena itu, Doktrin Respondeat Superior kemudian memunculkan Actual Control Theory. Dalam kasus Sloan v. Metropolitan Health Council of Indianapolis, pengadilan menerapkan Doktrin Respondeat Superior karena: (1) malpraktik medis dilakukan oleh dokter yang dipekerjakan oleh rumah sakit dan terjadi pada saat dokter melaksanakan tugas dalam ruang lingkup rumah sakit; (2) dokter menerima gaji secara rutin tiap bulan dan merupakan dokter tetap dari rumah sakit, (3) dokter melakukan tindakan upaya medis terhadap pasien yang terdaftar di rumah sakit; (4) dokter dalam melaksanakan tindakan upaya medisnya mempergunakan sarana dan prasarana rumah sakit.
Doktrin Respondeat Superior diterapkan dalam hubungan hukum antara rumah sakit dengan dokter tetapnya. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana dengan dokter tidak tetap? Tahap berikutnya adalah munculah Doktrin Ostensible atau Apparent Agency.
Berdasarkan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency, rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dokternya apabila: (1) Rumah sakit menciptakan kesan kepada pasien bahwa rumah sakit tidak hanya menyediakan sarana dan prasarana, tetapi juga menyediakan dokter yang dapat dipilih oleh pasien; (2) Rumah sakit menyediakan dokter yang berafiliasi dengannya, sudah diseleksi sebelum berpraktik dan senantiasa dipantau kualitasnya oleh rumah sakit. Illinois Supreme Court dalam kasus Gilbert v. Sycamore Municipal Hospital 1993 memaknai hal tersebut sebagai holding out dan justifiable reliance. Holding out artinya adalah dokter yang berpraktik di rumah sakit merupakan kepanjangan tangan dari rumah sakit. Justifiable reliance artinya adalah adanya kondisi ketergantungan dari pasien terhadap rumah sakit.
Berdasarkan hasil analisis terhadap putusan pengadilan tahun 2010-2023, pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia mengalami dinamika. Awalnya, rumah sakit membatasi ruang lingkup pertanggungjawabannya berdasarkan 2 hal yaitu: pembatasan pertanggungjawaban hanya terhadap dokter tetapnya dan berdasarkan status bahwa rumah sakit bukan merupakan badan hukum. Kemudian, terjadilah perluasan pertanggungjawaban hukum rumah sakit, dimana rumah sakit tidak hanya bertanggung jawab terhadap dokter tetapnya, tetapi juga bertanggung jawab terhadap dokter tidak tetap.
Salah satu hal yang menyebabkan rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap dokternya adalah karena rumah sakit berwenang membuat SOP yang harus dipatuhi oleh dokter. Dalam perkembangannya, putusan pengadilan semakin mempertegas bahwa rumah sakit mempunyai legal standing untuk dimintakan pertanggungjawaban hukum. Hal ini mengakhiri polemik mengenai siapakah yang berwenang dalam pertanggungjawaban hukum rumah sakit, apakah pemilik rumah sakit, pengelola rumah sakit, direktur rumah sakit, ataukah rumah sakit itu sendiri.
Pada dasarnya sengketa medis yang terjadi di rumah sakit dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu: (1) sengketa medis terkait dengan pelayanan medis yang diberikan oleh rumah sakit dan tindakan medis yang diberikan oleh dokter, (2) sengketa medis terkait dengan pelayanan medis yang diberikan oleh rumah sakit dan tidak terkait dengan tindakan medis yang diberikan oleh dokter.
Untuk sengketa medis terkait dengan pelayanan medis dan tindakan medis diterapkan Doktrin Vicarious Liability. Pada umumnya, gugatan yang diajukan mempergunakan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagai pisau analisis. Berdasarkan hasil analisis terhadap putusan pengadilan tahun 2010-2023, mayoritas pertanggungjawaban hukum rumah sakit secara keperdataan mendasarkan pada PMH yaitu sebesar 98,6%, sedangkan minoritas mendasarkan pada Wanprestasi yaitu sebesar 1,4%.
Tindakan medis merupakan ranah pertanggungjawaban hukum dokter, tetapi penyelenggaraan pelayanan medis di rumah sakit merupakan ranah pertanggungjawaban hukum rumah sakit. Meskipun berbeda, tetapi kedua pertanggungjawaban hukum ini berhubungan erat. Pada saat dokter terbukti melakukan kelalaian dalam tindakan medisnya, misalnya disebabkan karena lack of skill, maka hal tersebut dapat menimbulkan pertanggungjawaban hukum bagi rumah sakit. Hal ini dikarenakan rumah sakit dibebani dengan kewajiban untuk menjamin kualitas dari dokter yang melakukan tindakan medis di rumah sakit (kredensial dan re-kredensial). Pasien yang datang ke rumah sakit mempercayakan kualitas dokter sepenuhnya kepada rumah sakit.
Untuk sengketa medis yang hanya melibatkan pelayanan medis dan tidak melibatkan tindakan medis dapat diterapkan Pertanggungjawaban Terpusat (Central Responsibility), dimana rumah sakit bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, tidak melibatkan dokter.
Pemerintah dikategorikan melakukan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa atau Onrechtmatigee Overheidsdaad atau OOD apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap dokter yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit. Salah satu parameter untuk menyatakan bahwa Pemerintah gagal atau kurang maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap dokter adalah apabila terjadi lack of skill atau beban kerja dokter yang overload pada saat melaksanakan tugas profesinya.
Pemerintah juga dapat dikategorikan melakukan OOD apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap rumah sakit, misalnya apabila rumah sakit gagal dalam melaksanakan duty of care dengan baik. Regulasi secara tegas telah membuka kemungkinan mengenai kewajiban Pemerintah untuk memberikan ganti kerugian terkait dengan OOD, tetapi dalam penerapannya terdapat permasalahan yaitu: (1) adanya disharmoni kebijakan dan regulasi, (2) absennya peraturan pelaksana, (3) ketidaktegasan pertanggungjawaban pribadi dan jabatan, (4) peraturan yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/pertanggungjawaban-hukum-pemerintah-dan-rumah-sakit-dalam-penyelesaian-sengketa-medis

