"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Peradilan Khusus Profesi Medis, Sebuah Keniscayaan Oleh Wahyu Andrianto

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Peradilan Khusus Profesi Medis, Sebuah Keniscayaan Oleh Wahyu Andrianto
Peradilan Khusus Profesi Medis merupakan sebuah keniscayaan dalam penyelesaian sengketa medis. Ada beberapa hal atau karakteristik yang mendasari hal ini. Namun, karena keterbatasan ruang, Penulis hanya akan membahasnya dari Hukum Perdata.
Pada dasarnya, subjek pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit mengandung 4 (empat) unsur atau elemen, yaitu pasien, rumah sakit, tenaga kesehatan dan tenaga medis (dokter), dan Pemerintah. Pasien sebagai subjek pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit dibedakan lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
  • Pertama, pasien dalam posisi dan kondisi sebagai person atau orang yang membutuhkan pertolongan atau tindakan medis (biasanya disebut dengan orang sakit);
  • Kedua, pasien dalam posisi dan kondisi sebagai person atau orang yang tidak membutuhkan pertolongan atau tindakan medis tetapi mengakses pelayanan kesehatan (misalnya adalah orang yang melakukan konsultasi kesehatan, orang yang melakukan konsultasi kehamilan dan perencanaan kehamilan, orang yang melakukan medical check up dan general check up).
Hubungan hukum antara pasien dan Rumah Sakit dalam penyelenggaraan praktik kedokteran di Rumah Sakit disebut dengan perikatan medis. Hal utama yang harus dijadikan pedoman adalah perikatan medis merupakan hukum perdata khusus dan bukan hukum perdata umum. Perikatan medis merupakan hukum perdata khusus karena karakteristik dari perikatan medis berbeda dengan perikatan dalam perdata umum. Menurut peneliti, beberapa karakteristik dasar dari perikatan medis adalah:
  • Pertama, perikatan medis merupakan sebuah perikatan yang membedakan antara perikatan tindakan medis dan perikatan layanan medis. Karakteristik dari ikatan tindakan medis selalu mendasarkan pada upaya maksimal (Medical Effort Theory).
  • Kedua, perikatan medis yang merupakan perikatan tindakan medis, mendasarkan pada informed consent sebagai perwujudan persetujuan pasien terhadap upaya tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. Dalam informed consent, “satu pihak bersetuju, pihak lain berkewajiban” (one party agrees, the other party has an obligatio).
  • Ketiga, kegagalan dalam pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai malapraktik medis karena beberapa hal, yaitu: sifat dari perikatan tindakan medis yang merupakan upaya maksimal sehingga yang diharapkan dari perikatan tindakan medis adalah adanya upaya maksimal sesuai dengan standar (baik standar pelayanan, standar profesi, maupun standar prosedur operasional) dan kebutuhan medis pasien.
  • Keempat, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari faktor risiko medis karena dalam setiap upaya tindakan medis selalu terkandung risiko medis dengan prevalensi kemungkinan terjadi risiko yang bervariasi.
  • Kelima, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan medis. Dalam hal ini, dokter telah melaksanakan tindakan medis sesuai dengan standar tetapi terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya sarana prasarana medis di rumah sakit tidak berfungsi optimal, listrik mati dan genset tidak langsung bekerja, tertukarnya Gas O2 dan Gas CO2 di instalasi kamar operasi yang disediakan oleh Rumah Sakit, meledaknya tabung oksigen dan tabung anestesi, serta berbagai bentuk kecelakaan medis lainnya.
  • Keenam, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya contributory of negligence, yaitu kontribusi kesalahan pasien. Misalnya adalah: pasien tidak mematuhi rujukan yang telah ditetapkan dan direkomendasikan oleh rumah sakit, pasien tidak mematuhi nasihat dari dokter untuk melakukan konsultasi rutin setelah dilakukan tindakan medis, pasien melakukan pengobatan alternatif atau berobat ke tempat lain yang tidak direkomendasikan oleh dokter dan rumah sakit.
Tindakan medis merupakan ranah pertanggungjawaban hukum dokter, tetapi penyelenggaraan praktik kedokteran merupakan ranah pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit. Meskipun berbeda, tetapi kedua pertanggungjawaban hukum ini berhubungan erat. Pada saat dokter terbukti melakukan kelalaian dalam tindakan medisnya, misalnya kelalaian yang disebabkan karena lack of skill, hal tersebut dapat menimbulkan pertanggungjawaban hukum bagi Rumah Sakit.
Hal ini dikarenakan Rumah Sakit dibebani dengan kewajiban untuk menjamin mutu atau kualitas dari dokter yang bekerja dan/atau melakukan tindakan medis di Rumah Sakit. Pasien yang datang ke Rumah Sakit mempercayakan kualitas dokter sepenuhnya kepada Rumah Sakit.
Sebelum melakukan pengobatan atau mengakses pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Rumah Sakit, pasien tidak mengetahui dan tidak mungkin untuk mengakses kualitas atau mutu dokter yang bekerja di Rumah Sakit. Pasien mempercayakan proses kredensial, audit medis, kendali mutu dan penjaminan mutu yang dilakukan oleh Rumah Sakit.
Menurut Penulis, dalam pertanggungjawaban hukum Rumah Sakit, Wanprestasi dapat diterapkan terkait dengan perjanjian yang diimplementasikan antara pasien dan Rumah Sakit. Perjanjian ini bukan dalam ranah penyelenggaraan praktik kedokteran, tetapi berada dalam wilayah duty of care Rumah Sakit, khususnya penggunaan fasilitas dan sarana prasarana Rumah Sakit.
Misalnya: Perjanjian Rawat Inap. Pasien rawat inap sebelum dilakukan perawatan selalu didahului dengan perjanjian rawat inap (salah satunya adalah mengenai tipe kamar dan fasilitas yang dipilih oleh pasien). Lebih lanjut, menurut Penulis, dalam perikatan medis dapat diterapkan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) yang karakteristiknya berbeda dengan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) secara umum, yaitu:
Pertama, terkait dengan “kealpaan” atau “kelalaian” dalam Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) secara khusus, unsur yang harus dibuktikan adalah adanya penyimpangan terhadap Standar (baik Standar Pelayanan, Standar Profesi maupun Standar Prosedur Operasional) dan pemenuhan terhadap kebutuhan medis pasien.
Untuk membuktikan adanya penyimpangan tersebut dapat dilakukan melalui perbandingan (diperbandingkan) dengan dokter lain dengan kemampuan rata-rata average yang sama dan dalam situasi kondisi yang sama. Sedangkan untuk membuktikan pemenuhan kebutuhan medis pasien adalah dengan menganalisis perbandingan yang proporsional antara tindakan medis atau layanan medis yang dilakukan dengan tujuan dari tindakan medis atau layanan medis.
Tindakan medis atau layanan medis yang berlebihan dan tidak proporsional, berpotensi digolongkan sebagai defensive medicine. Sedangkan tindakan medis atau layanan medis yang tidak memenuhi upaya maksimal, berpotensi digolongkan sebagai penyebab malpraktik medis.
Kedua, Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) secara khusus dimungkinkan dan diperbolehkan dalam beberapa hal bertentangan dengan hak orang lain dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan pada dasarnya dapat dipersamakan dengan tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Namun, unsur penganiayaan ini menjadi terhapus karena adanya 3 (tiga) hal yaitu: Pertama, dalam pelaksanaannya didasarkan pada informed consent; Kedua, sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis (dalam hal ini, tindakan pembedahan dilakukan sesuai dengan standar, baik standar pelayanan, standar profesi maupun standar prosedur operasional); Ketiga, tindakan pembedahan ditujukan untuk suatu tujuan yang konkret, yaitu kebutuhan medis pasien.
Ketiga, Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) secara khusus dimungkinkan untuk dilakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Contohnya adalah tindakan medis yang berupa aborsi. Pada dasarnya, aborsi bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Namun, aborsi diperbolehkan apabila bertujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu.
Meskipun dalam aborsi ini konsekuensinya adalah menghilangkan nyawa janin yang dikandung oleh ibu. Tindakan medis ini bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan karena salah satu amanah dari Kode Etik Kedokteran Indonesia mewajibkan setiap dokter untuk menghormati hak hidup setiap makhluk insani.
Tetapi, dalam kondisi kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, dokter diperkenankan oleh Doktrin (Doktrin Life Saving) dan Peraturan Perundang-Undangan untuk melakukan tindakan penyelamatan (khususnya terhadap ibu), dengan konsekuensi menghilangkan nyawa janin yang dikandung oleh ibu.
Terakhir, Penulis menyimpulkan. Pembentukan Peradilan Khusus Profesi Medis penting dan sangat dibutuhkan agar masyarakat terhindar dari praktik penegakan hukum yang sesat dan tidak terukur yang diakibatkan oleh perbuatan para hakim yang berlatar belakang Sarjana Hukum dan kurang memahami dunia praktik ilmu pengetahuan kedokteran.
Beberapa Putusan Pengadilan menunjukkan bahwa hakim tidak mampu membedakan bukti putusan disiplin yang bukan merupakan bukti putusan pelanggaran hukum. Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) oleh beberapa hakim disebut sebagai fakta dan/atau bukti putusan pelanggaran hukum praktik kedokteran.

Jaminan pemeriksaan dan persidangan pengadilan yang objektif serta profesional tentang ada-tidaknya malpraktik medis belum terkonsep dengan baik hingga saat ini. Seharusnya, penegakkan hukum tidak digabung atau dicampurbaurkan dengan penegakkan disiplin profesional dan/atau penegakkan etik praktik kedokteran. Oleh karena itu, Peradilan Khusus Profesi Medis merupakan sebuah keniscayaan dalam penyelesaian sengketa medis.

Sumber: https://kumparan.com/wahyuandrianto/peradilan-khusus-profesi-medis-sebuah-keniscayaan-2291r0NvNGG/full

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI