● RUU Perubahan Iklim butuh instrumen analisis biaya-manfaat.
● Instrumen ini berguna untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara efisien dengan hasil maksimal.
● Analisis biaya-manfaat juga penting untuk menilai apakah suatu rencana kebijakan lebih banyak untung atau ruginya.
Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Perubahan Iklim atau RUU Perubahan Iklim masuk sebagai program legislasi nasional (Prolegnas) 2024–2029, yang kini sudah mulai dibahas di DPR.
Aturan ini semestinya bisa menjawab akar masalah melalui upaya mitigasi—seperti menghentikan deforestasi dan mengatur ketat praktik-praktik industri ekstraktif seperti perkebunan maupun pertambangan, serta mempercepat transisi energi yang berkeadilan.
Selain itu, aturan ini juga harus memastikan aspek adaptasi, membantu masyarakat menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, misalnya melalui perlindungan pesisir dari kenaikan muka laut dan pembangunan infrastruktur yang tangguh terhadap bencana.
Salah satu caranya adalah dengan memasukkan aturan metode analisis biaya-manfaat dalam RUU Perubahan Iklim. Metode ini penting untuk memastikan bahwa rancangan kebijakan tidak hanya memenuhi tujuan hukum, tapi juga membawa manfaat sosial-ekonomi yang optimal dan dapat dipertanggungjawabkan.
Apa itu analisis biaya-manfaat?
Analisis biaya-manfaat atau cost-benefit analysis (CBA) masih jarang sekali dipakai dalam penyusunan undang-undang di Indonesia.
Padahal, metode ini berguna agar pembuat kebijakan bisa mengalokasikan sumber daya yang terbatas seefisien mungkin. Alhasil, manfaat yang diperoleh dari kebijakan bisa benar-benar maksimal, termasuk dalam upaya menghadapi perubahan iklim.
Analisis biaya-manfaat juga penting untuk menilai potensi keuntungan dan kerugian suatu rancangan kebijakan, dengan menghitung dampaknya berdasarkan satuan moneter atau uang.
Metode ini bisa mencegah kesalahan berpikir dalam perancangan kebijakan yang kerap terpaku pada potensi keuntungan semata. Sementara ongkos yang harus dibayar untuk mendapatkan manfaat tersebut, termasuk biaya lingkungan dan kesehatan, justru sering terlewatkan.
Pengabaian biaya ini sering kali membuat kebijakan pemerintah lebih banyak merugikan. Misalnya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejak sebelum berjalan, lembaga Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) telah menghitung program ini akan membebani kas negara.
Besarnya anggaran program MBG yang mencapai Rp70 triliun juga mengorbankan banyak pos lain, termasuk Kementerian Sosial. Anggaran program MBG bahkan setara 90% dari alokasi belanja program perlindungan sosial Kemensos tahun 2024 sebesar Rp78,05 triliun, termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial sembako.
Demi membuat ruang untuk program MBG, pemerintah menangguhkan program pemberian makanan di bawah Kemensos. Padahal, program ini krusial untuk memperluas akses dan memastikan kecukupan gizi kelompok lansia dan disabilitas.
Kini setelah program berjalan, muncul banyak kasus kualitas dan distribusi makanan yang bermasalah, berpotensi membuat tujuan awal program tidak tercapai.
Mengukur biaya dan manfaat lingkungan
Sejumlah negara sudah lebih dulu menganalisis biaya-manfaat dalam perumusan kebijakan mereka, terutama terkait perubahan iklim.
Di Inggris, UK Climate Change Act (2008) menghitung manfaat udara yang lebih bersih, berkurangnya ketergantungan pada energi fosil, serta peluang investasi dan lapangan pekerjaan dari sektor energi terbarukan.
Hasil kajian Kementerian Energi dan Perubahan Iklim Inggris, mengungkapkan kebijakan transisi energi memang berbiaya tinggi—sekitar £324-404 miliar (Rp7.200 – 9.000 triliun) selama 43 tahun (2007-2050). Namun, manfaat yang bisa diperoleh akan jauh lebih besar, berkisar £457-1.020 miliar (setara Rp10 – 22 ribu triliun).
Hasil analisis ini kemudian menjadi faktor penentu yang meyakinkan para pemimpin Uni Eropa mendukung pengesahan European Climate Law (2021).
Undang-undang perubahan iklim di Meksiko (2012) dan Afrika Selatan (2024) juga didahului oleh analisis biaya-manfaat. Kajian membuktikan bahwa manfaat yang didapat dari upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim jelas lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan, bahkan tidak pula menghambat pertumbuhan ekonomi.
Metode ini juga bisa dipakai untuk menghitung kerugian lingkungan yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan.
Di Amerika Serikat, misalnya, teknik ini digunakan untuk menaksir kerugian lingkungan akibat pencemaran tumpahan minyak Exxon Valdez. Nilainya diperkirakan mencapai US$2,8 juta (setara Rp46,1 miliar), dan Exxon akhirnya membayar US$3 juta (Rp49,4 miliar) sebagai ganti rugi kerusakan sumber daya alam dan pemulihan lingkungan.
Keterbatasan analisis
Tanpa analisis biaya-manfaat, pemerintah dan DPR tidak akan mengetahui seberapa besar ongkos yang harus disiapkan serta manfaat dari kebijakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Akan tetapi, analisis biaya-manfaat ini juga punya keterbatasan. Sebab, tidak semua hal bisa diukur dalam bentuk uang.
Akibatnya, jika dianggap terlalu mahal, pemerintah bisa saja menghindari kebijakan penting, terutama hal-hal yang menyangkut keselamatan, kesehatan, dan lingkungan.
Karena itu, analisis biaya-manfaat harus tetap berlandaskan etika dan melindungi hak-hak dasar, seperti hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.
Jadi, pemangku kebijakan sebaiknya memanfaatkan analisis biaya-manfaat sebagai salah satu—tapi bukan satu-satunya—instrumen dalam memutuskan kebijakan.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa biaya yang tinggi tidak bisa menggugurkan kewajiban negara meredam perubahan iklim berikut dampaknya.
Sebaliknya, identifikasi dan analisis biaya-manfaat yang matang bisa membantu penataan ulang peta jalan pembangunan agar lebih strategis, realistis, dan sesuai kapasitas sumber daya dan anggaran yang tersedia.
Selain itu, proses analisis biaya-manfaat perlu dilakukan secara deliberatif. Artinya, pemerintah perlu menyediakan ruang dialog agar masyarakat bisa berpartisipasi dan melibatkan para ahli independen dalam penghitungan analisis.
Dengan begitu, penyusunan kebijakan akan lebih transparan, partisipatif, akuntabel, dan berbasis sains.
Sumber: https://theconversation.com/pentingnya-analisis-biaya-manfaat-dalam-penyusunan-ruu-perubahan-iklim-264345?utm_source=linkedin&utm_medium=bylinelinkedinbutton

