Pembentukan Pengadilan Perdata Khusus Profesi Medis sebuah keniscayaan agar masyarakat dan tenaga medis terhindar dari praktik penegakan hukum yang jauh dari nilai keadilan.
Salah satu perubahan fundamental yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengenai kewenangan dari Majelis yang menangani aspek disiplin. Hal ini diatur dalam Pasal 304-309 UU Kesehatan. Berdasarkan kewenangannya, Majelis berwenang memberikan sanksi disiplin dalam putusannya dan rekomendasi terhadap sanksi pidana maupun perdata (Pasal 306 jo 308 UU Kesehatan). Jadi, kewenangan Majelis ini lebih besar apabila dibandingkan dengan kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang sebelumnya diatur dalam Pasal 55-70 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Dalam pertanggungjawaban perdata, rekomendasi Majelis berupa rekomendasi pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional (Pasal 308 (6) UU Kesehatan). Artinya, tindak lanjut dari rekomendasi ini diserahkan kepada Peradilan Umum yaitu Pengadilan Perdata Umum.
Apakah hal ini menyelesaikan permasalahan dalam pemrosesan hukum perdata terhadap sengketa medis? Menurut penulis, hal ini tidak menyelesaikan permasalahan. Justru, hal ini berpotensi memperpanjang dan memperumit penyelesaian sengketa medis berdasarkan hukum perdata. Apalagi, ditambah dengan belum adanya pengaturan dan kajian mengenai kedudukan hukum dari rekomendasi Majelis dalam proses beracara di pengadilan perdata.
Menyerahkan proses penyelesaian sengketa medis kepada Pengadilan Perdata Umum, artinya mempercayakan proses penyelesaian sengketa medis berdasarkan Hukum Perdata Umum sebagaimana yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Padahal, seharusnya sengketa medis diselesaikan berdasarkan Hukum Perdata Khusus sebagaimana yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dalam bidang medis, yang merupakan lex specialis dari KUHPerdata.
Perikatan medis merupakan Hukum Perdata Khusus karena karakteristik dari perikatan medis berbeda dengan perikatan dalam Hukum Perdata Umum:
Pertama, perikatan medis merupakan sebuah perikatan yang membedakan antara perikatan tindakan medis dan perikatan layanan medis. Karakteristik dari ikatan tindakan medis selalu mendasarkan pada upaya maksimal (Medical Effort Theory). Tindakan medis merupakan perikatan yang bersifat inspanningsverbintennis yaitu perikatan yang prestasinya berupa upaya maksimal, dan bukan menjanjikan hasil (resultaatsverbintennis).
Meskipun tindakan medis tidak menjanjikan hasil, tetapi tindakan medis harus berdasarkan standar (standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional), sesuai dengan keilmuan dan pengalaman dalam bidang medis. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 325/Pdt.G/2017/PN.Sby; Putusan Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim; Putusan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG; dan Putusan Nomor 72/Pdt.G/2020/PN Mks.
Kedua, perikatan medis yang merupakan perikatan tindakan medis, mendasarkan pada informed consent sebagai perwujudan persetujuan pasien terhadap upaya tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien. Dalam informed consent, hubungan hukumnya adalah “satu pihak bersetuju, pihak lain berkewajiban” (“one party agrees, the other party has an obligation”). Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg; Putusan Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG; Putusan Nomor 2811 K/Pdt/2012; dan Putusan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad.
Ketiga, kegagalan dalam pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai malpraktik medis karena beberapa hal yaitu: sifat dari perikatan tindakan medis yang merupakan upaya maksimal, sehingga yang diharapkan dari perikatan tindakan medis adanya upaya maksimal sesuai dengan standar (standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional) dan kebutuhan medis pasien. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 102/PDT.G/2016/PN.Jkt.Brt; Putusan Nomor 577/PDT/2017/PT.DKI; Putusan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk; dan Putusan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM.
Keempat, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari faktor risiko medis karena dalam setiap upaya tindakan medis selalu terkandung resiko medis dengan prevalensi kemungkinan terjadinya risiko yang bervariasi. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI; Putusan Nomor 146/Pdt.G/2019/PN.Ptk; Putusan Nomor 22/PDT/2020/PT.Ptk; dan Putusan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt.
Kelima, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan medis. Dalam hal ini, dokter telah melaksanakan tindakan medis sesuai dengan standar, tetapi terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya sarana prasarana medis di rumah sakit tidak berfungsi optimal, listrik mati dan genset tidak langsung bekerja, tertukarnya Gas O2 dan Gas CO2 di instalasi kamar operasi yang disediakan oleh rumah sakit, meledaknya tabung oksigen dan tabung anastesi, serta berbagai bentuk kecelakaan medis lainnya.
Keenam, kegagalan dari pelaksanaan perikatan medis (khususnya perikatan tindakan medis) tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan terjadinya contributory of negligence, yaitu kontribusi kesalahan pasien. Misalnya, pasien tidak mematuhi rujukan yang telah ditetapkan dan direkomendasikan oleh rumah sakit; pasien tidak mematuhi nasihat dari dokter untuk melakukan konsultasi rutin setelah dilakukan tindakan medis; pasien melakukan pengobatan alternatif atau berobat ke tempat lain yang tidak direkomendasikan oleh dokter dan rumah sakit. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 23/PDT/2018/PT.DKI; Putusan Nomor 182/Pdt.G/2016/PN.JKT.TIM; Putusan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG; Putusan Nomor 369/Pdt/2015/PT Bdg; dan Putusan Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt.
Menurut penulis, dalam perikatan medis dapat diterapkan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) yang karakteristiknya berbeda dengan Perbuatan Melawan Hukum secara umum yaitu:
Pertama, terkait dengan “kealpaan” atau “kelalaian” dalam Perbuatan Melawan Hukum secara khusus, unsur yang harus dibuktikan adalah adanya penyimpangan terhadap standar (standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional) dan pemenuhan terhadap kebutuhan medis pasien. Untuk membuktikan adanya penyimpangan tersebut dapat dilakukan melalui perbandingan (diperbandingkan) dengan dokter lain dengan kemampuan rata-rata average yang sama dan dalam situasi kondisi yang sama.
Sedangkan untuk membuktikan pemenuhan kebutuhan medis pasien dengan menganalisis perbandingan yang proporsional antara tindakan medis atau layanan medis yang dilakukan dengan tujuan dari tindakan medis atau layanan medis. Tindakan medis atau layanan medis yang berlebihan dan tidak proporsional berpotensi digolongkan sebagai defensive medicine. Sedangkan tindakan medis atau layanan medis yang tidak memenuhi upaya maksimal, berpotensi digolongkan sebagai penyebab terjadinya malpraktik medis. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 225/PDT.G/2014/PN.BDG; Putusan Nomor 72/Pdt.G/2020/PN Mks; dan Putusan Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim.
Kedua, dalam Perbuatan Melawan Hukum secara khusus dimungkinkan dan diperbolehkan dalam beberapa hal bertentangan dengan hak orang lain dalam pelaksanaannya. Contohnya, tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan pada dasarnya dapat dipersamakan dengan tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 KUHP. Namun, unsur penganiayaan ini menjadi terhapus karena adanya 3 hal yaitu: Pertama, dalam pelaksanaannya didasarkan pada informed consent; Kedua, sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis (dalam hal ini, tindakan pembedahan dilakukan sesuai dengan standar (standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional); Ketiga, tindakan pembedahan ditujukan untuk tujuan yang konkrit yaitu kebutuhan medis pasien. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 22/PDT/2020/PT PTK; Putusan Nomor 72/Pdt.G/2021/PN Pms; Putusan Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn; dan Putusan Nomor 609/PDT/2021/PT SBY.
Ketiga, dalam Perbuatan Melawan Hukum secara khusus dimungkinkan untuk dilakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan. Contohnya, tindakan medis yang berupa aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu (Doktrin Life Saving). Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan: Putusan Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn; dan Putusan Nomor 609/PDT/2021/PT SBY.
Penulis menyimpulkan pembentukan Pengadilan Perdata Khusus Profesi Medis merupakan sebuah keniscayaan agar masyarakat dan tenaga medis terhindar dari praktik penegakan hukum yang jauh dari nilai keadilan. Ini akibat perbuatan hakim berlatar belakang Sarjana Hukum yang tidak memahami Hukum Kesehatan dan karakteristik praktik ilmu kedokteran baik tindakan medis maupun pelayanan medis. Jaminan pemeriksaan dan persidangan pengadilan yang obyektif serta profesional tentang ada tidaknya malpraktik medis dalam sebuah sengketa medis belum terkonsep dengan baik hingga saat ini.
Hukum Perdata Umum masih menjadi pedoman utama dan landasan kerangka berpikir dalam penyelesaian sengketa medis di Pengadilan Perdata. Seharusnya, penegakan hukum tidak digabung atau dicampurbaurkan dengan penegakan disiplin profesi dan/atau penegakkan etik praktik kedokteran. Karena itu, Pengadilan Perdata Khusus Profesi Medis merupakan sebuah keniscayaan dalam penyelesaian sengketa medis agar terwujud tujuan hukum sebagaimana yang diamanahkan oleh Gustav Radbruch yaitu memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
*) Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/pengadilan-perdata-khusus-profesi-medis-sebuah-keniscayaan-lt674750afeb9e3/