"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Pengabaian Putusan MK dan Uji Kemandirian KPU oleh Titi Anggraini

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Pengabaian Putusan MK dan Uji Kemandirian KPU oleh Titi Anggraini

Butir keenam kesimpulan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), Rabu, 11 Januari 2023 menyebutkan bahwa Komisi II DPR secara bersama dengan Mendagri, KPU, BAWASLU, dan DKPP bersepakat bahwa penetapan daerah pemilihan (dapil) untuk DPR dan DPRD Provinsi sama dan tidak berubah sebagaimana termaktub dalam Lampiran III dan IV UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan PERPPU No.1/2022 tentang Perubahan Atas UU 7/2017, dan menjadi bagian isi dari Peraturan KPU tentang Daerah Pemilihan. Sedangkan dapil DPRD Kabupaten/Kota akan dibahas lebih lanjut secara bersama-sama.
Kesimpulan tersebut sontak menjadi sorotan publik dan awak media, termasuk pula pakar hukum dan praktisi kepemiluan. Isi butir keenam itu dianggap menyimpangi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.80/PUU-XX/2022. Putusan tersebut merupakan hasil pengujian atas UU 7/2017 yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam Putusan tersebut MK menyebut bahwa dapil dan jumlah kursi setiap dapil anggota DPR dan DPRD provinsi adalah konstitusional apabila diatur di dalam Peraturan KPU. Oleh karena itu, MK menyatakan Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 yang memuat dapil dan jumlah kursi setiap dapil anggota DPR dan DPRD provinsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sebelum Putusan itu terbit, sejak Pemilu 2009 melalui UU 10/2008, KPU memang hanya berwenang mengatur pembentukan dapil dan jumlah kursi untuk Pemilu DPRD kabupaten/kota. Sementara untuk dapil dan jumlah kursi Pemilu DPR dan DPRD provinsi kewenangannya berada di tangan pembentuk UU dan langsung ditempatkan dalam lampiran undang-undang yang mengatur pemilu legislatif. KPU hanya mengikuti pembagian dapil dan jumlah kursi DPR dan DPRD provinsi sebagaimana yang diputuskan oleh pembentuk undang-undang.

Prinsip Penataan

Dalam Pertimbangan Hukum Putusan No.80/PUU-XX/2022, MK menyebut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 UU 7/2017 merupakan norma yang menyinari dan mewadahi kebenaran dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak dalam menyusun dapil. Pasal 185 UU a quo mengatur bahwa penyusunan dapil anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan tujuh prinsip. Prinsip tersebut meliputi: 1) kesetaraan nilai suara, 2) ketaatan pada sistem Pemilu yang proporsional, 3) proporsionalitas, 4) integralitas wilayah, 5) berada dalam cakupan wilayah yang sama, 6) kohesivitas, dan 7) kesinambungan. Mahkamah menegaskan agar dalam menetapkan dapil dan jumlah kursi di setiap dapil disusun sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan dapil sebagaimana diatur dalam pasal tersebut.

Penentuan dapil dan evaluasi penetapan jumlah kursi di masing-masing dapil yang diatur dalam Peraturan KPU harus dilaksanakan sejak penyelenggaraan Pemilu 2024 serta untuk pemilu-pemilu selanjutnya. Mahkamah juga memberikan batasan bahwa dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan dapil, misalnya prinsip kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antardapil, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya “harga” kursi dari aspek jumlah suara untuk masing-masing kursi di dapil, namun juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya seperti tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilu. Sehingga, proporsionalitas kursi antardapil, terutama antara dapil di Pulau Jawa dengan dapil di luar Jawa tetap dapat dijaga secara proporsional.

Menurut MK, kewenangan penetapan dapil dan jumlah kursi pada dapil anggota DPR dan DPRD provinsi harus menjadi kewenangan KPU dan diatur dalam Peraturan KPU dilandasi oleh adanya pertimbangan hubungan sistematis antara konstruksi norma pada Pasal 167 ayat (4) dan Pasal 12 UU 7/2017. Di mana secara sederhana korelasi kedua pasal tersebut bisa dipahami bahwa pelaksanaan tahapan pemilu berupa penetapan dapil merupakan tugas dari KPU sebagai penyelenggara pemilu. Apabila dapil ditetapkan sebagai bagian dari undang-undang, berarti pembentuk undang-undang telah mengambil peran dalam penetapan dapil. Padahal, penetapan dapil merupakan suatu tahapan dari penyelenggaraan pemilu yang berada dalam lingkup tugas KPU.

Mempertahankan tugas KPU dalam semua tahapan pemilu sejak awal hingga akhir, menjadi bagian dari upaya menjaga independensi penyelenggaraan pemilu. Sebab, bila terdapat pihak lain yang ikut menentukan tahapan, terbuka kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). MK menilai bahwa benturan kepentingan tersebut amat mudah dilacak dari kebijakan penentuan dapil, terkhusus dapil bagi anggota DPR.

Mahkamah juga mengingatkan bahwa dalam perkembangan penentuan dapil disadari terdapat daerah-daerah yang tidak proporsional dalam pendistribusian jumlah kursi DPR atau ketidakberimbangan jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR. Akibatnya, secara faktual, terdapat sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih besar dibandingkan proporsi jumlah penduduk (over representation) dan terdapat pula sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih kecil jika dibandingkan proporsi jumlah penduduk (under representation). Apabila fakta tersebut tidak diperbaiki, penentuan jumlah kursi akan semakin menjauh dari keadilan keterwakilan wilayah dan prinsip proporsionalitas dalam sistem pemilu proporsional.

Sarah Birch dalam bukunya Electoral Malpractice (2011) menyebut bahwa kecurangan pemilu bisa terjadi antara lain dengan melakukan manipulasi terhadap legislasi pemilu (manipulation of the law). Ada banyak aspek dari legislasi pemilu yang dapat dimanipulasi untuk keuntungan partisan. Manipulasi dapat berupa penetapan batas-batas dapil dengan maksud untuk menciptakan keuntungan yang tidak semestinya bagi partai, kelompok, atau kelas sosial ekonomi di suatu dapil (gerrymandering). Ataupun berupa praktik malapportionment melalui pengaturan sistem di mana satu kelompok memiliki pengaruh yang jauh lebih besar daripada yang lain saat dapil diatur tidak setara antara alokasi kursi dan jumlah penduduk atau pemilihnya, baik over representation maupun under representation (Handley, 2007)

Maka tak heran bila bagi banyak praktisi kepemiluan, akademisi ataupun pemantau pemilu, Putusan MK ini merupakan putusan fenomenal. Putusan yang telah meluruskan arah pengaturan pemilu Indonesia dan memperkokoh praktik pemilu konstitusional dan demokratis sebagaimana dicita-citakan selama ini. Putusan ini memecah kebuntuan di mana upaya penataan dapil selalu terbentur sikap politik pembentuk undang-undang yang melanggengkan praktik menyimpang dalam penetapan dapil dan jumlah kursi Pemilu DPR dan DPRD provinsi.

Terkait kesimpulan Rapat Kerja dan RDP DPR yang bersepakat bahwa penetapan dapil Pemilu DPR dan DPRD Provinsi sama dan tidak berubah sebagaimana termaktub dalam Lampiran III dan IV UU 7/2017 jelas merupakan sikap pengabaian terbuka terhadap Putusan MK No.80/PUU-XX/2022. Pengabaian tersebut tidak bisa dianggap sepele karena merupakan serangan langsung terhadap kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pelemahan MK

Tom Ginsburg, Guru Besar Hukum Internasional dan Ilmu Politik Universitas Chicago, AS, dalam sebuah acara bersama MK di Jakarta (18/8/2022) menyebut terdapat tiga cara dalam pelemahan MK. Mulai dari mengintervensi, mengabaikan, dan mengintimidasi. Ginsburg menguraikan bahwa intervensi dapat dilakukan dengan cara mengganti personel MK. Sedangkan pengabaian dilakukan dengan mengabaikan putusannya. Apalagi mengingat MK tidak memiliki sumber daya serta tidak mampu memaksa institusi lain untuk melaksanakan putusannya. MK mengandalkan pihak-pihak lain untuk mengimplementasikan putusannya.

Untuk intervesi berbentuk penggantian personel, hal itu telah mulus dilakukan DPR melalui pencopotan sewenang-wenang Hakim Konstitusi Aswanto. Hakim Konstitusi ditempatkan sebatas mandataris DPR yang bisa diberhentikan bila DPR tak menghendaki. Terkonfirmasi dari pernyataan Ketua Komisi III DPR yang menyebut pencopotan tersebut akibat kinerja Hakim Aswanto yang mengecewakan karena produk-produk DPR dianulir Aswanto padahal dia wakil dari DPR. Dalam hal ini, parlemen telah menunjukkan hegemoni dan determinasinya atas cabang kekuasaan yudisial yang notabene kemerdekaan dan kemandiriannya dijamin Konstitusi. Sungguh bahaya amat besar bagi praktik negara hukum dan demokrasi Indonesia.

Pengabaian berjamaah Putusan MK sebagaimana tercermin dalam kesimpulan Rapat Kerja dan RDP DPR bisa tereskalasi dalam ancaman lebih besar, yakni gangguan terhadap keadilan Pemilu 2024. Hal itu tak lain karena menimbang kewenangan besar yang dimiliki MK dalam pengujian undang-undang (judicial review) serta dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilu dan pilkada. Terkait yang pertama, sebagai implikasi tidak diubahnya UU 7/2017, maka banyak pihak yang lalu mengandalkan MK untuk melakukan perubahan atas berbagai ketentuan dalam UU 7/2017 yang dianggap tidak demokratis atau bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Bisa dibayangkan jika MK harus bekerja dalam atmosfer dan bayang-bayang ancaman pencopotan yang bisa terjadi sepihak pada para hakimnya. Pasti sulit bagi publik untuk teryakinkan bahwa Hakim MK bisa membuat Putusan sepenuhnya merdeka dan mandiri sesuai apa yang jadi keyakinannya. Pengabaian Putusan MK juga menimbulkan pertanyaan dan keraguan lanjutan, apakah DPR dan aktor-aktor politik akan mau patuh pada berbagai Putusan MK atas pengujian UU Pemilu dan Pilkada yang saat ini sejumlah perkaranya sedang ditangani MK?

Untuk yang kedua, bisa saja muncul spekulasi apakah Putusan MK mengenai penyelesaian perselisihan hasil Pemilu dan Pilkada 2024 akan sepenuhnya ditaati dan konsisten dilaksanakan oleh para pihak berperkara? Keraguan tersebut sangat berbahaya mengingat MK dalam desain keadilan pemilu Indonesia merupakan institusi puncak penyelesaian masalah hukum pemilu yang putusannya bisa berdampak pada keterpilihan calon serta strategis bagi kredibilitas dan legitimasi pemilu.

Dalam situasi ini, maka sudah sepantasnya KPU ambil peran terdepan untuk mencegahnya terjadi. Hal itu mengingat meskipun MK mengatakan dalam menyusun peraturan tentang dapil KPU harus tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah, namun MK juga mengingatkan KPU tentang adanya Putusan MK No.92/PUU-XIV/2016 yang menyebutkan bahwa kesimpulan dari konsultasi antara KPU dengan Pemerintah dan DPR adalah bersifat tidak mengikat. Sebab, KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya membuat Peraturan KPU. Khususnya mengingat KPU adalah lembaga yang bertugas menjamin pemilu dan pilkada terlaksana secara demokratis.

Keberanian KPU mengambil sikap untuk konsisten melaksanakan Putusan MK menjadi salah satu cara terbaik untuk menunjukkan komitmen KPU pada praktik pemilu konstitusional dan upaya sungguh-sungguh mewujudkan keadilan pemilu. Di antara banyak kontroversi dan problem integritas yang menerpa KPU, upaya serius untuk menunjukkan kemandirian KPU dengan cara tidak mengabaikan Putusan MK dalam penataan dapil DPR dan DPRD provinsi diyakini bisa membangkitkan kembali optimisme publik terhadap integritas dan kredibilitas penyelenggara pemilu 2024. KPU jangan takut ataupun ragu.

* ) Titi Anggraini pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-6541200/pengabaian-putusan-mk-dan-uji-kemandirian-kpu

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI