Pemerintah akhirnya bersedia membayar uang diyat yang diminta oleh keluarga korban pembunuhan yang dilakukan Satinah. Tentu kita patut bersyukur karena nyawa Satinah terselamatkan dari hukuman pancung. Menjadi pertanyaan, apakah apa yang dilakukan pemerintah telah tepat?
Preseden Buruk
Lagi-lagi pemerintah telah membuat preseden buruk untuk melakukan pembayaran diyat setelah pada tahun 2011 membayar diyat terpidana mati Darsem. Kali ini memang ada sedikit bedanya, uang yang digunakan tidak semata-mata dari APBN, tetapi dari sejumlah sumbangan termasuk dari masyarakat. Pemerintah telah meninggalkan preseden buruk bagi pemerintahan yang akan datang. Siapa pun yang akan menjadi pemerintah akan dalam posisi dilematis. Bila tidak membayar uang diyat maka seolah kinerja mereka dinilai buruk dibandingkan kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bila mereka membayar, pertanyaannya berapa besar diyat yang akan dimintakan oleh keluarga korban bila kali ini sudah hampir empat kali uang yang dikeluarkan untuk menebus nyawa Darsem. Pemerintah sebenarnya tahu, sebagaimana diungkap oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto, bahwa di belakang tuntutan diyat ada mafia. Pemerintah juga tahu bahwa pemerintah Arab Saudi telah menetapkan batas maksimum untuk pembayaran diyat. Namun, pemerintah telah mengabaikan ini semua karena ingin menyelamatkan nyawa Satinah.
Pertanyaannya apakah benar nyawa Satinah yang hendak diselamatkan? Ataukah ada motivasi lain di tahun politik ini yang tidak terlalu lama lagi akan dilakukan pemilu legislatif? Apakah ini upaya untuk meningkatkan elektabilitas dari partai berkuasa? Semua jawaban tentu hanya di para pengambil keputusan. Pembayaran diyat oleh pemerintah dilakukan, meski Presiden SBY sebagai kepala pemerintah tertinggi beberapa waktu lalu meminta masyarakat untuk mempertimbangkan aspek keadilan bila jumlah diyat yang fantastis harus ditanggung oleh pemerintah.
Menjadi pertanyaan apakah tidak ada koordinasi antara Presiden dan para pembantunya saat diputuskan pemerintah membayar diyat Satinah? Lebih janggal lagi dalam pembayaran diyat, pemerintah telah mengambil posisi sebagai pengacara dan keluarga Satinah dengan melakukan negosiasi ke keluarga korban. Negosiasi dan pembayaran seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan ataupun keluarga Satinah. Dalam konsep diyat, hubungan antara pelaku kejahatan dan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual. Dalam konsep tersebut, tidak seharusnya pemerintah mengambil peran.
Dengan membayar diyat maka pemerintah telah menumbuhsuburkan komersialisasi diyat dengan mafianya. Bahkan, pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan mudah bagi pembebasan Satinah. Padahal, orang bersalah meski derajatnya sangat rendah, seharusnya tetap menjalani hukuman. Dengan pembayaran diyat maka seolah kejahatan yang pernah dilakukan serta-merta hapus. Apakah publik akan mengapresiasi tindakan pemerintah dengan pembayaran diyat? Belum tentu. Publik bisa saja menghukum keputusan tidak tepat dari pemerintah melalui pemilihan legislatif.
Dalam koridor demokrasi, adalah sangat mungkin kemarahan publik disalurkan dengan tidak memilih kembali partai berkuasa. Ke depan, siapa pun yang menjadi pemerintah kelak harus melakukan lima langkah penting terkait diyat. Pertama, pemerintah tidak boleh lemah, mudah tunduk, dan menyerah terhadap apa pun tuntutan dari pemeras, teroris, ataupun pelaku kejahatan. Rakyat Indonesia menginginkan pemerintah yang kuat, cerdas, dan tidak lembek. Kedua, pemerintah harus berkomunikasi dengan pemerintah Arab Saudi atas fenomena pemerasan melalui diyat.
Setelah Satinah, ada lebih dari tiga puluh orang yang menanti hukuman pancung. Adalah tidak mungkin bila pemerintah harus menjadi kasir bagi pembayaran diyat. Pemerintah yang akan datang harus dapat ‘memaksa’ pemerintah Arab Saudi menetapkan batas maksimum diyat. Bila pemerintah Saudi tidak melakukannya, pemerintah akan melarang pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi. Ketiga, para perusahaan pengerahan tenaga kerja harus gencar menyosialisasikan kepada para calon TKI untuk tidak menggunakan kekerasan, apalagi membunuh bila mereka dianiaya atau dizalimi oleh para majikan.
Keempat, pemerintah harus menyosialisasikan nomor kontak perwakilan Indonesia terdekat kepada para TKI. Maka ketika mereka mendapatkan perlakuan tidak wajar dari para majikan, mereka dapat melakukan kontak kepada perwakilan Indonesia. Ini termasuk bila mereka sedang menghadapi proses hukum. Bila perlu, pemerintah harus membangun sistem cell di mana para TKI dapat berhubungan satu sama lain. Ini penting agar ketika TKI sedang menghadapi kesulitan dan enggan untuk mengontak perwakilan, mereka dapat mengontak temannya.
Temannya inilah yang akan mengontak perwakilan. Terakhir, pemerintah harus menghukum para TKI ilegal ataupun orang-orang yang memfasilitasi para TKI ilegal. Mereka harus dibuat jera. Hal ini karena TKI ilegal ketika mendapat kesulitan akan enggan untuk berhubungan dengan perwakilan Indonesia karena statusnya yang ilegal. Padahal bila mereka tidak mendapat pendampingan dan menerima hukuman mati, pemerintahlah yang akan kerepotan. Satu hal yang pasti, pemerintah yang baru tidak boleh mengulang preseden buruk pemerintahan sekarang yang mengambil jalan pintas penyelamatan WNI terhukum mati dengan membayar diyat. Pemerintah sekarang telah kalah dengan tuntutan pemeras!
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dari Koran Sindo Jumat, 04 April 2014