Sekitar sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 17 September, World Patient Safety Day atau Hari Keselamatan Pasien Sedunia diperingati secara nasional dan internasional. Hal ini membuktikan bahwa pasien mempunyai kedudukan yang fundamental, baik secara sosiologis maupun secara hukum.
Di Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum bagi pasien. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, apakah pasien sepenuhnya merupakan konsumen sebagaimana yang dimaksud di dalam Undang-Undang tersebut? Tentunya, hal ini menarik untuk dikaji agar UU Perlindungan Konsumen dapat lebih memberikan kemanfaatan hukum, khususnya bagi pasien.
Definisi mengenai konsumen diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Jadi, “konsumen” yang dimaksud di dalam UU Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir.
Pasien merupakan konsumen akhir sehingga definisi mengenai konsumen yang terdapat di dalam Undang-Undang tersebut selaras dengan definisi mengenai pasien. Namun, hingga saat ini mayoritas orang mempersepsikan pasien sebagai orang yang sakit. Padahal, orang yang sehat juga dapat dikategorikan sebagai pasien apabila mereka mengakses pelayanan kesehatan dan pelayanan medis, di antaranya adalah untuk melakukan tindakan general atau medical check up, konsultasi kesehatan, dan vaksinasi. Hal ini dikarenakan sifat dan ruang lingkup dari pelayanan kesehatan serta pelayanan medis tidak hanya berupa kuratif, tetapi juga meliputi promotif, preventif, rehabilitatif, dan paliatif.
Salah satu hak konsumen adalah hak untuk memilih jasa, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Pasien sebagai konsumen juga berhak untuk memilih akses terhadap pelayanan kesehatan dan pelayanan medis. Namun, hak ini tentunya tidak berlaku mutlak. Hak untuk memilih pelayanan kesehatan dan pelayanan medis akan terhapus bagi: pasien yang kondisinya gawat darurat (emergency) sehingga memerlukan tindakan medis yang sifatnya cito dan life saving (untuk menyelamatkan nyawa pasien); pasien yang mengikuti Program Jaminan Kesehatan Nasional yang harus mengikuti mekanisme rujukan pada saat mengakses pelayanan kesehatan; pasien yang mengikuti asuransi kesehatan swasta yang harus mematuhi ketentuan (polis) dari perusahaan asuransi; pasien yang berada di wilayah dengan sarana prasarana kesehatan serba terbatas; dan pasien dengan keterbatasan kondisi finansial (keuangan).
Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 4 ayat (3) jo Pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen. Ketentuan ini tidak dapat berlaku mutlak bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul “Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie” menjelaskan bahwa terdapat empat kelompok pasien yang tidak memerlukan informasi yaitu, jika terapi menghendaki demikian (terapi palsebo atau suggestive terapeuticum), jika merugikan pasien, jika pasien sakit jiwa, dan jika pasien belum dewasa.
Terapi plasebo merupakan bentuk perawatan yang terlihat seperti terapi medis asli, tetapi sebenarnya tidak menggunakan bahan aktif yang terbukti mengobati penyakit tersebut. Adakalanya, pasien datang kepada dokter dengan berbagai keluhan, misalnya badannya merasa demam, kepalanya merasa sakit, merasa tensinya tinggi, gangguan tidur dan sebagainya. Namun, setelah diperiksa oleh dokter, ternyata kondisinya normal. Pasien sakit hanya karena perasaan dari pasien tersebut (psikhis).
Dalam kondisi seperti ini, dokter akan melakukan terapi plasebo dan seringkali dokter memerankan sosok sebagai psikolog. Pasien diberikan obat, dan anjuran pemakaiannya. Padahal, obat tersebut adalah obat plasebo yang tidak mengandung zat aktif dan tidak berpengaruh terhadap kesehatan (seringkali disebut dengan obat kosong). Terapi plasebo bisa berupa pil, suntikan, atau jenis perawatan lainnya.
Terdapat sekelompok pasien yang dikecualikan dari hak atas informasi karena pemberian informasi tersebut justru akan merugikan pasien (membuat kondisi kesehatan pasien semakin menurun). Biasanya, pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah pasien dengan kondisi stadium terminal (misalnya; penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS dengan kondisi stadium terminal). Pasien dalam kondisi ini (stadium terminal) memerlukan perawatan khusus, yang disebut dengan perawatan paliatif sebagaimana yang diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif.
Bagi pasien sakit jiwa yang terkadang masih memungkinkan untuk berkomunikasi, informasi dapat disampaikan langsung kepada pasien tersebut pada saat kondisinya memungkinkan. Namun, bagi pasien sakit jiwa yang sama sekali tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, maka informasi dapat disampaikan kepada pengampunya. Demikian juga bagi pasien yang belum dewasa, informasi dapat disampaikan kepada orang tua atau wali dari pasien tersebut.
Pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa pelayanan kesehatan yang telah dipergunakannya. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen. Tentunya, penyampaian pendapat dan keluhan tersebut harus melalui mekanisme yang telah diatur di dalam peraturan (biasanya diatur di dalam peraturan internal rumah sakit dan disosialisasikan kepada pasien dalam bentuk standing banner atau poster).
Apabila pasien atau keluarga terdekat pasien menginformasikan kondisi kesehatan pasien (termasuk pendapat dan keluhan) melalui media massa, maka akan menimbulkan dua buah konsekuensi. Yang pertama adalah, pasien dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. Yang kedua adalah, tenaga kesehatan (termasuk tenaga medis) dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan diperkenankan untuk membuka atau mengungkap rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab. Hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantiannya. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (8) jo Pasal 7 huruf (f) dan (g) UU Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen mempertegas pengaturan mengenai ganti rugi dengan menyatakan bahwa pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Ketentuan tersebut (mekanisme dan tenggang waktu ganti kerugian) dalam penerapannya di bidang kesehatan tentunya memerlukan penafsiran dan pemahaman tersendiri (berbeda dengan bidang lainnya) karena tiga hal sebagai berikut.
Yang pertama adalah hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dengan penerima pelayanan kesehatan (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang bersifat inspanningsverbintennis (perikatan yang prestasinya berupa usaha maksimal) dan bukanlah hubungan hukum yang bersifat resultaatsverbintennis (perikatan yang prestasinya adalah hasil). Seorang dokter dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin dan bekerja sesuai dengan Standar Profesi Kedokteran serta tidak dapat dituntut untuk memberikan hasil atau garansi sesuai dengan keinginan pasien.
Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul “Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie” menjelaskan bahwa unsur dari Standar Profesi Kedokteran meliputi: Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama); Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis); Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama); Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama); Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut).
Yang kedua, hubungan hukum antara pemberi pelayanan kesehatan dan pelayanan medis dengan penerima pelayanan kesehatan dan pelayanan medis (misalnya, antara dokter dengan pasien) merupakan hubungan hukum yang bersifat spesifik dan unik. Seorang dokter yang berhadapan dengan 2 orang pasien dengan gejala yang sama yaitu demam, belum tentu akan memberikan terapi dan obat yang sama karena masing-masing individu mempunyai sifat yang spesifik dan unik. Oleh karena itu, jangka waktu ganti kerugian dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi (sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen) harus disikapi secara bijaksana dalam implementasinya karena adanya kondisi spesifik yang berbeda-beda untuk setiap individu.
Yang ketiga, kegagalan dalam tindakan medis tidak semata-mata disebabkan karena malpraktik medis (dokter bekerja tidak sesuai atau menyimpang dari Standar Profesi Kedokteran). Namun, kegagalan tersebut dapat juga disebabkan karena berbagai faktor, di antaranya adalah resiko medis (misalnya: anaphylactic shock, steven johnson syndrome), kecelakaan medis (misalnya: sarana prasarana medis tidak berfungsi dengan baik sesuai standar); atau contributory negligence dari pasien (adanya kontribusi kesalahan pasien sehingga menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis).
Pasal 5 huruf (a) dan (b) UU Perlindungan Konsumen mewajibkan kepada konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian jasa. Dalam bidang kesehatan, kelalaian terhadap hal tersebut dapat dikategorikan sebagai contributory negligence dari pasien. Susan O’Neal di dalam tulisannya yang berjudul “Contributory Negligence in Medical Malpractice: Recent Application in The Context of The Suicidal Patient,” yang dipublikasikan oleh Mississippi Law Journal pada tahun 1999, menjelaskan mengenai tiga bentuk contributory negligence yang berpotensi dilakukan oleh pasien, yaitu: A patient’s refusal to follow a physician’s instructions (pasien menolak untuk mengikuti petunjuk dokter); A patient’s failure to return for follow up (pasien lalai untuk kembali melakukan pemeriksaan lanjutan yang telah dijadwalkan atau pasien lalai untuk melakukan kontrol secara rutin sesuai dengan jadwal kepada dokter); A patient’s failure to convey accurate information to the physician (pasien lalai untuk menyampaikan informasi yang akurat kepada dokter).
Kajian singkat terhadap beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut menyimpulkan bahwa pasien merupakan konsumen yang unik, berbeda dengan mayoritas konsumen lainnya. Sebagai konsumen yang unik, pasien mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri. Semoga UU Perlindungan Konsumen semakin memberikan kemanfaatan dan perlindungan hukum bagi pasien.
*Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/pasien–konsumen-yang-unik-lt635a2dd05c887/?page=all