11 November 2025 – Kasus penculikan dan penjualan anak berusia empat tahun bernama Bilqis, yang sempat dilaporkan hilang selama enam hari sebelum akhirnya ditemukan selamat di Provinsi Jambi, kembali membuka urgensi penanganan serius terhadap tindak pidana perdagangan anak. Setelah pemeriksaan awal menunjukkan adanya dugaan jaringan perdagangan anak lintas provinsi, kepolisian menyatakan rencana untuk melakukan operasi khusus anti-TPPO di wilayah Makassar dan sekitarnya serta memperketat pengawasan di bandara terhadap anak yang bepergian tanpa pendamping. Dalam wawancara yang disiarkan oleh Radio Elshinta News pada 10 November 2025, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, S.H., M.H., memberikan analisis mendalam mengenai akar persoalan, ancaman kejahatan, serta langkah-langkah yang harus diambil agar kasus serupa tidak terulang.
Dalam wawancara tersebut, Akhiar Salmi menegaskan bahwa kasus ini tidak dapat dilepaskan dari motif ekonomi yang kuat serta pola kerja terorganisir. Menurutnya, para pelaku perdagangan anak kerap “selangkah lebih maju” dari perangkat pencegahan yang tersedia, memanfaatkan celah sosial maupun administratif untuk menjalankan aksi mereka. Ia menjelaskan bahwa jaringan seperti ini umumnya mempelajari teknik-teknik perekrutan, penyembunyian, dan pemindahan anak secara sistematis, sehingga penanganannya harus menargetkan jejaring secara keseluruhan, bukan hanya pelaku lapangan.
Akhir penemuan Bilqis dalam keadaan selamat tidak mengurangi keseriusan potensi kejahatan yang mengintai. Akhiar mengingatkan bahwa bentuk eksploitasi terhadap anak bisa sangat luas, mulai dari eksploitasi kerja, kekerasan berbasis ekonomi, hingga kemungkinan perdagangan organ tubuh. Ia menilai bahwa unsur “ketidakpastian nasib korban” menjadi indikator betapa berbahayanya praktik-praktik ini, dan betapa pentingnya aparat menelusuri apa sebenarnya tujuan akhir para pelaku terhadap anak tersebut.
Dalam aspek pertanggungjawaban hukum, Akhiar memberikan perhatian khusus pada pihak yang membeli atau menampung anak. Ia menekankan bahwa seseorang yang menerima anak tanpa memverifikasi identitas dan dokumen resmi, termasuk akta kelahiran maupun penetapan pengadilan, berpotensi turut serta dalam tindak pidana. Ia mendorong penyidik untuk menilai apakah pembeli benar-benar tertipu atau justru mengetahui bahwa proses perolehan anak tidak sah. Jika terdapat unsur pengetahuan atau pembiaran, pembeli dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai bagian dari rangkaian kejahatan.
Selain itu, Akhiar Salmi, S.H., M.H. menyoroti kecenderungan sebagian masyarakat memilih jalan pintas dalam proses adopsi. Menurutnya, kemudahan mengakses informasi seharusnya mendorong masyarakat mengikuti jalur legal, bukan mencari cara-cara informal yang justru mengabaikan keselamatan anak. Ia menggarisbawahi bahwa manusia tidak dapat diperlakukan sebagai objek transaksi, dan bahwa praktik jual beli anak merupakan kemunduran perilaku yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan serta prinsip dasar hukum pidana.
Menutup wawancara, Akhiar menegaskan pentingnya menjatuhkan hukuman maksimal kepada setiap individu yang terbukti terlibat dalam rangkaian tindak pidana ini. Baginya, penjatuhan pidana berat tidak hanya berfungsi sebagai penegakan keadilan bagi korban dan keluarganya, tetapi juga sebagai pengingat bahwa tidak ada ruang toleransi terhadap kejahatan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Ia mendorong masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan, memperkuat empati sosial, dan segera melaporkan tanda-tanda mencurigakan agar praktik perdagangan anak dapat dihentikan sebelum menimbulkan korban berikutnya.

