Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang dipermasalahkan konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Inti tuntutan ada tiga. Pertama, OJK dibubarkan. Kedua, kewenangan untuk melakukan pengawasan di sektor perbankan dikembalikan ke Bank Indonesia (BI). Terakhir, kewenangan OJK untuk mengenakan pungutan dicabut.
Dasar pemohon untuk meminta OJK dibubarkan ada dua. Pertama, pembentukan OJK bertujuan mengambil alih fungsi pengawasan dari Bank Indonesia (BI). Pengambilalihan fungsi ini, juga jasa keuangan lainnya dalam satu atap, merupakan rencana besar dari International Monetary Fund (IMF).
Kedua, pembentukan OJK dianggap tidak jelas. Ketidakjelasan menurut pemohon karena pengawasan yang dilakukan oleh OJK ada yang bersumber dari Undang-Undang Dasar yaitu dalam pengawasan di sektor perbankan. Ada pula yang berasal dari undang-undang seperti UU Pasar Modal dan UU Perasuransian.
Sementara itu, tuntutan untuk mengembalikan kewenangan pengawasan sektor perbankan ke BI didasarkan pada kenyataan OJK dibentuk berdasarkan UU BI. Mengingat dasarnya adalah BI, maka pemohon berargumentasi bahwa OJK seharusnya tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan di sektor lain selain perbankan. Mengingat saat ini OJK mempunyai kewenangan melakukan pengawasan di luar sektor perbankan maka OJK dianggap inkonstitusional.
Terakhir tuntutan untuk membatalkan kewenangan OJK melakukan pungutan didasarkan pada argumentasi tidak sesuai dengan UU APBN. Bahkan pemohon secara khusus membahas masalah besarnya pungutan. Pemohon menganggap tidak wajar jumlah kutipan sebesar 0,045% dari total aset industri keuangan serta profesi dan lembaga lain dalam jumlah yang bervariasi.
Fokus Permohonan
Menjadi pertanyaan apa yang menjadi fokus permohonan uji materi UU OJK ke MK? Apakah memang mempermasalahkan konstitusionalitas OJK ataukah masalah pungutan. Memang apabila OJK ditentukan oleh MK sebagai tidak konstitusional, pungutan pun akan tidak ada.
Terlepas dari fokus permohonan, dasar untuk mempermasalahkan inkonstitusionalitas OJK mudah untuk dipatahkan. Pertama, pelepasan kewenangan oleh sejumlah lembaga di bidang jasa keuangan tidak seharusnya menjadi dasar untuk menyatakan OJK inkonstitusional. Apalagi argumentasi bahwa IMF memiliki rencana besar untuk menggabungkan dalam satu lembaga pengawasan industri keuangan. Ini karena tidak ada bukti yang disertai.
Kedua, suatu UU yang mengamanatkan penerbitan UU untuk membentuk suatu lembaga bukanlah hal baru di Indonesia. UU Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan dasar bagi pembentukan suatu lembaga sebagaimana diatur dalam UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Demikian pula UU Kepailitan melahirkan Pengadilan Niaga. Padahal Pengadilan Niaga tidak hanya menangani perkara perkara kepailitan sebagaimana diatur dalam UU Kepailitan. Pengadilan Niaga juga memilikikompetensi untuk mengadili perkara-perkara di bidang kekayaan intelektual berdasarkan UU Merek dan UU Paten.
Ketiga, masalah pendanaan bukan hal yang aneh bila dipungut dari industri sendiri yang tidak dialokasikan di APBN. Seperti dalam UU Migas, Badan Pengatur Hilir Migas mendapatkan anggaran operasionalnya di samping dari APBN juga dari iuran badan usaha yang diaturnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 48 (3) UU Migas.
OJK adalah independent supervisory body yang kedudukannya sama dengan independent regulatory body. Adapun istilah independen di sini dimaknai sebagai lembaga negara yang tidak merupakan bagian dari pemerintah. Keberadaan OJK sejajar dengan BI meski memiliki fungsi yang berbeda.
Keberadaan OJK dalam terminologi bahasa Inggris adalah sebagai statutory body atau lembaga yang dibentuk secara khusus dengan peraturan perundang-undangan. Tidak seharusnya lembaga seperti ini dinyatakan inkonstitusional.
Dalam konteks demikian, MK dalam menjalankan fungsinya untuk melakukan uji materi atas UU OJK perlu cermat dan hati-hati dalam membuat putusan. MK harus memahami filosofi dari pembentukan sebuah lembaga negara.
Pemahamahan ini penting agar MK tidak mengulang kembali ‘kecelakaan’ dalam memutus BP Migas inkonstitusional. Oleh karenanya MK harus mencermati apa yang dimohonkan. Jangan sampai keinginan untuk meniadakan pungutan dilakukan dengan cara membubarkan OJK.
OJK saat ini dibangun dengan pikiran, tenaga dan biaya yang tidak kecil. OJK harus diberi waktu dan ruang untuk eksis dan belum waktunya untuk dinyatakan gagal. Secara filosofis tidak ada yang salah dalam pembentukan OJK. Keberadaan OJK konstitusional!
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional FHUI
Dari Suara Pembaruan Kamis, 27 Maret 2014