Dalam dunia akademik hukum Indonesia, nama Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. menempati posisi yang unik. Beliau adalah salah satu ilmuwan yang membumikan hukum transnasional di FHUI, seorang akademisi hukum internasional dan penggiat hak kekayaan intelektual yang bukan hanya mengajar dari balik meja kuliah, tetapi juga bekerja di garis depan kebijakan negara. Dengan cara yang jarang ditempuh oleh akademisi sezamannya, Prof. Zen menjembatani tiga dunia: kampus, birokrasi, dan ruang publik. Ia menulis dengan kejernihan seorang guru, berpikir dengan disiplin seorang pejabat negara, dan berbicara dengan ketenangan seorang jurnalis yang memahami pentingnya kata-kata, dan tajamnya mata pena seorang penulis.
Sebagai salah satu asisten akademiknya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), saya beruntung menyaksikan langsung bagaimana beliau menghidupi profesi hukum bukan hanya sebagai ilmu di suatu bidang studi, tetapi sebagai panggilan intelektual untuk menyeimbangkan antara hukum, moralitas, dan kepentingan publik. Kepergian beliau pada 9 Oktober 2025 meninggalkan duka mendalam bagi dunia akademik, namun juga warisan pemikiran yang akan terus hidup dalam sistem hukum dan generasi akademisi sesudahnya.
Latar dan Pembentukan Intelektual
Prof. Achmad Zen Umar Purba lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada 8 Juli 1942. Sejak masa mahasiswa di FHUI, ia dikenal sebagai sosok yang cermat, tenang, dan tekun dalam membaca teks-teks klasik hukum internasional. Minatnya pada isu-isu global membawanya melanjutkan studi ke Harvard Law School dan meraih gelar Master of Laws (LL.M.), memperdalam bidang hukum transaksi bisnis internasional.
Namun yang membentuk pandangan hidupnya bukan hanya dunia akademik. Setelah menyelesaikan studinya, beliau sempat terjun ke dunia profesional non-akademik, bekerja di sektor pariwisata dan kemudian di bidang jurnalistik. Pengalaman itu menjadi penting: dari jurnalisme, ia belajar bagaimana hukum tidak boleh terputus dari bahasa publik dan realitas sosial. Beliau pernah menjadi editor di majalah Ekspres dan Tempo, dua media yang di masa itu menjadi ruang bagi kritik sosial dan kebebasan berpikir. Dalam wawancara yang kemudian sering ia ulang, beliau berkata, “Jurnalistik mengajarkan saya bahwa kejelasan berpikir harus diikuti kejelasan menulis; dua-duanya adalah fondasi hukum yang baik.”
Kembali ke Dunia Akademik dan Karier di Universitas Indonesia
Awal 1970-an menjadi masa kembalinya Prof. Zen ke Universitas Indonesia, kali ini sebagai dosen muda di bidang Hukum Internasional. Di kampus inilah, ia mengabdikan lebih dari setengah abad hidupnya, mendidik, meneliti, dan menulis. Ia dikenal sebagai pengajar yang berwawasan luas, disiplin, dan memiliki pendekatan pedagogis yang memadukan rasionalitas dengan empati. “Tugas dosen bukan menakut-nakuti mahasiswa dengan pasal,” katanya dalam sebuah pertemuan staf pengajar, “tetapi membuat mereka mengerti mengapa pasal itu ada.” Di lain kesempatan, beliau pun selalu mengingatkan “Kebebasan berpendapat dan tidak takut berpikir adalah prasyarat universitas yang hidup.”
Beliau mengampu berbagai mata kuliah penting seperti Hukum Internasional Publik, Hukum Laut, dan Transaksi Bisnis Internasional. Sebagai Ketua Program Kekhususan Hukum Ekonomi UI (1992–2000), beliau turut merancang kurikulum yang memperkuat keterkaitan antara hukum internasional dan praktik ekonomi global. Di ruang kuliah, ia sering memulai pembahasan dengan kasus aktual — dari sengketa investasi, perjanjian lisensi, bahkan paten obat di WTO hingga persoalan sumber daya laut — untuk menunjukkan bahwa hukum internasional bukan disiplin abstrak, melainkan perangkat untuk memahami dinamika dunia.
Ketekunannya dalam menulis dan meneliti membawanya meraih jabatan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia pada 7 September 2005. Pengukuhannya bukan sekadar penanda karier, tetapi juga pengakuan atas kontribusinya dalam membentuk arah pengajaran dan penelitian hukum internasional di Indonesia.
Dari Akademisi ke Birokrat Reformis
Salah satu fase penting dalam kehidupan Prof. Zen adalah ketika ia dipercaya sebagai Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia (1999–2002). Penugasan ini datang pada saat krusial: Indonesia baru saja meratifikasi Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai bagian dari keanggotaan di World Trade Organization (WTO). Artinya, sistem hukum nasional harus disesuaikan dengan rezim global yang baru ini.
Beliau menghadapi tantangan berat: membangun sistem hukum kekayaan intelektual yang modern di tengah keterbatasan sumber daya dan minimnya pemahaman publik. Dalam masa jabatannya, sejumlah undang-undang kunci — termasuk UU Hak Cipta, UU Paten, dan UU Merek — direvisi agar sesuai dengan standar internasional tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Ia memimpin tim lintas kementerian, berdialog dengan pelaku industri, akademisi, dan lembaga internasional seperti WIPO.
Namun keberhasilan terbesarnya bukan hanya pada dokumen hukum yang dihasilkan, melainkan pada paradigma yang ia bangun. Prof. Zen menegaskan bahwa HKI tidak boleh semata-mata dilihat sebagai instrumen komersial, tetapi juga sebagai sarana pengakuan terhadap kreativitas manusia dan pengetahuan tradisional bangsa. Ia memperjuangkan agar kebijakan nasional tetap melindungi kekayaan budaya lokal di tengah globalisasi hukum.
Banyak kebijakan HKI modern di Indonesia hari ini masih menelusuri jejak pemikiran beliau. Dalam salah satu pidatonya di WIPO tahun 2001, beliau menyatakan, “Negara berkembang tidak seharusnya menjadi penonton dalam sistem global HKI. Kita adalah pencipta nilai, bukan sekadar pengguna.” Pandangan itu mencerminkan semangat emansipatoris yang selalu ia bawa, baik di ruang kelas maupun ruang sidang internasional.
Etos Akademik dan Keteladanan Pribadi
Kembali ke dunia akademik setelah masa birokrasi, Prof. Zen melanjutkan pengabdiannya di kampus dengan intensitas yang sama. Ia selalu datang lebih awal ke kantor, membawa map berisi artikel dan catatan tangan yang dipenuhi anotasi. Meski telah menjabat berbagai posisi penting, sikapnya tetap sederhana dan bersahaja.
Sebagai pembimbing akademik, beliau dikenal sabar namun tegas. Kritiknya selalu tajam, tetapi disampaikan dengan cara yang membangun. Ia sering menulis komentar singkat di pinggir naskah tulisan saya“Argumenmu baik, tapi hukum tidak berhenti pada logika; ia harus kembali ke manusia.” Kalimat itu menggambarkan pandangan hukumnya yang menolak positivisme kaku — hukum, baginya, harus selalu terkait dengan keadilan substantif.
Selain di ruang kelas, beliau aktif menulis di media umum. Kumpulan kolomnya yang terbit dalam buku Hukum dalam Kolom (2016) menunjukkan bagaimana ia berusaha menjembatani dunia akademik dengan masyarakat luas. Ia menulis dengan bahasa yang ringan tapi sarat makna, membahas isu HKI, hukum laut, lingkungan, hingga etika profesi hukum. “Tulisan hukum,” ujarnya, “harus bisa dipahami bukan hanya oleh hakim, tapi juga oleh warga negara.”
Gagasan-Gagasan Pokok dan Kontribusi Ilmiah
Secara intelektual, Prof. Zen berdiri di antara dua tradisi: hukum internasional klasik yang berakar pada rasionalisme Eropa, dan kesadaran baru tentang keadilan global bagi negara berkembang. Ia sering mengutip Grotius, Kant, dan Lauterpacht, namun selalu menambahkan perspektif Indonesia dalam pembacaan tersebut.
Bagi beliau, hukum internasional adalah hasil negosiasi moral antarbangsa, bukan sekadar mekanisme kekuasaan. Dalam banyak tulisannya, ia mengkritik kecenderungan globalisasi hukum yang mengabaikan konteks lokal. Pandangan ini tampak jelas dalam karya utamanya, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs (2005), di mana ia menegaskan perlunya “penerjemahan budaya” dalam implementasi hukum global di negara berkembang.
Dalam artikel “Berbagi Isu Aktual dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Internasional” (Indonesian Journal of International Law, 2008), beliau mengulas problem implementasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dengan pendekatan empiris dan reflektif. Ia menyoroti kesenjangan antara norma hukum dan kapasitas kelembagaan nasional, seraya menawarkan kerangka solusi administratif yang realistis.
Karya lain seperti “Kepentingan Negara dalam Industri Perminyakan di Indonesia: Internasional, Konstitusi, dan Globalisasi” (2014) memperlihatkan keluasan bidang kajiannya. Ia tidak hanya ahli HKI, tetapi juga memahami hubungan antara sumber daya alam, konstitusi ekonomi, dan tata kelola global. Ia menunjukkan bagaimana hukum internasional harus selalu dibaca bersamaan dengan hukum nasional dan nilai konstitusional yang melandasinya.
Pekerjaan dan Pengalaman Profesional yang Menunjang Keilmuan
Selain sebagai akademisi dan pejabat negara, Prof. Zen memiliki pengalaman profesional yang memperkaya pandangan hukumnya. Ia pernah menjabat sebagai Managing Partner di kantor hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) — salah satu firma hukum bisnis internasional terkemuka di Indonesia. Di sana ia berinteraksi langsung dengan dunia praktik hukum komersial lintas negara, terutama dalam bidang kontrak internasional. Sebagai seorang arbiter, beliau sempat aktif sebagai Ketua Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) atau yang sekarang dikenal Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Keuangan (LAPSSK).
Pengalaman ini membentuk pemahaman mendalamnya tentang dinamika hukum bisnis global dan sekaligus menghindarkannya dari idealisme akademik yang steril. Ia tahu bagaimana hukum bekerja di pasar, dan bagaimana prinsip-prinsip keadilan harus dinegosiasikan dalam praktik.
Ia juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi dan lembaga riset, menjadi anggota dewan pakar di Jurnal Hukum Bisnis, serta berperan dalam perumusan kebijakan hukum ekonomi di berbagai forum nasional. Semua pengalaman lintas bidang itu membuatnya menjadi sosok akademisi yang tidak terkurung di menara gading, tetapi justru memperluas batasan ilmu hukum Indonesia di tingkat global.
Pengaruh dan Warisan Akademik
Warisan intelektual Prof. Zen tidak hanya berupa karya tulis, tetapi juga tradisi berpikir yang ia tanamkan kepada murid-muridnya. Ia mengajarkan disiplin berpikir kritis, keberanian berpendapat, dan kesadaran moral dalam menulis hukum. Banyak generasi akademisi, peneliti, dan pejabat publik yang mengakui bahwa pembentukan cara berpikir mereka berutang pada bimbingannya.
Ia sering mengingatkan bahwa keilmuan hukum harus berpihak kepada reasonableness—keseimbangan antara rasionalitas dan keadilan. Ia menolak ekstremitas: baik positivisme legalistik maupun moralisme ideologis. Bagi beliau, tugas sarjana hukum adalah menjaga percakapan antara nalar dan nurani tetap hidup.
Dalam setiap kesempatan, beliau mengingatkan bahwa akademisi memiliki tanggung jawab sosial. “Hukum bukan hanya instrumen negara,” katanya, “tetapi cermin dari nilai yang kita pilih untuk dipertahankan.” Dengan pandangan itu, ia membentuk generasi akademisi yang lebih sadar akan dimensi etika dari keilmuan hukum.
Penutup: Teladan Intelektual dan Integritas Pribadi
Kepergian Prof. Achmad Zen Umar Purba pada 9 Oktober 2025 meninggalkan ruang sunyi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan di dunia hukum nasional. Namun dalam setiap mahasiswa yang ia ajar, setiap kebijakan yang ia susun, dan setiap tulisan yang ia hasilkan, ada jejak kejujuran intelektual yang sulit tergantikan.
Sebagai seseorang yang pernah bekerja dengan beliau, saya belajar bahwa integritas bukanlah slogan, melainkan kebiasaan: datang tepat waktu, puasa Senin dan Kamis, membaca sebelum berbicara, menulis sebelum menilai, dan berpikir sebelum mengambil kesimpulan. Dalam segala kesederhanaannya, beliau menunjukkan bahwa ilmu hukum bisa menjadi cara mengabdi kepada negara, bukan sekadar karier akademik.
Di antara banyak catatan tangannya yang tersisa di meja kerja, ada satu kalimat yang terasa paling menggambarkan beliau “Ilmu itu harus membebaskan, bukan membatasi.”
Kalimat itu kini menjadi pengingat bagi saya dan kami semua di Bidang Studi Hukum Internasional — bahwa warisan sejati seorang guru bukan hanya pada buku-bukunya, melainkan pada keberanian murid-muridnya untuk terus berpikir dan melanjutkan percakapan yang dimulainya.
Beristirahatlah dengan tenang, Pak.
Salim takzim,
Tiurma M. Pitta Allagan.
Tulisan ini dibuat sebagai penghormatan atas jasa, pemikiran, dan keteladanan
Prof. Achmad Zen Umar Purba (1942–2025), Guru Besar Hukum Internasional FHUI.
Bibliografi Pilihan
- Purba, Achmad Zen Umar.Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: Alumni, 2005.
- ——.Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis. Bandung: Alumni, 2011.
- ——. “Berbagi Isu Aktual dalam Pelaksanaan Undang-Undang Perjanjian Internasional.”Indonesian Journal of International Law 5, no. 3 (2008).
- ——.Hukum dalam Kolom. Jakarta: FHUI & Tempo Inti Media, 2016.
- ——. “Kepentingan Negara dalam Industri Perminyakan di Indonesia: Internasional, Konstitusi, dan Globalisasi.”Indonesian Journal of International Law 11 No. 4 (2014).

