"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Nomophobia dan Urgensi Detoks Dunia Digital oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Nomophobia dan Urgensi Detoks Dunia Digital oleh Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D.

SEORANG siswa sekolah dasar ditemukan tewas tergantung di kamar rumahnya di Kecamatan Doro, Pekalongan, Jawa Tengah. Meninggalnya bocah 10 tahun tersebut menggemparkan warga desa setempat. Korban meninggal karena gantung diri diduga karena kecewa handphone disita orangtuanya. Kasat Reskrim Polres Pekalongan AKP Isnovim membenarkan peristiwa tersebut (Kompas.com, 24/11/ 2023).

Di Cirebon, viral di media sosial seorang bocah depesi karena HP kesayangan dijual ibunya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Siti, ibu ARP, ponsel tersebut adalah barang kesayangan ARP dan dibeli dari hasil menabungnya sendiri. Namun, kondisi ekonomi memaksa Siti untuk menjualnya. Siti menjelaskan, sebelum menjual HP tersebut, dia telah meminta izin dari ARP dan berjanji akan mengembalikannya saat memiliki cukup uang. Meskipun ARP telah mengizinkan ibunya untuk menjual ponselnya, ARP kerap terlihat sedih dan melamun setelah HP-nya dijual. Ponsel tersebut biasanya digunakan ARB untuk bermain game dan belajar, terutama saat masa pembelajaran jarak jauh akibat pandemi COVID-19 (Liputan6.com, 15/05/2024).

 Dunia digital dan media sosial adalah berkah bagi kehidupan sekaligus musibah. Berkah karena membuat hidup lebih mudah, urusan lebih cepat selesai, informasi di seluruh penjuru dunia lebih cepat mengalir, dan transaksi apapun bisa dilakukan dari mana saja. Cukup dengan bantuan jari-jari tangan dan jaringan internet. Bahkan hanya perlu bantuan perintah suara atau sorotan mata. Dunia seperti sudah dalam genggaman tangan saja. Di sisi lain dunia digital adalah musibah. Membuat yang jauh jadi dekat sekaligus yang dekat jadi jauh.

Mengurangi komunikasi interpersonal antarmanusia dari yang biasanya fisik menjadi cukup via media sosial saja. Membuat manusia menjadi mager (malas gerak) dan berinteraksi secara langsung. Lalu kemudian betah menjadi manusia rebahan, sehingga tubuh lebih ringkih. Jiwa kurang tegar. Mudah menjadi stres, depresi, dan gelisah (anxiety). Lebih buruk lagi, tidak semua orang memiliki literasi digital yang baik. Ada yang mudah overthinking karena menyerap informasi terlalu banyak (dan tidak semua benar juga informasinya). Ada yang mudah bereaksi negatif dan melakukan penilaian terburu-buru terhadap sesuatu hal.

Tidak semua konten adalah sehat dan konstruktif, apalagi akurat. Tidak sedikit konten yang bersifat toxic dan menggiring yang melihatnya untuk lahirkan opini yang bias dan emosi negatif. Dunia digital dan media sosial yang diakses sebagian besar melalui gawai (telepon selular, notebook/laptop, gadget, PC, dan lainnya) hampir menjadi kebutuhan banyak orang di Indonesia. Saking tergantungnya dengan gawai. Banyak orang yang merasa tak dapat hidup tanpa gawai. Pertanyaan pertama yang muncul ketika seseorang berpindah ke tempat lain di luar kediamannya adalah: ada hotspot-nya tidak? Ada wi-fi tidak di sini? Paket data-nya aktif atau tidak? Bawa charger HP atau power bank tidak? Ada colokan listriknya tidak? Seolah-olah ketika hidup tidak terhubung dengan jaringan selular, internet, dan wi-fi, maka kehidupan sudah berakhir.

Nomophobia

Istilah yang tepat untuk menyebut fenomena ini adalah “nomophobia” alias “No mobile phone phobia” Sudip Bhattacharya, et.al. (2019) menyebutkan bahwa istilah “nomophobia” diciptakan oleh UK Post Office pada 2008, selama penelitian yang dilakukan oleh YouGov, organisasi penelitian yang berbasis di Inggris. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya gangguan kecemasan akibat penggunaan ponsel yang berlebihan. Studi tersebut menemukan bahwa hampir 53 persen orang Inggris yang menggunakan ponsel khawatir ketika mereka “kehilangan ponsel, kehabisan baterai atau pulsa, atau tidak memiliki jangkauan jaringan.” Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa sekitar 58 persen laki-laki dan 47 persen perempuan menderita kecemasan terhadap ponsel, dan 9 persen merasa tegang ketika ponsel mereka dimatikan. Sebanyak 55 persen peserta penelitian setuju bahwa mereka tidak dapat menjaga konektivitas dengan orang yang mereka sayangi. Hal itu jadi alasan utama fobia mereka. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa dari 547 laki-laki, 23 persen siswanya dicap sebagai nomophobia, sementara 64 persen siswa berisiko terkena nomophobia.

Hampir 77 persen siswa memeriksa ponselnya lebih dari 35 kali sehari. Studi lain mengungkapkan bahwa lebih dari 50 persen penderita nomophobia tidak pernah mematikan ponsel mereka. Data di atas adalah riset tahun 2008, di mana gelombang digitalisasi dan media sosial belum separah tahun 2024 ini. Data itu adalah gambaran di Inggris Raya, bagaimana pula dengan di Indonesia yang penduduknya 4 (empat) kali lipat lebih banyak dari Inggris? Dalam laporan State of Mobile 2024 yang dirilis Data.AI, warga Indonesia menghabiskan waktu dengan perangkat mobile seperti HP dan tablet pada 2023 mencapai rata-rata 6,05 jam per harinya. Indonesia sudah menempati peringkat teratas sebagai negara yang warganya menghabiskan waktu terlama dalam menggunakan HP sejak 2020.

Sejak tahun itu, rata-rata penggunaan HP setiap harinya terus meningkat. Tahun 2020 misalnya, rata-rata warga RI menggunakan HP selama 5,63 jam per hari. Angka itu kemudian meningkat pada tahun 2021 menjadi 5,99 jam per hari, dan 6,14 jam per hari pada 2022 (CNN Indonesia, 12/01/ 2024). Sepanjang tahun 2023, hanya warga Indonesia yang menggunakan HP lebih dari 6 jam. Di posisi kedua ada negara tetangga Thailand dengan 5,64 jam per hari. Kemudian, disusul Argentina di posisi ketiga dengan 5,33 jam per hari, Arab Saudi di posisi keempat dengan 5,28 jam sehari, dan Brasil di posisi lima dengan 5,02 jam sehari.

Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa Indonesia paling banyak menghabiskan waktunya di HP atau tablet untuk menggunakan media sosial. Dari lima besar aplikasi yang paling lama dikunjungi per harinya, empat di antaranya adalah platform media sosial, yaitu YouTube, kemudian disusul TikTok, WhatsApp, Instagram, dan Chrome Browser (CNN Indonesia, 12/01/ 2024).

Dampak dan penyebab Nomophobia

Sudip Bhattacharya, et.al. (2019) mengungkapkan berbagai faktor psikologis terlibat ketika seseorang menggunakan ponsel secara berlebihan, misalnya rendahnya harga diri. Beban masalah ini kini semakin meningkat secara global. Gangguan mental lain seperti fobia sosial, kecemasan sosial, dan gangguan panik juga dapat memicu gejala nomophobic. Sulit untuk membedakan apakah pasien menjadi nomophobic karena kecanduan ponsel atau gangguan kecemasan yang bermanifestasi sebagai gejala nomophobic.

Renee Onque (2023), jurnalis CNBC menuliskan bahwa gejala nomofobia mencerminkan kecanduan atau gangguan kecemasan lainnya dan dapat mencakup: kecemasan, agitasi, berkeringat, disorientasi, gangguan pernapasan, dan detak jantung yang cepat. Remaja adalah kelompok yang paling terkena dampak nomophobia, menurut penelitian yang dipublikasikan di BMC Psychiatry. Namun, kelompok umur mana pun dapat berjuang melawannya. Alasan utama mengapa banyak orang mengalami nomofobia berasal dari ketergantungan kita pada ponsel, ujar Michele Leno dalam Onque (2023).

Saat kita tidak bisa segera menggunakannya, kita menjadi cemas karena merasa ada sesuatu yang terlewat. Fear of Missing Out alias FOMO, menurut bahasa anak muda sekarang. Blair Steel (dalam Onque, 2023) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempercepat peluang orang terkena kondisi ini adalah: Kecemasan yang sudah ada sebelumnya (pre-existing anxiety), rendah diri (low self-esteem), berjuang dengan emotional regulation, insecure attachment styles, dan kurangnya hubungan pribadi (a lack of personal relationships). Detoks dunia digital Michele Leno dan Blair Steel (dalam Onque, 2023) menyarankan hal-hal berikut untuk melepaskan diri dari ponsel :  Biarkan diri kita bersantai tanpa ponsel selama waktu senggang. Sengaja menjauhi ponsel Anda selama satu jam. Pertimbangkan untuk mematikannya jika itu membantu.

Tinggalkan ponsel kita di rumah atau di tempat lain ketika menghadiri acara. Kenakan jam tangan untuk memeriksa waktu, daripada mengandalkan ponsel kita untuk melihat jam. Gunakan kalender atau buku agenda untuk menjadwalkan acara penting. Temukan hobi baru yang memungkinkan kita menghabiskan waktu jauh dari ponsel dan mencabut kabel. Pelajari lebih lanjut tentang nomofobia untuk mendapatkan pengetahuan tentang tanda dan pemicunya. Tantang pikiran negatif kita tentang hidup tanpa ponsel. Ingatkan diri kita bahwa semuanya akan baik-baik saja jika kita menyimpannya untuk beberapa waktu. Latih kesadaran melalui meditasi dan latihan pernapasan untuk mengatasi kecemasan.

Dalam kasus ekstrem, carilah bantuan dari ahli kesehatan mental. Saran lain disampaikan Megan C. Hayes. Penulis the Serenity Passport (2019) ini menulis bahwa satu-satunya cara yang efektif adalah dengan keluar dan merasakan detoks digital total. Misalnya, dengan pergi ke alam bebas, apakah hutan, gunung, lapangan, lembah, hingga pantai. Tak harus pergi jauh dan tak harus berbiaya mahal. Misalnya, cukup dengan mengapresiasi pohon yang sederhana. Bangsa Rusia mempunya kata benda untuk ‘daun yang jatuh dari pohon’ sebagai ‘listopad’. Ini mengingatkan kita dengan waktu yang pelan-pelan berjalan, yang digambarkan secara amat puitis oleh hutan musiman. Orang Jepang juga menggemari pohon, dan memiliki istilah komorebi untuk mendeskripsikan keelokan cahaya matahari yang menembus dedaunan dan shinrin-yoku atau ‘mandi hutan’ seperti berjemur di bawah matahari untuk meresapi hutan yang rimbun dan tenteram. Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Mungkin tak perlu bahasa dan istilah khusus selain: mari detoks dunia digital dan kembali ke alam bebas! Memperbanyak rekreasi alam bebas ataupun berolahrga, karena kita dianugerahi negeri amat indah dengan cuaca yang bersahabat sepanjang tahunnya, kawan!

Heru Susetyo – Associate Professor @Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022

Sumber : https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/28/081836265/nomophobia-dan-urgensi-detoks-dunia-digital

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI