Pemerintah dikategorikan melakukan PMH apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan baik terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara dalam arti yang limitatif atau sempit. Ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara didefinisikan dalam Pasal 1 (3) UU PTUN, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Definisi ini diperluas dalam Pasal 3 UU PTUN yang pada dasarnya merupakan keputusan “fiktif negatif”. Namun, Pasal 2 UU PTUN mempersempit ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu tidak termasuk: Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Keputusan Tata Usaha Negara dipersempit lagi oleh Pasal 49 UU PTUN yang menyatakan bahwa, “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
- dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Meskipun UU PTUN mengalami perubahan selama dua kali (terakhir menjadi UU Nomor 51 Tahun 2009) tetap mempertahankan ketentuan mengenai ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara. Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara Berdasarkan UU PTUN = Pasal 1 ayat (3) + Pasal 3 – Pasal 2 – Pasal 49 = Keputusan Tata Usaha Negara dalam artian yang limitatif atau sempit.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) memperluas definisi Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 1 ayat (7) UUAP menyatakan keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengertian “Keputusan” dalam UUAP telah mengurangi atau menghilangkan unsur: bersifat konkrit, individual, final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.
Perluasan ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara dipertegas dalam Pasal 87 UUAP yang memaknai Keputusan Tata Usaha Negara sebagai Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB; Bersifat final dalam arti lebih luas; Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Perluasan kompetensi absolut dari PTUN berdasarkan UUAP, meliputi:
- Kompetensi PTUN terhadap tindakan administrasi pemerintahan/tindakan faktual pejabat TUN (Pasal 1 ayat (8) UUAP);
- Kompetensi PTUN terhadap Keputusan berbentuk Elektronis (Pasal 38 UUAP);
- Kompetensi PTUN terhadap pengujian tentang ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 21 UUAP);
- Kompetensi PTUN Tingkat Pertama untuk mengadili gugatan pasca Upaya Administratif (Pasal 75-76 UUAP);
- Kompetensi PTUN untuk memutuskan terhadap obyek sengketa fiktif positif (Pasal 53 UUAP).
Salah satu peraturan pelaksana dari UUAP adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Implikasi dari peraturan ini adalah mempertegas:
- Perluasan kompetensi absolut PTUN;
- Perluasan kewenangan PTUN untuk memproses ganti rugi akibat perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechmatige overheidsdaad).
Kewenangan PTUN dalam Sengketa Medis
Pada awalnya, Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Pemerintah (Onrechtmatigee Overheidsdaad)/PMH merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri. Dalam memproses Onrechtmatigee Overheidsdaad, hakim mempergunakan Pasal 1365 KUHPerdata. Namun, semenjak diberlakukannya UUAP, maka Onrechtmatigee Overheidsdaad merupakan kewenangan dari PTUN. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 87 UUAP. Ketentuan tersebut kemudian dipertegas melalui Perma Nomor 2 Tahun 2019.
Perma Nomor 2 Tahun 2019 secara khusus mengatur dan menyatakan mengenai alasan yang dapat dipergunakan sebagai dasar pengajuan gugatan PMH yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Adapun alasan tersebut adalah sebagai berikut:
- Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan
- Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Terkait dengan tanggung jawab Pemerintah dalam sengketa medis di Rumah Sakit maka tanggung jawab Pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit serta tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di Rumah Sakit. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai umbrella act tindakan Pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Undang-Undang ini menjadi “benang merah” bagi beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Pemerintah dalam melakukan tindakan pembinaan dan pengawasan, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sarana prasarana kesehatan, yaitu Rumah Sakit), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sumber daya manusia di bidang kesehatan, yaitu tenaga kesehatan); Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sumber daya manusia di bidang kesehatan, yaitu tenaga medis); Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sumber daya manusia di bidang kesehatan, yaitu perawat); Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan (dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sumber daya manusia di bidang kesehatan, yaitu bidan); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sarana prasarana kesehatan, yaitu apotik dan sekaligus dasar tindakan pengawasan dan pembinaan Pemerintah terhadap sumber daya manusia di bidang kesehatan, yaitu tenaga apoteker).
Pemerintah dikategorikan melakukan PMH apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan baik terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit. Salah satu parameter untuk menyatakan bahwa Pemerintah gagal atau kurang maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan, baik terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis adalah apabila terjadi lack of skill dari tenaga kesehatan dan tenaga medis pada saat melaksanakan tugas profesinya.
Tolok ukur yang dapat dipergunakan untuk menyatakan bahwa dokter melakukan tindakan secara lack of skill adalah berdasarkan Standar Profesi Kedokteran. Profesor HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul “Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie” menjelaskan mengenai unsur-unsur dari Standar Profesi Kedokteran yang terdiri dari:
- Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama);
- Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis);
- Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama);
- Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama);
- Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut).
Pemerintah juga dapat dikategorikan melakukan PMH apabila Pemerintah gagal atau tidak maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap rumah sakit. Salah satu parameter untuk menyatakan bahwa Pemerintah gagal atau kurang maksimal dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap rumah sakit adalah apabila rumah sakit gagal dalam melaksanakan duty of care dengan baik. Selain itu, terjadinya kecelakaan medis di rumah sakit yang disebabkan karena sarana dan prasarana yang ada tidak berfungsi dengan optimal, dapat dikategorikan sebagai kegagalan Pemerintah dalam melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap Rumah Sakit. Misalnya, kecelakaan medis yang terjadi di rumah sakit terjadi karena secara berkala Pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap perijinan peralatan dan kalibrasi dari peralatan medis yang dipergunakan oleh rumah sakit sehingga dalam operasional peralatan tersebut menyebabkan pasien meninggal dunia.
Pemerintah dikategorikan melakukan PMH apabila Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di rumah sakit dan/atau terhadap rumah sakit, tidak menjalankan atau tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Rekomendasi
Beberapa hal yang harus dipersiapkan dalam implementasi Perma Nomor 2 tahun 2019 terkait dengan penyelesaian sengketa medis:
- Harus dibuat peraturan pelaksana khususnya mengenai kompetensi absolut dan kewenangan PTUN untuk memproses ganti rugi (penguatan regulasi), hal ini dikarenakan:
- Peraturan mengenai ganti rugi sudah tidak relevan lagi karena hanya berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara;
- Adanya potensi tumpang tindih antara kewenangan PTUN dan Ombudsman dalam memproses ganti rugi akibat maladministrasi;
- Ketiadaan pengaturan yang tegas mengenai pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban jabatan;
- Perlunya pengaturan mengenai pelaksanaan atau eksekusi dari ganti rugi
- Mempersiapkan SDM PTUN yang berkualitas, mempunyai pemahaman terkait dengan perluasan kompetensi absolut dan kewenangan PTUN serta implementasinya (penguatan SDM);
- Pemahaman konsep hukum kesehatan dan PMH oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad) melalui penguatan literatur, sosialisasi dan peningkatan literasi (penguatan pemahaman), serta harmonisasi dan kerjasama yang baik antara PTUN dan Peradilan Umum (khususnya antara PTUN dan Pengadilan Negeri).
Sumber : https://www.hukumonline.com/berita/a/mungkinkah-pemerintah-bertanggung-jawab-dalam-sengketa-medis-lt6459b6acb3e69/?page=4