Putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013 yang mengurangi persetujuan DPR terhadap APBN hanya sampai dengan unit organisasi, fungsi dan program merupakan putusan logis guna mengakhiri dominasi rasionalitas politis dalam persetujuan RAPBN yang mengesampingkan rasionalitas teknokratis.
Ada banyak faktor yang menyebabkan persetujuan DPR terhadap APBN perlu dibatasi. Pertama, DPR memiliki hak budget sebagai hak yang mutlak dalam bentuk menerima atau menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Kedua, DPR juga memiliki fungsi pengawasan yang sebaiknya lebih diperkuat kualitasnya daripada memperluas tingkat persetujuan anggaran.
Reposisi Hak Budget
Pasal 23 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional hak budget DPR sebenarnya secara harfiah telah membatasinya pada menerima atau menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Pembatasan hak budget tersebut intinya terletak pada fokus DPR untuk menilai dengan alasan legitimitas atau kemanfaatan publik terhadap APBN dibandingkan penilaian teknis. Jadi, DPR memfokuskan pada strategi anggaran negara yang sesuai dengan kebutuhan rakyat, bukan pada teknis angka-angka anggaran.
Oleh karena itu, politik hukum yang memosisikan DPR menyetujui APBN pada unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja pada UU No. 17/2003 dan UU No. 27/2009 merupakan kekeliruan politik hukum keuangan negara yang fatal. Posisi tersebut menyebabkan DPR seakan-akan jadi otorisator sekaligus inisiator, baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Adanya duplikasi posisi tersebut jelas tidak sehat dan tidak akuntabel dipandang dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Oleh karena itu, reposisi hak budget perlu dilakukan dengan melakukan perubahan mendasar pada UU No. 17/2003 dan UU No. 27/2009 dengan memosisikan hak budget sebatas menerima dan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah dengan dua alasan. Pertama, RAPBN tidak sesuai dengan prioritas fungsi dan program yang telah direncanakan pemerintah dalam dokumen perencanaan. Kedua, RAPBN tidak memiliki alasan kemanfaatan (legitimasi) bagi kualitas penyelenggaraan pemerintahan secara umum dan pelayanan publik.
Adanya reposisi hak budget tersebut akan menghindarkan penggunaan wewenang atau mentransaksikan pengaruh DPR pada hal-hal bersifat mikroteknis atau mikropraktis. Sebab, kondisi demikian akan menyebabkan DPR berkutat pada perhitungan transaksi politis atau angka-angka anggaran dengan motivasi diluar kepentingan umum yang seharusnya dilindungi dan di luar rasionalitas dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan sebelumnya.
Selain itu, reposisi hak budget juga menghindari makna hak budget sebagai bentuk aktif DPR dalam siklus anggaran negara. Padahal, secara konstitusional, DPR tidak dimintakan pembahasan/persetujuan atas keseluruhan siklus anggaran, mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban, tetapi dimulai saat presiden mengajukan rancangan APBN kepada DPR dan kemudian saat presiden mengajukan pertanggungjawaban anggaran.
Perkuat pengawasan
Jika kemudian reposisi hak budget dilakukan, pemerintah dan DPR perlu memiliki sistem pengawasan yang terencana dan tersistem dengan menggunakan parameter evaluasi yang jelas dan pasti. Pemerintah perlu memastikan perencanaan dan penganggaran dilakukan secara sistematis dan konsisten sehingga perlu ada sinergitas institusional antara kementrian perencanaan dan Kementrian Keuangan.
DPR perlu menguatkan pengawasan terhadap pemerintah dalam penggunaan anggaran dengan menilai legitimasi atau kemanfaatan bagi kepentingan publik guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aspek konstitusionalitas pengawasan dan hak budget DPR jelas menguji legitimasi sehingga APBN dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat melalui ukuran konsistensi antara perencanaan dan penganggaran.
Adanya sistem pengawasan secara seimbang yang dilakukan pemerintah dan DPR dalam APBN hakikatnya menjaga kepastian hukum dalam rangka menjaga kedudukan pemerintah dan DPR dalam hal keuangan negara. Selain, tentu saja, mencegah pemerintah dan DPR secara bersama-sama atau sendiri-sendiri melakukan penyimpangan keuangan negara dalam APBN.
Pengecekan dan penyeimbangan dalam proses APBN antara pemerintah dan DPR merupakan syarat utama untuk mewujudkan tujuan bernegara dalam postur APBN. Dengan demikian, upaya menjadikan APBN bermanfaat guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tak sekadar utopia, tetapi juga sistem yang disadari bersama.
Dian Puji Simatupang
Doktor Hukum Keuangan Publik; Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara FHUI
Dari Kompas Rabu, 18 Juni 2014