Di awal tahun 2022 dan masih di tengah pandemi Covid-19 yang memasuki gelombang ketiga ini, para peneliti Indonesia terutama yang berhimpun di kementerian dan kelembagaan milik negara mendapatkan kado pahit. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan bagian riset Kapal Baruna Jaya dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Selanjutnya LBM Eijkman berada di bawah BRIN dengan nama baru Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Eijkman menyusul sejumlah lembaga penelitian independen yang lebih dulu dilebur ke dalam BRIN: LIPI, LAPAN, BATAN, dan BPPT. Dampaknya, 120 orang saintis dan staf Eijkman diberhentikan. Karena BRIN hanya menerima sekitar 40 orang staf Eijkman yang berstatus PNS.
Pangkal permasalahan dari “integrasi dan sentralisasi” lembaga riset ke dalam naungan BRIN ini adalah kehadiran UU No. 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek), UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan Perpres No. 33 tahun 2021 tentang BRIN yang kemudian diubah dengan Perpres No. 78 tahun 2021.
Dalam Perpres No. 78 tahun 2021 ini, tidak hanya LIPI, LAPAN, BATAN dan BPPT yang dileburkan ke dalam BRIN, namun juga unit kerja yang melaksanakan penelitian, pengembangan dan penerapan Iptek di lingkungan kementerian/lembaga (vide pasal 65 Perpres No. 78 tahun 2021).
Menggugat Integrasi dan Sentralisasi ke MK
Beberapa bulan sebelum hiruk pikuk pembubaran Lembaga Eijkman ini, ihwal ‘integrasi dan sentralisasi’ ini sudah disoal oleh peneliti melalui permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi RI terhadap Pasal 121 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 48 UU Sisnas Iptek berikut penjelasannya (Perkara No. 46/PUU-XIX/ 2021).
Pasal 121 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 48 dalam UU Sisnas Iptek sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.(2) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
Kemudian, penjelasan dari Pasal 121 ayat (1) dari UU UU Cipta Kerja ini menyebutkan: Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.
Kata “terintegrasi” menimbulkan interpretasi yang beragam yakni apakah diartikan sebagai koordinasi sehingga eksistensi dan fungsi lembaga masih tetap ada sebagaimana Pasal 42 UU Sisnas Iptek ataukah kata “terintegrasi” diartikan sebagai peleburan berbagai lembaga riset pemerintah tersebut menjadi satu lembaga yaitu BRIN. Sebagaimana diketahui, kata “terintegrasi” ini tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan dari pasal-pasal sebelumnya dari UU Sisnas Iptek, yaitu Pasal 13, Pasal 14, Pasal 42, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 71, dan Pasal 79.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi Pemerintah Pusat hanya pada fungsi koordinasi atau sebagai koordinator. Hal ini dikarenakan dalam UU Sisnas Iptek secara eksplisit telah ditegaskan bahwa BRIN adalah sebagai badan pusat dari kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. Sehingga BRIN merupakan badan yang melakukan koordinasi terhadap berbagai lembaga yang menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi seperti BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN.
Dengan demikian fungsi BRIN adalah melakukan koordinasi dari tugas-tugas di luar riset dan inovasi, seperti penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi yang selama ini tersebar.
Kemudian, kata “terintegrasi” pada Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek semakin diperparah dengan kata “antara lain” pada penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana diubah dalam Penjelasan Pasal 121 UU Cipta Kerja sehingga mengakibatkan multitafsir.
Dengan adanya kata “antara lain” justru menimbulkan tafsir atau makna baru tentang fungsi pemerintah pusat yang secara eksplisit dilakukan oleh BRIN bukan selaku koordinator yang melaksanakan fungsi untuk menyusun, merencanakan, membuat program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, melainkan sebagai badan tunggal atau satu-satunya lembaga yang melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi.
Padahal tujuan dibentuknya UU Sisnas Iptek adalah memberi penguatan kepada kelembagaan dari lembaga riset-riset yang sudah ada bukan meleburkan lembaga yang justru menciderai atau pelanggaran berupa ketidakpastian hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Hal itu juga tidak sesuai dengan original intent dibentuknya UU Sisnas Iptek sebagaimana yang dijelaskan dalam Naskah Akademik halaman 152 yang pada pokoknya menjelaskan bahwa: Adanya Undang-Undang tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada dasarnya tidak akan menimbulkan beban keuangan negara yang baru karena undang-undang ini tidak membentuk lembaga baru. Keberadaan undang-undang ini justru akan mengoptimalkan fungsi dari lembaga yang telah ada, sedangkan anggaran penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah berjalan sebagaimana biasanya sudah dialokasikan di setiap kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sesuai kebijakan masing-masing. Sistem yang baru menghindarkan terjadinya penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tumpang tindih karena adanya sistem perencanaan kegiatan riset yang terpadu, sehingga tidak terjadi peningkatan beban keuangan negara.
Perpres BRIN telah memperluas kata “terintegrasi” dalam Pasal 48 ayat (1) dan kata “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek khususnya dalam ketentuan Pasal 4 huruf i, Pasal 14 huruf a, Pasal 35 huruf b, Pasal 65 huruf b, Pasal 69 ayat (3), yang menyatakan bahwa integrasi tersebut tidak hanya dalam sistem penyusunan perencanaan program, anggaran dan sumber daya namun juga integrasi kelembagaan.
Hal tersebut telah justru menciptakan sebuah organisasi pemerintahan yang bersifat hirarkis dan birokratis, serta menjadi satu-satunya wadah kelembagaan IPTEK yang mempunyai fungsi dari hulu hingga hilir: merencanakan, mengelola, program/kegiatan IPTEK, anggaran, serta pengawasan. Perpres BRIN menambah pembengkakan organisasi yang bersifat birokratis dan hierarkis, dengan meleburkan juga lembaga-lembaga litbang kementerian, demikian juga lembaga-lembaga riset di luar pemerintah, yaitu lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian di bidang legislatif dan yudikatif.
Kembali ke Jatidiri Riset
UUD 1945 mengamanatkan bahkan memberikan penegasan kepada pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi guna pengembangan peradaban bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai Pasal 31 ayat (5) UUD 1945.
Kebijakan hukum yang terkandung dalam Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Tujuan dibentuknya UU 18/2002, merupakan bagian upaya negara untuk memenuhi hak masyarakat dalam pengembangan diri untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) yang merupakan bagian dari kerangka dasar manusia bertindak baik secara individual dan kolektif (instinct of procreation dan instinct of survival).
Namun pengaturan lebih lanjut dalam UU 18/2002 masih terdapat kekurangan yakni tidak berfungsinya koordinasi dalam pelaksanaan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh berbagai lembaga penelitian dan perekayasa teknologi terutama yang terkait dengan perencanaan, program, dan anggaran. Akibatnya, menimbulkan tumpang tindih atas kebijakan penelitian dan perekayasa teknologi yang berdampak pada keefektifan dan ketidakefisienan juga lebih jauh berdampak pada output dan outcome dari seluruh kegiatan penelitian dan perekayasa tersebut.
Oleh karena itu, pembentuk undang-undang kemudian melakukan perubahan terhadap UU 18/2002 dengan UU 11/2019, dengan tujuan untuk mengkoordinasikan dan memberi penguatan kepada kelembagaan dari lembaga riset-riset yang sudah ada. Dan bukan malah meleburkan lembaga yang sudah ada yang justru menciderai dan menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pengalaman di Negara Lain
Di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pengembangan kebijakan menggunakan dua badan utama yang dipercayakan dengan tanggung jawab pembuatan kebijakan adalah Science and Technology Leading Group (STLG) dan State Science and Technology Commission (SSTC) yang keduanya berada di bawah Kementerian Sains dan Teknologi (MOST) pada tahun 2003. STLG adalah badan supra-kementerian di bawah kendali langsung SC. Kelompok ini dipimpin oleh Perdana Menteri, dengan seorang menteri yang bertanggung jawab atas SSTC dan Wakil Menteri Komisi Perencanaan Negara (SPC) sebagai wakilnya.
STLG memiliki tanggung jawab sebagai berikut: (i) membentuk organisasi dan infrastruktur manajemen iptek nasional yang terpadu; (ii) memberikan kepemimpinan terpadu untuk perencanaan iptek jangka panjang; (iii) untuk meninjau dan membuat keputusan tentang kebijakan iptek utama; (iv) membuat keputusan mengenai pengenalan teknologi penting dari luar negeri dan asimilasi serta adaptasinya di dalam negeri; dan (v) koordinasi antar kementerian dan provinsi yang berbeda. Model kebijakan tersebut berdampak terhadap berkembangnya riset dan teknologi terutama terkait dengan pengembangan industri-industri di RRT.
Di Korea Selatan (South Korea), berdasarkan Undang-Undang tentang Penciptaan, Pengoperasian, dan Pengembangan GRI, yang diundangkan pada Januari 1999, sistem manajemen baru, yaitu Research Council System (RCS), dibuat pada aspek sistem Jerman dan Inggris pada tahun 1999. Berarti status GRI di bawah kementerian terkait diubah di bawah kendali terpadu Kantor Perdana Menteri; memberikan kebebasan GRI dari kontrol yang berlebihan dari kementerian terkait.
Di bawah sistem manajemen baru, RCS, lima dewan penelitian didirikan. Setiap dewan penelitian bertindak sebagai badan pengawas untuk mengawasi GRI anggotanya. Sejak didirikan pada tahun 1999, telah membawa banyak hasil positif; memberikan otonomi dalam pengoperasian, pengelolaan, pengambilan keputusan, dan organisasi GRI; penguatan kepemimpinan setiap direktur melalui pemberdayaan dari dewan penelitian terkait; menumbuhkan iklim persaingan antar industri, universitas, dan GRI dengan memanfaatkan PBS; meningkatkan sistem kompensasi dengan pengenalan sistem gaji tahunan dan sistem berbasis kinerja.
Dari berbagai literatur serta informasi yang diperoleh tentang model-model kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi seluruh dunia seperti contoh di atas, maupun di negara-negara yang sudah maju di bidang IPTEK, seperti Belanda, Jepang, Rusia, Amerika, dan lain sebagainya tidak ada satupun model kelembagaan IPTEK yang bersifat tunggal atau satu-satunya dengan fungsi baik sebagai perencana, pelaksana, pengelola anggaran, sekaligus pengawas IPTEK seperti BRIN saat ini.
Satu model yang justru memiliki kemiripan dan kesamaan maksud dengan UU 11/2019 khususnya makna “terintegrasi” yang bersifat koordinasi sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 14 ayat (2) UU 11/2019, adalah di Turki. Yaitu Dewan Tertinggi untuk Sains dan Teknologi (The Supreme Council for Science and Technology/SCST) sebagai badan pembuat kebijakan IPTEK dan inovasi peringkat tertinggi di Turki yang diketuai oleh Perdana Menteri dengan kekuatan pengambilan keputusan untuk kebijakan iptek dan inovasi (STI) nasional.
SCST didirikan dan diberi peran untuk mengidentifikasi, memantau, dan mengoordinasikan kebijakan di bidang iptek sesuai dengan tujuan nasional untuk pembangunan dan keamanan ekonomi dan sosial. Bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri, SCST memiliki fungsi penting, seperti membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan iptek jangka panjang .
Apabila Nasi Belum Menjadi Bubur
Ahmad Arif (Kompas, 11/01/2022) mengutip Satryo Soemantri Brodjonegoro menyebutkan bahwa peleburan Lembaga Eijkman adalah menyebabkan hilangnya sumber daya terbaik, juga merusak budaya riset dan independensi ilmuwan. Lalu, para penelitinya akan kehilangan wibawa sebagai peneliti dan berpotensi melahirkan brain drain (hengkangnya ilmuwan).
Kemudian mengutip Abdul Malik, Sekretaris Menteri Riset Teknologi 2004-2009, dan sejumlah pakar lain dalam sebuah diskusi daring juga mengatakan, penggabungan beberapa lembaga penelitian di bawah BRIN ini bertentangan dengan arus di dunia riset internasional. Lembaga riset di negara lain itu terdesentralisasi. Bahkan di China, kebijakan sains dan teknologinya mulai dari 2006 sudah semakin terdesentralisasi. Masalah paling mendasar penelitian di Indonesia sejak dulu adalah birokratisasi dan pekerjaan penelitian diperlakukan sama dengan administratif, klerikal, teknis, dan repetitive.
Sulistyowati Irianto (Kompas, 07/01/2022) menegaskan bahwa dileburnya Lembaga Eijkman ke dalam BRIN dengan segala implikasinya adalah fenomena puncak yang mengonfirmasi terbitnya kebijakan anti-sains. Para pengambil kebijakan tampaknya tidak memahami sains, dasar pijakan rasional dan kredibel yang menentukan arah perkembangan masyarakat dan peradaban. Mandat ilmuwan adalah bertanggung jawab atas masa depan masyarakat melalui penelitian dan kerja ilmiah mereka. Memperlakukan lembaga ilmu pengetahuan sekadar sebagai unit administratif, bukan unit akademik, adalah kebijakan keliru dan dapat mengakibatkan kemunduran ilmu pengetahuan.
Masih menurut Sulistyowati Irianto (2022) pembenahan tata kelola memang sangat baik dilakukan, tetapi membubarkan dan meleburkan lembaga penelitian ke dalam struktur besar lembaga pemerintah tampaknya bukan jalan keluar. Tindakan itu justru seperti mencabut ruh kebebasan akademik, mematikan budaya, habitus akademik, dan kesejarahan yang menghidupi para ilmuwan. Jika ilmuwan sudah dikooptasi birokrasi, bangsa kita akan tetap ketinggalan di bidang sains dan teknologi, medioker, dan hanya menjadi pasar berbagai produk sains dan teknologi bangsa lain.
Apabila nasi belum menjadi bubur, alias apabila semuanya belum terlambat, mengutip menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro (2022), BRIN seharusnya mengambil peran sebagai fungsi koordinatif dan pendanaan sesuai amanat UU Sisnas Iptek dan tidak menjadi lembaga super yang justru mempertebal cengkeraman birokrasi ke dunia sains.
Kemudian, agar Pasal 48 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Sisnas Iptek sebagaimana telah diubah dengan Pasal 121 UU Cipta Kerja yang bunyinya sama dengan Pasal 48 ayat (1) UU 11/2019, tidak menjadi multitafsir sehingga memberi kepastian hukum yang adil, tidak dapat ditafsirkan lain selain BRIN sebagai badan pusat yang melaksanakan fungsi koordinasi menyusun, merencanakan, membuat program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan.
Adapun lembaga seperti BATAN, BPPT, LIPI, LAPAN juga peleburan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan di kementerian-kementerian (litbang kementerian) sepatutnya tetaplah sebagai lembaga yang menjalankan fungsi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang memerlukan koordinasi dan harmonisasi dalam menjalankan fungsi utamanya tersebut. Sekali lagi, apabila nasi belum menjadi bubur…
Sumber :https://www.hukumonline.com/berita/a/menyoal-integrasi-dan-sentralisasi-lembaga-riset