Menuntut Klarifikasi
Hikmahanto Juwana
Maskapai secara prosedural kemungkinan melakukan pengecekan berdasarkan manifes ke Kepabeanan dan Perlindungan Perbatasan Amerika Serikat (US Customs and Border Protection) dan mendapatkan informasi bahwa nama Gatot Nurmantyo dilarang memasuki wilayah AS. Padahal, Panglima TNI memiliki visa yang masih berlaku.
Segera setelah ada pelarangan, Kementerian Luar Negeri RI melalui Direktorat Jenderal Amerika Eropa mendapat informasi dari pihak AS bahwa penolakan ini akibat masalah internal di Pemerintah AS. Tidak ada info lebih lanjut terkait masalah internal apa. Menlu RI Retno LP Marsudi sudah melakukan hal yang tepat dengan meminta Dubes RI untuk AS mendapatkan klarifikasi atas pelarangan ini. Menlu juga minta agar Wakil Dubes AS di Indonesia memberi klarifikasi.
Atas insiden ini Dubes AS di Indonesia telah meminta maaf pada Minggu (22/10) waktu Indonesia dan memuatnya dalam laman Kedubes AS. Permintaan maaf juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan AS kepada Menteri Pertahanan RI pada pertemuan antarmenteri pertahanan ASEAN dan AS di Filipina.
Namun, kedua pejabat itu tidak memberi klarifikasi apa penyebab pelarangan oleh US Customs and Border Protection.
Urgensi Klarifikasi
Berdasarkan permintaan maaf dari dua pejabat AS ini, jelas kesalahan tidak pada birokrasi di Indonesia. Jika kesalahan berada di birokrasi Indonesia dan Panglima TNI berani melapor kepada Presiden Joko Widodo dan menyampaikan kepada Menlu RI atas pelarangan dirinya, tentu ini berakibat negatif terhadap Panglima TNI. Meski Pemerintah AS saat ini telah memperbolehkan Panglima TNI berkunjung ke AS, tidak semudah itu Pemerintah Indonesia seharusnya menerima permohonan maaf.
Bagi pemerintah saat ini yang dibutuhkan adalah klarifikasi dari Pemerintah AS . Paling tidak tiga alasan penting.
Pertama, di era keterbukaan yang saat ini berlangsung di Indonesia, alasan pelarangan perlu diketahui secara jelas. Ini tidak hanya dibutuhkan untuk Pemerintah Indonesia, tetapi juga oleh publik di Indonesia.
Kedua, tanpa klarifikasi, maka akan ada spekulasi di masyarakat dan media di Indonesia atas apa yang menjadi alasan bagi pelarangan. Spekulasi dapat berkembang secara liar di media sosial dan tidak terbendung. Akibatnya, muncul persepsi negatif publik Indonesia terhadap AS khususnya AS dibawah pemerintahan Donald Trump.
Ketiga, mengingat Indonesia akan segera memasuki tahun politik, maka spekulasi pelarangan akan menjadi komoditas politik. Pihak-pihak tertentu akan menganggap ada campur tangan Pemerintah AS dalam proses pilpres Indonesia. Saat ini telah berkembang spekulasi politik yang menganggap pemerintahan Jokowi telah bermain mata dengan otoritas AS untuk pelarangan ini. Suatu spekulasi yang perlu dipertanyakan kebenarannya.
Berbagai spekulasi tersebut jika tidak mendapat klarifikasi oleh Pemerintah AS akan membuat pemerintahan Jokowi melakukan tindakan yang keras dan tegas insiden ini.
Jelas Presiden Jokowi tidak ingin publik memercayai spekulasi bahwa pemerintahannya bermain mata dengan otoritas di AS. Bagi Presiden, tidak ada pilihan lain untuk menuntut klarifikasi dari Pemerintah AS. Ini yang akan berdampak besar terhadap hubungan Indonesia-AS.
Presiden dapat saja meminta Menlu RI melakukan protes diplomatik. Jika tidak diindahkan, pemerintah dapat memanggil pulang Dubes RI di AS untuk berkonsultasi. Waktu konsultasi pun tidak ditentukan berapa lama. Jika tidak juga diklarifikasi, bukannya tidak mungkin pemerintahan melakukan pengusiran atau persona non grata terhadap diplomat AS di Indonesia. Bahkan, pemerintah dapat membekukan kerja sama strategis yang saat ini ada atau di masa mendatang akan berjalan.
Dalam konteks ini tidak ada pilihan lain bagi AS untuk memberi klarifikasi.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional UI.
Sumber: Koran Harian Kompas (Rabu, 25 Oktober 2017)