Bukan kegiatan sekali selesai apalagi untuk diambil manfaat transaksional bagi pemberi bantuan sosial.
Pada perhelatan akbar Pemilu 2024 ini berbagai skema bantuan sosial diluncurkan ke masyarakat dengan bilangan rupiah yang luar biasa fantastis. Bahkan menyaingi jumlah bantuan sosial selama masa pandemi Covid-19. Hasilnya amat efektif. Sedikit banyak kucuran bansos tersebut berkontribusi terhadap perolehan suara fantastis dari calon yang didukung oleh petahana. Artikel ini tidak hendak membahas masalah politik elektoral, tetapi lebih kepada paradigma hukum kesejahteraan sosial terkait bantuan sosial. Apalagi kajian tentang hukum kesejahteraan sosial ini relatif kurang populer dan tidak banyak dibahas oleh para sarjana hukum.
Konsep Bantuan Sosial
Bappenas (2014) menyebutkan bahwa program bantuan sosial memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui pengurangan kemiskinan. Bantuan yang diberikan dalam program bantuan sosial tidak bergantung kepada kontribusi dari penerima manfaatnya—seperti pada program asuransi sosial. Bantuan sosial dapat diberikan secara langsung dalam bentuk uang (in-cash transfers), juga dalam bentuk barang dan pelayanan (in-kind transfers). Setiap bantuan bisa bersifat sementara karena terjadinya situasi sosial tertentu: bencana, resesi ekonomi, atau kebijakan pemerintah tertentu. Selain itu, bantuan juga dapat bersifat tetap khususnya bagi penduduk yang mempunyai kerentanan permanen: penyandang disabilitas, lanjut usia, dan anak telantar.
Menurut International Labour Organization (ILO), skema bantuan sosial bertujuan untuk menyediakan sumber daya minimum bagi individu dan rumah tangga yang hidup di bawah standar penghasilan tertentu, tanpa mempertimbangkan aspek kontribusi dari individu dan rumah tangga penerimanya. Penentuan penerima bantuan umumnya dilakukan berdasarkan tingkat pendapatan penduduk serta kriteria sosial ekonomi lainnya. Skema bantuan sosial dapat difokuskan kepada kelompok target tertentu (seperti keluarga miskin dengan anak hingga penduduk lanjut usia dengan penghasilan yang terbatas). Bisa juga diberikan sebagai bantuan pendapatan secara umum bagi pihak yang membutuhkan.
Purwowibowo dan Hendijanto (2019) menyebutkan bahwa konsep kesejahteraan sosial dapat dimaknai dari dua sisi. Pertama dalam arti sempit, diartikan sebagai bantuan finansial dan layanan-layanan lainnya bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung. Kedua, diartikan sebagai bentuk upaya intervensi sosial primer dan langsung dalam meningkatkan taraf kesejahteraan sosial individu dan masyarakat secara luas.
Ada tujuh komponen atau pilar paradigma kesejahteraan sosial yang menurut Romanyshyn (1989) dalam Purwowibowo dan Hendijanto (2019) perlu dimasyarakatkan yaitu: (1) konsep residual menjadi institusional; (2) konsep amal (charity) menjadi konsep hak-hak warga negara; (3) konsep spesial menjadi universal; (4) konsep minimum menuju optimum; (5) konsep reformasi individu ke reformasi sosial; (6) konsep layanan sukarela menuju layanan publik; (7) konsep kesejahteraan bagi golongan miskin dan konsep masyarakat sejahtera bagi orang kaya.
Purwowibowo dan Hendijanto (2019) juga menegaskan bahwa usaha kesejahteraan di saat ini tidak hanya berorientasi pada hal yang bersifat kuratif—dengan menekankan masalah sosial secara residual—melainkan upaya rehabilitatif serta preventif. Dalam hal ini, semua pendekatan tersebut disebut dengan holistic approach. Masing-masing didukung dan ditanggung pembiayaannya oleh kebijakan dan keuangan negara dan swasta.
Perbedaan utama program jaminan sosial dengan program bantuan sosial terletak pada aspek kontribusi dari penerima manfaatnya, pendanaan, dan kepesertaan. Pemberian manfaat dari program bantuan sosial tidak bergantung kepada kontribusi yang diberikan oleh penerima manfaat. Di sisi lain, program jaminan sosial terikat dengan syarat kontribusi dari penerima manfaatnya. Sumber pendanaan bantuan sosial umumnya berasal dari pajak, sedangkan jaminan sosial secara mandiri dibiayai oleh iuran/kontribusi pesertanya (Bappenas, 2014).
Pengaturan Bantuan Sosial
Pada UU No.11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial(UU Kesejahteraan Sosial), bantuan sosial dikategorikan sebagai bagian dari perlindungan sosial. Perlindungan sosial sendiri dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal (Pasal 14 ayat 1 UU Kesejahteraan Sosial).
Kemudian, perlindungan sosial dilaksanakan melalui: a. bantuan sosial; b. advokasi sosial; dan/atau c. bantuan hukum. Bantuan sosial dapat bersifat sementara dan/atau berkelanjutan yang dilaksanakan dalam bentuk: a. bantuan langsung; b. penyediaan aksesibilitas; dan/atau c. penguatan kelembagaan (Pasal 15 ayat 2 UU Kesejahteraan Sosial).
Selanjutnya Peraturan Menteri Sosial No.1 tahun 2019 tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial menyebut bahwa Penerima Bantuan Sosial adalah seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau penyandang masalah kesejahteraan sosial. Bantuan sosial yang diberikan kepada Penerima Bantuan Sosial tidak untuk dikembalikan dan diambil hasilnya (Pasal 5 ayat 2 Permensos Bantuan Sosial).
Dalam Pasal 6 Permensos Bantuan Sosial menyebutkan bahwa bantuan sosial diberikan dalam bentuk: a. uang; b. barang; dan/atau c. jasa. Bantuan sosial dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a disalurkan secara nontunai, terkecuali untuk kelompok tertentu seperti : a. penyandang disabilitas berat; b. lanjut usia terlantar non potensial; c. eks penderita penyakit kronis non potensial; d. komunitas adat terpencil (KAT); dan/atau e. daerah yang belum memiliki infrastruktur untuk mendukung penyaluran Bantuan sosial secara non tunai. Selain Bantuan sosial yang dikecualikan, dapat juga diberikan secara tunai kepada: a. lanjut usia potensial; b. lanjut usia tidak potensial; c. anak yang memerlukan/membutuhkan perlindungan khusus; dan/atau d. daerah yang telah memiliki infrastruktur namun tidak dapat digunakan karena akibat bencana.
Bantuan sosial yang bersifat sementara tidak harus diberikan setiap tahun anggaran, serta dapat dihentikan apabila Penerima Bantuan Sosial telah lepas dari risiko sosial. Bantuan sosial yang bersifat berkelanjutan merupakan bantuan yang diberikan secara terus-menerus untuk mempertahankan taraf kesejahteraan sosial dan upaya untuk mengembangkan kemandirian.
Klasifikasi penerima bantuan sosial adalah : a. perorangan; b. keluarga; c. kelompok; dan/atau d. masyarakat, dengan kriteria masalah sosial sebagai berikut : a. kemiskinan; b. keterlantaran; c. kedisabilitasan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial atau penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Pasal 12 Permensos Bantuan Sosial).
Dinamika Bantuan Sosial di Indonesia
Bappenas (2014) menyebutkan bahwa perkembangan awal skema bantuan sosial di Indonesia sesungguhnya telah muncul sejak masa pemerintahan orde baru (1967-1998). Sejak masa krisis ekonomi 1997-1998 pemerintah Indonesia mengukuhkan skema bantuan sosial secara lebih masif. Hal ini terlihat dengan lahirnya regulasi yang mendukung pelaksanaan program bantuan sosial untuk pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin. Sebut saja UU Kesejahteraan Sosial dan UU No.13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Fiona Howell (2001) menyebutkan bahwa program bantuan sosial pemerintah pada umumnya kurang berkembang. Ini karena kelompok rentan (vulnerable groups) masih sangat bergantung pada jaringan informal, keluarga, serta dana bantuan organisasi keagamaan dan amal.
Hal yang sama berlaku di Indonesia. Peran jaringan informal, keluarga, dan dukungan dari kelembagaan agama—seperti zakat, infaq, shodaqoh (ZIS) dalam Islam serta filantropi dari gereja, pura, vihara, dan sebagainya—masih amat signifikan. Terlebih lagi, bangsa Indonesia memiliki tradisi memberi (giving) yang luar biasa.
Charities and Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2023 (Cafonline, 2024) menyebutkan negara paling dermawan di dunia adalah Indonesia dalam enam tahun berturut-turut sejak 2017. CAF World Giving Index adalah salah satu survei amal terbesar yang pernah dilakukan, dengan jutaan orang diwawancarai di seluruh dunia sejak tahun 2009. Indeks tahun 2023 ini mencakup data dari 142 negara yang masyarakatnya ditanya tiga pertanyaan: apakah mereka membantu orang asing, diberi uang atau menjadi sukarelawan untuk tujuan baik selama sebulan terakhir.
Hasilnya? Indonesia adalah juara pertama sedunia dalam dua dari tiga kategori yaitu dalam kategori mendonasikan uang dan kerelawanan. Data dari CAF (2022) menunjukkan bahwa selama tahun 2021, lebih dari delapan dari sepuluh orang Indonesia menyumbang uang dan lebih dari enam dari sepuluh (63%) orang Indonesia melakukan kerja-kerja relawan. Luar biasa bukan kedermawanan bangsa Indonesia?
Langkah ke Depan
Fiona Howell (2001) menyebutkan bahwa bantuan sosial harus dirancang sebagai investasi dalam mengentaskan kemiskinan dan menumbuhkan lewat partisipasi ekonomi kelompok rentan. Penting agar bantuan sosial tidak hanya dilihat sebagai upaya untuk mengatasi sisa permasalahan kesejahteraan manusia. Ia juga sebagai sarana untuk mencapai kesetaraan kesempatan. Durasi program dan jenis dukungan yang diberikan harus mencerminkan kebutuhan setiap kelompok rentan.
Dalam kerangka ini, menarik langkah-langkah yang diambil oleh Bappenas (2014) dalam langkah pengembangan terkait Bantuan Sosial antara lain : menyempurnakan Basis Data Terpadu yang bersifat bottom-up dan aspiratif—Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)—; mengembangkan dan melaksanakan konsep perlindungan sosial melalui penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood); melaksanakan mekanisme penjangkauan (outreach) aktif untuk memberikan pelayanan bagi kelompok marginal dan rentan yang belum tersentuh; membangun dan menata sistem bantuan sosial yang terbagi dalam subsistem bantuan sosial reguler (bantuan tunai bersyarat, difabel, lansia, dan anak telantar) dan bantuan sosial temporer yang diberikan saat kejadian bencana alam, krisis ekonomi, dan konflik sosial; dan mengembangkan lingkungan yang inklusif bagi kelompok marjinal, baik dari aspek layanan publik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.
Akhirnya, bantuan sosial bukan sekadar kegiatan bagi-bagi uang atau barang kepada masyarakat. Apalagi untuk kepentingan sesaat yaitu kepentingan elektoral selama pemilu. Pasal 5 ayat 1 Permensos Bantuan Sosial sudah menegaskan bahwa bansos yang diberikan kepada Penerima Bantuan Sosial tidak untuk dikembalikan dan diambil hasilnya.
Bantuan sosial juga bukan sekadar bersifat kuratif, tapi juga rehabilitatif dan preventif. Ketepatan sasaran pemberian bantuan sosial menjadi signifikan. Datanya pun harus akurat melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bantuan sosial pun bukan kegiatan sekali selesai—hit and run—tapi harus memperhatikan konsep perlindungan sosial melalui penghidupan berkelanjutan sustainable livelihood. Ia juga harus mengembangkan lingkungan yang inklusif bagi kelompok marjinal, baik dari aspek layanan publik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.
Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Ag., Ph.D., Dosen Hukum dan HAM FHUI, pengampu mata kuliah Hukum dan Kesejahteraan Sosial.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/menjernihkan-perkara-bantuan-sosial-dari-taktik-politik-lt65f8dee5a66c2/