Mengkaji Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 33/PUU-XIV/2016 Terkait Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana
(Rabu, 10 Agustus 2016) Lembaga Pengkajian Hukum Acara dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan seminar yang bertajuk, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 33/PUU-XIV/2016 Terkait Hak Jaksa Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana” dengan menghadirkan sejumlah pakar dan praktisi hukum, yaitu Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, S.H., Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., Dr. Luhut Pangaribuan, S.H., LL.M., Dr. Yudi Kristiana, dan Chudry Sitompul, S.H., M.H.
Seminar yang berlangsung di ruang Soemadipradja & Taher Fakultas Hukum UI Depok ini, mengangkat polemik yang ditimbulkan dari adanya putusan MK RI Nomor 33/PUU-XIV /2016 yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada 12 Mei 2016 yang lalu. Pertama, putusan MK tersebut menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat, sepanjang dimaknai lain secara tersurat dalam norma a quo. Kedua, Pasal 263 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara tersurat dalam norma a quo. Pada intinya, putusan tersebut menyatakan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali di dalam perkara pidana.
Sebelumnya, Prof. Topo menuturkan bahwa Peninjauan Kembali sebagai suatu upaya hukum luar biasa tentunya dilakukan hanya saat terjadi sesuatu yang luar biasa pula. Dikatakan luar biasa karena upaya hukum ini adalah melawan status hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dengan adanya status berkekuatan hukum tetap ini maka sejatinya hukum atas suatu perkara pidana sudah selesai, dan sudah dapat dijalankan putusannya itu. Dalam makalahnya, Prof. Topo mengatakan bahwa implikasi dari adanya putusan MK ini adalah memperjelas penggunaan upaya hukum bagi pihak terpidana yang berusaha mengoreksi putusan atas dirinya yang merugikan haknya melalui upaya hukum luar biasa, dalam hal ini Peninjauan Kembali.
Sebelum Putusan ini ada, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan Peninjauan Kembali karena aturan yang ada dalam KUHAP tersebut tidak melarang jaksa mengajukan hal tersebut (Peninjauan Kembali). Selanjutnya, Prof. Komariah mengungkapkan bahwa secara normatif pasal 263 ayat (1) tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Hak Asasi Manusia. Dalam praktiknya, menurut Komariah, MK sendiri mengakui bahwa MA telah beberapa kali menerima permohonan PK yang diajukan oleh JPU.
Prof. Komariah mengutip Prof. Mochtar Kusumaatmadja dalam teori hukum pembangunan yang mengatakan bahwa tujuan terakhir dari hukum adalah memberikan keadilan. Seperti yang telah diketahui, acapkali dapat ditemui putusan pengadilan di bawah MA yang melakukan kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja. Karena itu dapat dimengerti apabila putusan MK diabaikan, misalnya putusan MK tentang PK yang boleh dilakukan berulang kali dan putusan tentang anak di luar perkawinan yang sah dapat menjadi ahli waris. Oleh karena itu, menurut Prof. Komariah, keadilan harus didahulukan di atas kepastian hukum. Kepastian hukum yang tidak berkeadilan bukanlah kepastian hukum, tutupnya.