Penerapan dwi kewarganegaraan diperlukan kajian hukum dalam bentuk naskah akademik dengan mengkaji secara komprehensif berbagai aspek tidak hanya ekonomi, tetapi juga pertahanan, keamanan, sosiologi, budaya serta kesiapan dari penyelenggara negara.
Hal tersebut dikatakan Kasubdit Status Kewarganegaraan, yang juga Plh Direktur Tata Negara, Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM, Agus Riyanto dalam paparannya pada acara Seminar Nasional yang bertajuk ‘Dwi Kewarganegaraan di Indonesia: Pembangunan Negara dan Keutuhan Sebuah Bangsa` di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Rabu.
Ia mengatakan pada dasarnya Undang-undang Kewarganegaraan dapat diubah kapan saja sesuai perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena sifat dari hukum atau undang-undang selalu terbukti tertinggal dari kemajuan masyarakat atau juga bersifat statis.
Dikatakannya selama ini keinginan dwi kewarganegaraan selama ini dilakukan oleh Indonesia Diaspora Network (IDN), maka untuk penerapan dwi kewarganegaraan, hendaknya dilakukan secara bertahap yaitu dengan memberikan kemudahan terlebih dahulu kepada Diaspora Indonesia yang berada di luar negeri dibidang investasi, keimigrasian, ilmu pengetahuan atau teknologi.
“Jika ini memberi dampak positif dapat diikuti dengan perubahan kebijakan dibidang lainnya, yang pada akhirnya dilakukan perubahan Undang-undang Kewarganegaran,” katanya.
Sementara itu Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan penerapan asas dwi kewarganegaraan harus dipikirkan secara baik dan matang oleh pemerintah.
Ia mengatakan UU Kewarganegaraan 2006 telah mengakomodasi asas dwi kewarganegaraan yang terbatas, namun untuk menerapkan secara utuh belum saatnya bagi Indonesia.
Dwi kewarganegaraan yang utuh memungkinkan orang asing yang tidak mempunyai kaitan dengan Indonesia dapat memiliki kewarganegaraan Indonesia. Dwikewarganegaraan rentan disalahgunakan untuk melakukan kejahatan.
“Bahkan dwikewarganegaraan juga kerap dimanfaatkan untuk menghindari pajak dari negara yang memasang tarif lebih tinggi,” kata dia.
Kasus mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar dan anggota paskibraka, Gloria Natapradja Hamel adalah sebagian kecil dari masalah dwi kewarganegaraan. Arcandra Tahar yang dipanggil pulang oleh Presiden Jokowi untuk membenahi sistem energi dan sumber daya mineral Indonesia ternyata memiliki paspor Indonesia dan Amerika Serikat.
Akibatnya, Arcandra Tahar sempat berstatus tidak memiliki kewarganegaraan (stateless) karena dirinya secara hukum kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan Amerika Serikat.
Gloria Natapradja Hamel, seorang remaja asal Depok yang memiliki ayah berkewarganegaraan Perancis, gagal menjadi pasukan pengibar bendera di Istana Negara karena secara dokumen hukum memegang paspor Perancis dan surat tinggal tetap di Indonesia.
“Dua kasus ini Archandra dan Gloria tidak ada kaitannya dengan masalah dwi kewarganegaraan. Oleh karenya tidak seharusnya dua kasus tersebut menjadi pemicu wacana soal dwikewarganegaraan,” katanya.
Sumber: Antara Megapolitan