Menggugat Kebakaran Hutan
Pada saat kebakaran hutan marak terjadi, seperti sekarang ini, efektivitas penegakan hukum selalu dipertanyakan. Penegakan hukum yang selama ini diandalkan pemerintah adalah jalur pidana. Untuk kebakaran tahun ini saja, misalnya, Polri telah menetapkan 140 tersangka (Kompas.com, 16/9).
Sementara itu, baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) telah menguatkan putusan yang memenangkan gugatan pemerintah kepada perusahaan pembakar hutan. Melalui putusan ini, perusahaan diwajibkan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan senilai Rp 366 miliar. Ini sebuah nilai fantastis untuk kasus pencemaran.
Namun, penegakan hukum melalui gugatan perdata ternyata jarang digunakan oleh pemerintah. Minimnya penggunaan gugatan perdata ini patut disayangkan, sebab pertanggungjawaban perdata yang ada di negara kita sebenarnya sudah cukup maju, serta dapat memudahkan penegak hukum untuk menjerat perusahaan pembakar hutan.
Tanggung jawab mutlak
Pembakar hutan di Indonesia dapat dimintai pertanggungjawaban dengan menggunakan doktrin perbuatan melawan hukum. Melalui sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan ini, penggugat harus membuktikan setidaknya empat hal. Pertama, adanya perbuatan pembakaran hutan. Kedua, pembakaran ini merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Ketiga, kerugian penggugat. Keempat, hubungan kausalitas antara pembakaran hutan dan kerugian.
Selain itu, pertanggungjawaban dapat pula didasarkan pada strict liability, yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan, yang di Indonesia pertanggungjawaban ini diterjemahkan sebagai tanggung jawab mutlak. Dalam sistem ini, penggugat masih harus membuktikan bahwa, pertama, kegiatan/usaha tergugat di bidang kehutanan merupakan kegiatan/usaha yang berbahaya dan dapat menimbulkan risiko kebakaran hutan. Kedua, adanya kerugian penggugat. Ketiga, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dan kegiatan/usaha tergugat.
Dalam sistem ini, tergugat dinyatakan bertanggung jawab apabila kebakaran hutan termasuk ke dalam risiko dari kegiatan/usahanya sehingga bukti adanya kesalahan, misalnya, kegiatan pembakaran, tidaklah diperlukan. Namun, sering kali kita mendengar dalih tergugat bahwa kebakaran terjadi karena perbuatan pihak lain atau bahkan karena faktor alam. Apakah dalih seperti ini dapat membebaskan (mengecualikan) tergugat dari pertanggungjawaban?
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan sepertinya telah disusun sedemikian rupa sehingga mereka yang terlibat dalam kebakaran hutan harus bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi tanpa melihat apa dan siapa yang menjadi penyebab dari kebakaran tersebut. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa pemegang hak atau izin berkewajiban melakukan perlindungan hutan, termasuk dengan melakukan pencegahan kebakaran hutan (Pasal 48), dan bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 49).
Ketentuan yang hampir sama juga dapat ditemukan di dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 18 dari Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Selanjutnya, PP No 45/2004 tentang Perlindungan Hutan menyatakan bahwa “… termasuk ke dalam upaya perlindungan hutan adalah kewajiban untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran karena perbuatan manusia maupun alam” (Pasal 18). PP ini bahkan menegaskan adanya tanggung jawab pemegang izin atas kebakaran hutan di areal kerjanya, yang meliputi tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata, membayar ganti rugi, atau sanksi administrasi (Pasal 30).
Tanpa pengecualian
Dari berbagai ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemegang izin memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di wilayahnya. Pada sisi lain, pemegang izin memiliki tanggung jawab hukum apabila kebakaran terjadi di wilayahnya. Dengan demikian, sebenarnya pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan diam-diam telah menganut absolute liability, yaitu suatu pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang tidak memungkinkan diterimanya dalih pengecualian dari pihak tergugat (Vernon Palmer, 1988: 1329).
Tulisan singkat ini memperlihatkan bagaimana gugatan perdata sebenarnya menjanjikan efektivitas yang cukup tinggi. Pada satu sisi, gugatan perdata mampu memberikan ganti rugi yang sangat tinggi, berkali-kali lipat di atas jumlah denda maksimum untuk sanksi pidana. Sementara pada sisi lain, sistem pertanggungjawaban perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia menempatkan pemegang izin kehutanan untuk selalu bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayahnya tanpa melihat ada tidaknya kesalahan pemegang izin. Bahkan, dalam kasus semacam ini dapat pula dimintai pertanggungjawaban tanpa melihat siapa dan apa penyebab dari kebakaran hutan.
Sayangnya, semua itu tidak pernah dijalankan optimal untuk menyeret para pelaku dan mereka semua yang seharusnya bertanggung jawab atas bencana asap yang menyengsarakan banyak warga tak bersalah. Dengan kemudahan ini, pemerintah seyogianya lebih sering lagi menggunakan gugatan perdata untuk kebakaran hutan di Indonesia.
Andri G Wibisana
Dosen Hukum Lingkungan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul “Menggugat Kebakaran Hutan”.
Dari Kompas Cetak Rabu, 07 Oktober 2015