Mengadministrasi Keadilan Sosial
SULISTYOWATI IRIANTO
Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum UI
Gagasan ”mengadministrasi keadilan sosial” berasal dari pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Basuki-Djarot. Sangat menarik untuk memaknai dan menganalisis gagasan itu, khususnya dengan pendekatan ”hukum dan masyarakat” atau socio-legal. Bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan bagi masyarakat kota, khususnya kelompok yang paling tak diuntungkan? Keadilan sosial dalam konteks Indonesia atau kota besar seperti Jakarta harus dimaknai secara khusus karena struktur masyarakatnya sangat berlapis. Berbeda dengan Eropa barat, misalnya, yang dengan sistem perpajakan, penegakan hukum, dan kemampuan keuangan negara yang besar, setiap orang punya akses pada sumber kesejahteraan yang relatif setara. Mereka yang berpenghasilan besar harus merelakan 50-60 persennya untuk pajak penghasilan. Pajak ini disalurkan kepada mereka yang berpenghasilan kurang agar mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, dan sebagainya. Dalam kondisi ini, prinsip justice for all (keadilan bagi semua) dan justice for the winner (keadilan bagi yang menang) dapat ditegakkan. Sementara pada masyarakat kita, yang harus diterapkan adalah justice for the poor (keadilan bagi si miskin). Kita belum bisa menerapkan prinsip keadilan bagi semua. Keadilan sosial harus dirumuskan secara afirmatif bagi kelompok miskin, perempuan, difabel, minoritas, pendeknya kelompok yang tidak diuntungkan. Kelak, jika jurang kaya dan miskin bisa diatasi, barulah kita bisa menerapkan prinsip keadilan bagi semua. Sejak 10-15 tahun terakhir, kemiskinan dibahas komunitas hukum. Sebelumnya, lebih banyak dibahas para ekonom atau demograf. Empat miliar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan karena ketiadaan akses pada keadilan (CLEP, 2008). Sebagian besar mereka perempuan dan menanggung hidup keluarga.
Keadilan hukum
Keadilan hukum tak identik dengan keadilan sosial. Keadilan hukum lebih bersifat tekstual dan prosedural; sementara keadilan sosial, keadilan substantif, menghitung pengalaman. Perempuan miskin yang dituduh mencuri sandal akan diadili dengan cara mengonfirmasi berita acara polisi, barang bukti, tuduhan jaksa, dan pasal pencurian. Hakim mencari kebenaran material: apakah pencurian terbukti, dengan cara apa dan bagaimana. Berdasarkan keadilan hukum (teks, prosedural), ia bisa dipidana. Namun, apakah secara substansial itu adil? Pengalaman dan realitas kemiskinan menjadi penting diperhitungkan. Apabila tidak, yang menjadi korban hukum selalu orang miskin. Mengadministrasi keadilan bagi orang miskin adalah menciptakan ruang agar suara mereka bisa didengar dalam berbagai proses pengambilan kebijakan pembangunan hukum, termasuk alokasi anggaran negara atau daerah. Apakah program pembangunan selama ini sudah memperhitungkan pengalaman, realitas, dan kebutuhan mereka? Pengalaman membuktikan pembangunan di berbagai bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan tidak akan berhasil atau bahkan gagal, jika tak disertai pembangunan hukum. Pembangunan hukum masa kini, sering disebut ”Akses Keadilan”, menjadi program penting banyak lembaga internasional dan diajarkan di ruang-ruang kuliah fakultas hukum di seluruh dunia. Paradigma akses keadilan dirumuskan dengan belajar dari kegagalan dua gelombang pembangunan hukum sebelumnya: Law and Development Movement (1960-an) dan Rule of Law Movement (1980-an). Keduanya tak berhasil karena: didesain tanpa pengetahuan sistem hukum negara berkembang yang berbeda dengan Barat, terlalu fokus pada hukum formal atau hukum negara, dan tak melibatkan partisipasi publik. Gelombang pembangunan berikutnya, Access to Justice, didesain dengan memperhitungkan partisipasi publik. Pengertian ”akses keadilan” yang tadinya hanya diartikan sebatas kemampuan orang untuk mengakses bantuan hukum dari negara diperluas bukan hanya akses bantuan hukum, melainkan juga berbagai layanan publik, baik yang diselenggarakan oleh negara maupun forum masyarakat. Ada empat pilar untuk memastikan akses keadilan bagi masyarakat miskin kota. Pertama, akses hukum pro poor, ketersediaan berbagai kebijakan kota seperti reformasi birokrasi perkotaan dan penyusunan anggaran, yang pro kepada si miskin. Tata kelola pemerintahan yang bersih akan memastikan anggaran sebesar-besarnya untuk kesejahteraan si miskin agar jurang kaya dan miskin akhirnya tertutup. Kedua, akses pada pengetahuan hukum (melek hukum) bagi kelompok yang tidak diuntungkan. Kepada mereka perlu disosialiasikan sejumlah peraturan hukum yang menjamin hak-hak dasar untuk bisa hidup, bekerja, dan mendapatkan berbagai layanan publik. Literasi hukum akan membekali mereka untuk kritis apabila birokrat tidak baik melayani publik.
Identitas hukum
Ketiga, akses pada identitas hukum. Memiliki KTP, akta lahir, akta kawin, adalah kunci mengakses berbagai skema kesejahteraan. Birokrasi kota yang korup menyebabkan orang miskin tidak memiliki akses pada identitas hukum. Tampaknya, sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI dan diteruskan Basuki-Djarot, akses penduduk miskin kota pada identitas hukum sudah berjalan. Dengan KTP, mereka bisa mengakses KJP, BPJS, rumah susun, dan layanan transportasi publik. Keempat, akses bantuan hukum bagi orang miskin, yang juga bagian dari hak asasi. Mereka rentan menjadi korban hukum, khususnya ketika celah korupsi masih terbuka dalam lembaga penegakan hukum. Kenyataannya, yang menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan hukum orang miskin adalah lembaga bantuan hukum; yang justru kurang mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah dan masyarakat luas. Lembaga bantuan hukum membutuhkan dukungan finansial untuk bisa membiayai konsultasi dan pendampingan bagi pencari keadilan yang jumlahnya banyak, melebihi kapasitas kemampuan mereka. Sudah saatnya pemerintah kota bermitra dengan lembaga bantuan hukum untuk memastikan bantuan hukum bagi si miskin. Mengadministrasi keadilan sosial adalah memastikan keadilan sosial terintegrasi dengan keadilan hukum melalui dipe- nuhinya empat pilar tadi. Apabila integrasi keadilan sosial dan keadilan hukum dapat dipastikan, sumbangannya akan besar sekali bagi pembangunan hukum dan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini dimuat di Kompas (16 Maret 2017)