Sudah sekitar tiga pekan sejak penayangan Sunday Night Channel 7 terkait dengan wawancara Kakak Schepelle Corby, Mercedes Corby yang menghebohkan pemberitaan di Indonesia. Tayangan tersebut tidak saja heboh di Indonesia, tetapi juga di Australia.
Di Australia, Australian Federal Police (AFP) melakukan penggerebekan terhadap kantor Channel 7. Hal ini dilakukan karena menurut hukum Australia seorang narapidana atau mantan narapidana dilarang mendapat keuntungan komersial atas kejahatan yang pernah dilakukan. Memang tersiar kabar bahwa Corby dijanjikan akan mendapat honor yang luar biasa atas wawancara pasca pembebasan bersyaratnya. Eksklusivitas dari wawancara dan pengambilan gambar menjadi obyek untuk honor fantastis. Tidak heran, sejak dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) kerobokan, Corby menggunakan tutup kepala. Ini untuk menjaga eksklusivitas pengambilan gambar. Corby pun tidak melayani wawancara yang diliput oleh banyak media, lagi-lagi untuk menjaga eksklusivitas.
Kehebohan di media terkait kabar honor besar yang akan diterima Corby melalui wawancara eksklusifnya membuat Corby akhirnya digantikan oleh Mercedes dalam wawancara tersebut. Meski digantikan, pesan dalam tayangan yang disampaikan adalah pesan Corby: Corby tidak bersalah (innocent) meski Corby telah dipidana dan mendapatkan grasi 5 tahun dari Presiden. Padahal, seharusnya grasi tidak mungkin diberikan bila penerima grasi tetap merasa dirinya tidak bersalah.
Dalam tayangan tersebut juga disampaikan pesan bahwa Corby dijebak oleh aparat Indonesia. Padahal, selama proses persidangan hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak pernah ada bukti yang disampaikan oleh pihak Corby yang dapat mengindikasikan bahwa Corby telah dijebak oleh aparat Indonesia. Satu hal yang pasti: Mercedes membantah bahwa ayah Corby yang sengaja menyembunyikan ganja 4,1 Kg tersebut, seperti rumor yang beredar di Australia. Terlebih lagi, dalam tayangan tersebut Mercedes menyebutkan bahwa ganja yang dijadikan dasar mendakwa Corby kemungkinan berasal dari Indonesia. Sungguh tayangan tersebut ingin menyampaikan pesan telah terjadi miscarriage of justice dengan mendiskreditkan aparat dan hukum di Indonesia.
Tentu adalah hak dari narapidana untuk menyangkal atas kesalahan yang ditimpakan padanya. Sangkalan bisa terus dilakukan hingga akhir hayat terpidana. Namun, tidak wajar bila sangkalan tersebut dilakukan oleh narapidana yang telah mendapatkan grasi. Tidak juga wajar bila sangkalan hendak mengalihkan ke pihak lain, termasuk oknum aparat, tanpa ada bukti-bukti untuk itu. Terlebih lagi sangat tidak wajar dan menusuk rasa keadilan bila sangkalan justru berujung pada keuntungan komersial bagi si narapidana yang menyangkal. Semua hal itu dilakukan oleh Corby. Tidak heran bila publik Indonesia menjadi resah. Sayangnya, Kementerian Hukum dan HAM tidak banyak bertindak. Justru kesan yang muncul adalah membela kepentingan Corby agar ia tetap dapat menjalankan sisa hukumannya di luar LP.
Pada saat AFP melakukan penggerebekan terhadap kantor Channel 7 untuk mendapatkan bukti bahwa Channel 7 memberi imbalan kepada Corby, Kemenkum HAM secara simetris tidak melakukan tindakan apapun. Padahal menurut Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2009 telah ditentukan bahwa imbalan jasa narapidana merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak asal Kementerian Hukum dan HAM. Tidakkah seharusnya Kementerian Hukum dan HAM bertindak layaknya AFP untuk mencari tahu apakah Corby menerima imbalan?
Publik juga mengritik pemerintah yang seolah memperlakukan secara istimewa Corby. Ia mendapatkan grasi, remisi bahkan pembebasan bersyarat. Bahkan aparat Kanwil Hukum dan HAM tidak bertindak atas penyewaan resor mahal di Seminyak. Bukan tidak mungkin bila pembayaran resor tersebut merupakan bagian imbalan yang diterima Corby.
Publik pun seolah tidak bisa menerima pemerintah dibodohi oleh Corby yang menyiasati wawancara dilakukan Mercedes. Bahkan Corby telah memanfaatkan penghormatan Menkum HAM terhadap hak untuk berpendapat dengan tidak melarang rencana wawancara eksklusif. Ketika itu Menteri hanya bisa mengingatkan agar Corby tidak memunculkan keresahan masyarakat dari wawancara dan berdampak pada pencabutan Bebas Bersyarat Corby.
Kini Menkum HAM pun dibuat pusing: apakah akan mencabut Bebas Bersyarat atau tidak? Petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) telah memberi masukan yang menguntungkan Corby. Corby disebutkan stress, bahkan disampaikan ke media ia hendak mengambil nyawanya sendiri. Soal bunuh diri ini awalnya disangkal oleh keluarga Corby namun kemudian dibenarkan. Pernyataan bertentangan ini seolah keluarga diberitahu oleh aparat Bapas. Tujuannya agar Menteri Hukum dan HAM menjadikannya sebagai pertimbangan dan menaruh kasihan. Keberpihakan dari Bapas juga dapat dirasakan saat salah satu media Australia memberitakan Kepala Divisi Hukum Sunar Agus meminta Mercedes untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Lagi-lagi dengan harapan agar Bebas Bersyarat Corby aman. Padahal menyampaikan maaf dalam hukum berarti pengakuan dari pihak yang menyampaikan maaf bahwa ia salah.
Rakyat ingin mendengar ketegasan Menkum HAM. Ketegasan dibutuhkan karena kewibawaan pemerintah telah dilecehkan oleh Corby dan keluarganya. Menteri Hukum dan HAM juga harus tegas dalam mengambil keputusan agar pemerintahan SBY yang sudah berada diujung jalan tidak dicemooh dan diingat masyarakat sebagai pemerintahan lemah ketika berhadapan dengan pihak asing. Rakyat tentu bisa menghukum partai yang tidak perform ketika diberi amanah dengan tidak memilihnya kembali dalam waktu dekat.
Menteri Hukum dan HAM tentunya tidak boleh mengulur-ulur waktu lebih lama lagi. Jangan sampai publik beranggapan bahwa ini cara untuk membuat publik lupa. Publik tidak pernah lupa karena media tidak akan lupa.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Fakultas Hukum UI
Dari selasar.com Rabu, 20 Maret 2013