PERJANJIAN Penyesuaian Garis Batas Flight Information Region (FIR) antara FIR Jakarta dengan FIR Singapura hingga saat ini belum juga diratifikasi. Pembahasan mengenai ratifikasi perjanjian tersebut belum usai karena terdapat beberapa klausul dalam perjanjian yang berpotensi menyangkut pelaksanaan kedaulatan atau hak berdaulat negara. Padahal ratifikasi perjanjian ini penting untuk dapat memulai pembahasan atau mengesahkan kerangka kerja sama sipil-militer dalam pelaksanaan kendali lalu lintas udara pada wilayah Indonesia yang tercakup di FIR Singapura (CMC Framework). Hingga saat ini, perjanjian yang telah ditandatangani pada Januari 2022 tersebut belum dapat diakses oleh publik.
Selain itu, CMC Framework yang disebut–sebut akan menjadi bagian penting menjaga kedaulatan Indonesia di Ruang Udara Kepulauan Riau juga belum dapat dikaji lebih lanjut. Padahal, ada komponen penting yang harus dipastikan diatur dalam framework tersebut. Janji sejak 1948 Lihat Foto Usulan 1948 Batas FIR Batavia dengan FIR Singapura(Arsip Nasional Belanda) Hal penting yang dimaksud adalah komitmen Pemerintah Inggris di Singapura kepada Pemerintah Belanda di Jakarta yang disetujui pada South East Asia Regional Air Navigation Meeting Tahun 1948.
Dalam pertemuan regional tersebut, Pemerintah Belanda telah menyampaikan keberatan atas masuknya sebagian Ruang Udara di atas Riau dan seluruh Ruang Udara di atas Kepulauan Riau ke pengelolaan FIR Singapura. Pemerintah Belanda kemudian mengalah karena banyaknya tekanan dari negara lainnya untuk membentuk FIR Singapura yang mencakup wilayah Kepulauan Riau. Walaupun mengalah, Pemerintah Belanda meminta untuk dituliskan beberapa hal penting dalam Agreed Minutes atau notula yang disetujui oleh semua delegasi pada pertemuan tersebut.
Poin pertama adalah untuk menyatakan dengan jelas keberatan Belanda atas keberadaan FIR Singapura yang mencakup wilayah Riau, tetapi karena permintaan pertemuan, Batas Utara FIR Jakarta yang disetujui adalah Batas Selatan FIR Singapura. Poin kedua yang dicatat dalam Agreed Minutes tersebut adalah jaminan bahwa segala bentuk prosedur operasional yang merupakan tambahan atau turunan dari pengoperasian FIR Singapura harus menjamin kendali lalu lintas penerbangan militer dari wilayah Indonesia harus dikendalikan melalui ATC Militer di Tanjung Pinang. Selain itu, poin kedua juga menjamin komitmen ATC Singapura untuk membuat suatu Block Clearance untuk memprioritaskan lalu lintas penerbangan militer di Ruang Udara Riau yang dikelola oleh ATC Singapura. Poin ketiga adalah memastikan bahwa pengoperasian fasilitas SAR pada wilayah Riau dalam FIR Singapura tetap dilaksanakan oleh militer Belanda di wilayah Indonesia.
Ketiga poin ini merupakan komitmen penting yang seharusnya sejak tahun 1950 dipastikan oleh Pemerintah Indonesia untuk dihormati oleh ATC di Singapura sebagai pengelola FIR Singapura. Agreed Minutes sebagai Perjanjian Internasional Lihat Foto Komitmen Lalin Udara Militer RAN Meeting 1948 (Arsip Nasional Belanda) Negara-negara dapat membentuk komitmen di antaranya dalam berbagai macam bentuk. Tentu saja yang paling mudah dipahami adalah suatu perjanjian internasional yang dilakukan antarnegara. Selain perjanjian internasional, biasanya terdapat pula memorandum of understanding atau MoU dan framework atau kerangka kerja yang dibentuk sebagai dasar penyusunan atau dasar implementasi perjanjian internasional.
Posisi Agreed Minutes sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional dapat dilihat dari kualifikasi yang diatur dalam Konvensi Wina Tentang Perjanjian Internasional Tahun 1969 (VCLT). Pasal 1 ayat 1 mengatur perjanjian internasional sebagai: (1) kesepakatan antar negara; (2) dalam bentuk tertulis; (3) sesuai dengan ketentuan hukum internasional; (4) tertuang dalam satu atau lebih instrumen; dan (5) untuk keperluan apapun. Selain itu, penggunaan Agreed Minutes sebagai bentuk perjanjian internasional juga sudah pernah diputus oleh Mahkamah Internasional. Pada kasus antara Qatar dengan Bahrain Tahun 1994, Mahkamah Internasional memutus bahwa Exchange of Letter Tahun 1987 dan Minutes pertemuan Menteri Luar Negeri antarnegara yang berisikan komitmen antarnegara dan telah disetujui setelah pertemuan, merupakan bentuk perjanjian internasional yang membentuk kewajiban dan harus dilaksanakan oleh negara.
Berdasarkan kualifikasi dan preseden ini, maka Agreed Minutes yang mencatat hasil RAN Meeting Tahun 1948 dan komitmen antara Belanda dan Inggris sebagai prasyarat pembentukan batas FIR Jakarta – FIR Singapura merupakan komitmen, yang harus dipenuhi, tidak hanya kedua negara, tetapi juga Indonesia dan Singapura, sebagai negara-negara yang meneruskan komitmen Belanda dan Inggris dalam pengelolaan kedua FIR tersebut. Indonesia – Singapura penerus komitmen Belanda – Inggris Lihat Foto Komitmen Lalin Udara Militer RAN Meeting 1948 (Arsip Nasional Belanda) Setelah memastikan posisi komitmen antara Belanda dan Inggris yang tertuang dalam Agreed Minutes RAN Meeting Tahun 1948 sebagai prasyarat pembentukan batas – batas antara FIR Jakarta dengan FIR Singapura, kita perlu untuk memahami apakah komitmen yang dibentuk antara Belanda dan Inggris merupakan “janji yang terlupakan” yang sebenarnya dapat ditagih oleh Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Singapura.
Pada prinsipnya, setiap negara yang baru merdeka memiliki Tabula rasa atau halaman baru yang bersih dari segala komitmen pada perjanjian internasional yang dibentuk oleh negara sebelumnya. Negara yang baru merdeka ini kemudian memiliki hak untuk secara unilateral mendeklarasikan dirinya sebagai penerus hak dan kewajiban negara sebelumnya pada wilayah yang sama. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan di mana posisi Indonesia dan Singapura.
Setelah Konferensi Meja Bundar Tahun 1949, Belanda telah menginformasikan pada Januari 1950 bahwa Indonesia akan meneruskan kewajiban Belanda dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional 1944 pada wilayah Kepulauan Indonesia. Indonesia telah mengamini hal tersebut melalui suatu Deklarasi Penerimaan Tanggung Jawab yang diajukan ke ICAO pada April 1950. Hal serupa juga dilakukan oleh Singapura pada Mei 1966 setelah kemerdekaannya pada Tahun 1965. Hal ini berarti, Indonesia dan Singapura telah mengikatkan diri kepada Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, ICAO, serta instrumen-instrumen yang dibentuk oleh organ–organ organisasi tersebut, termasuk pemetaan FIR.
Kekuatan mengikatnya komitmen Belanda-Inggris Tahun 1948 terhadap Indonesia dan Singapura juga dilihat dari praktik operasional Indonesia dan Singapura pada batas–batas FIR Indonesia dan Singapura. Karena setelah bergabungnya kedua negara ke dalam ICAO batas antara FIR Jakarta dengan FIR Singapura tidak diubah, maka kedua negara dianggap telah meneriman kewajiban untuk mengelola dan mengendalikan ruang udara yang termasuk ke dalam masing–masing FIR tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa, kedua negara juga terikat terhadap prasyarat yang telah ditetapkan ketika batas antara kedua FIR akan dibentuk antara Tahun 1948–1949 karena kedua negara menerima batas–batas FIR yang ada, bahkan hingga Perjanjian Penyesuaian Batas FIR Tahun 1995 dan 2022. Perlu pengawalan Uraian di atas membuktikan bahwa terdapat komitmen–komitmen lama yang dapat menjadi dasar pembentukan Perjanjian Penyesuaian Batas FIR yang seharusnya.
Hal ini juga membuktikan pentingnya bagi pemerintah untuk melibatkan akademisi atau setidaknya pihak–pihak yang dapat melakukan penelusuran dokumen untuk memperkuat posisi Indonesia dalam setiap negosiasi Perjanjian Internasional. Dalam konteks Perjanjian Penyesuaian Batas FIR, penting juga bagi pemerintah untuk mengkaji lebih lanjut komitmen–komitmen yang bisa ditagihkan ke Singapura untuk menjamin agar segala kerangka kerja turunan Perjanjian Penyesuaian Batas FIR setelah ratifikasi dapat menjamin kedaulatan Indonesia pada wilayah udara nasional.
Penulis Alif Nurfakhri Muhammad Dosen Universitas Indonesia Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Peneliti Hukum Udara dan Angkasa pada Center for International Law Studies UI
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2022/04/04/09301021/menagih-janji-singapura-yang-terlupakan?page=3