"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Membedah Perbedaan Laboratorium dan Klinik Hukum

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Membedah Perbedaan Laboratorium dan Klinik Hukum

Membedah Perbedaan Laboratorium dan Klinik Hukum

Sejak Prof. Mardjono Reksodiputro meletakkan dasar-dasar mengenai laboratorium hukum dan integrasinya ke dalam kurikulum pendidikan hukum, tidak banyak lagi upaya serius untuk memformulasikan ulang mengenai peranan laboratorium hukum sebagai salah satu instrumen penunjang terwujudnya Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Hal ini disampaikan Ketua Laboratorium dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Febby Mutiara, kepada hukumonline usai Seminar Pengembangan Laboratorium Hukum dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Senin (13/11).

“Setelah Pak Boy (Mardjono Reksodiputro, -red) tidak lagi konsen mengenai hal itu (laboratorium hukum, -red), seakan perkembangan lab hukum di Indonesia itu mati suri. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai bagaimana pengembangan lab ke depannya,” kata Febby.

Tantangan bertambah sejak masuknya proyek dari United States Agency for International Development (USAID) untuk pengembangan klinik hukum di kampus-kampus yang memiliki fakultas hukum. Dosen-dosen pelaksana yang menyelenggarakan laboratorium hukum seakan memperoleh pekerjaan baru untuk memformulasikan hubungan antara laboratorium hukum dengan klinik hukum, yang mau tidak mau ikut berkembang dalam khasanah pendidikan hukum.

“Ini buat tambah bingung, klinik ini apa sih bedanya sama lab? Ini letak kelemahan kita,” ujar Febby.

Febby menjelaskan perbedaan antara laboratorium hukum dan klinik hukum. Menurutnya, laboratorium hukum adalah tindak lanjut dari pendidikan yang diperoleh oleh mahasiswa hukum. Aspek teori hukum yang diperoleh di kelas, dapat dipraktikkan di laboratorium dengan jalan melakukan simulasi-simulasi.

“Bagaimana membuat surat gugatan, bagaimana membuat pledoi, membuat eksepsi, bagaimana cara bersimulasi sidang, tapi kan gak riil,” ujarnya.

Sedangkan klinik hukum, Febby menjelaskan sebagai sesama tindak lanjut dari proses belajar di kelas, klinik memiliki kekhasan tersendiri. Proses berpraktik di klinik tidak lagi dalam bentuk simulasi, melainkan mahasiswa fakultas hukum dihadapkan dengan klien secara langsung. Kepada mereka diajari bagaimana cara berhadapan dengan klien, menerima konsultasi dari klien, treatment seorang profesional hukum terhadap persoalan hukum klien.

“Belajar berhadapan dengan klien, tapi di bawah supervisi profesor,” terang Febby.

Menurutnya, hal-hal itu merupakan bagian penting dari menjadikan klinik hukum sebagai instrumen pengabdian terhadap masyarakat. Selain itu, klinik hukum dapat menjadi wadah mahasiswa untuk melakukan penelitian-penelitian yang memiliki hubungan dengan aktivitas-aktivitas nonlitigasi yang ditangani oleh klinik.

Febby mencontohkan, di FHUI terdapat lembaga Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI). Menurut Febby, MaPPI merupakan salah satu contoh klinik yang terdapat di FHUI yang dalam aktivitasnya melakukan penelitian-penelitian untuk ‘mempengaruhi’ kebijakan, meyakinkan pemerintah, memvokasi pemerintah untuk mengubah sebuah peraturan.

“Itu kan klinik, tapi itu kaitannya dengan kebijakan. Jadi sudah riil. Kalau lab masih simulasi, masih semu,” ujarnya menekankan.

Selanjutnya, terkait integrasi laboratorium hukum dengan kurikulum pendidikan hukum. Febby menjelaskan bahwa hal tersebut sebenarnya telah diakui oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sejak tahun 1993. Hal ini menjadi alasan kenapa saat ini di setiap universitas yang memiliki fakultas hukum pasti memiliki laboratorium.

Hal ini sebagaimana disampaikan Staf Ahli Kemenristekdikti, Deswita, pada kesempatan yang sama. Menurut Deswita, perubahan kurukilum penting dalam membentuk lulusan fakultas hukum yang siap pakai dan sesuai dengan pemenuhan kebutuhan pasar. Oleh karena itu, untuk menyiapkan lulusan fakultas hukum yang memiliki keseimbangan dalam teori dan praktik dibutuhkan fasilitas berupa laboratorium.

Deswita mengatakan bahwa fakultas hukum harus memiliki laboratorium hukum yang dapat dijadikan media bagi mahasiswa fakultas hukum dalam mengembangkan kemampuan berpraktiknya. “Untuk itu, dalam upaya mengintegrasikan antara laboratorium dengan kurikulum pendidikan hukum diperlukan sebuah usaha bersama,” ujarnya.

Belum ada kesepahaman

Febby mengakui saat ini di beberapa fakultas hukum, dalam kurikulum pendidikannya masih menempatkan mata kuliah laboratorium dengan bobot 0 SKS. Tapi selain itu, ada mata kuliah dengan bobot SKS yang cukup besar seperti kuliah, kerja, nyata (KKN) yang dijalankan oleh laboratorium hukum. Menurutnya, hal ini dikarenakan belum adanya kesepahaman dan standar bersama antara dosen-dosen penyelenggara laboratorium hukum.

“Makanya kita harus ngumpul untuk membahas standarnya kayak apa? Setelah itu baru mereka kembali dan menerapkan sesuai dengan nature universitas masing-masing. Tapi setidaknya kita punya standar. Ini yang akan kita kasih masukan ke Kemenristekdikti bahwa kita masukan standar lab hukum itu begini,” jelasnya.

Febby mengakui selepas diadakannya seminar tentang pengembangan laboratorium hukum tersebut, bersama dosen-dosen pembina laboratorium hukum dari beberapa kampus akan membentuk sebuah asosiasi dosen laboratorium fakultas hukum. Dengan begitu dapat dibuatkan program bersama ke depan agar bisa meningkatkan kapasitas bersama dan mengakses lebih jauh program yang disediakan oleh Kemenristekdikti.

Febby menyimpulkan beberapa kendala yang umumnya sering dihadapi oleh laboratorium hukum. Pertama, mindset dari profesor atau tim kurikulum yang masih menyamakan antara labaroratorium dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum di kampus-kampus. Kedua, terkait pendanaan yang dapat menunjang operasional dan infrastruktur laboratorium. Ketigaintegrasi laboratorium ke dalam kurikulum Pendidikan hukum.

Dekan FHUI, Prof. Topo Santoso mengatakan, laboratorium hukum setidaknya harus mengakomodir beberapa hal yang saling berkaitan. Pertamalaboratorium hukum untuk mata kuliah kemahiran yang biasanya tergabung dalam kelompok Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH). Misalnya, praktik-praktik hukum acara.

Kedualaboratorium hukum sebaiknya menjadi satu bagian dengan magang atau internship mahasiswa. Saat mahasiswa magang di lembaga-lembaga dan perusahaan, menurut Topo, seharusnya dikelola oleh laboratorium hukum. Ketiga, laboratorium hukum sebaiknya juga menjadi klinik hukum.

“Klinik hukum ini, mahasiswa juga berkontribusi buat masyarakat memberi bantuan hukum dan konsultasi kepada masyarakat dibantu oleh dosen-dosen,” ujar Topo.

Prof. Topo mengatakan seharusnya perguruan tinggi menaruh perhatian terhadap lab hukum karena tujuan dan output-nya jelas. Kemudian, kendala yang berkaitan dengan pandangan sebagian orang tentang beda antara laboratorium hukum dengan laboratorium ilmu pasti.

“Harus didukung laboratorium social humaniora seperti laboratorium hukum ini. Karena selama ini kan fokusnya seperti kepada ilmu-ilmu eksakta. Nah, sebagian besar laboratorium itu ilmu eksakata, padahal ada juga laboratorium social humaniora. Menurut saya harusnya Dirjen Dikti dan universitas lebih mendukung keberadaan labratorium hukum ini,” katanya.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a0ab9b90d7b2/membedah-perbedaan-laboratorium-dan-klinik-hukum

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI