"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Ryan Eka Permana Sakti: Melindungi Advokat dan Notaris Melalui Rezim Anti Pencucian Uang

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Rubrik > Ryan Eka Permana Sakti: Melindungi Advokat dan Notaris Melalui Rezim Anti Pencucian Uang

Pengantar

If you are going to the trouble of making all that money, you’d better find some way to hide it.” Meyer Lansky, mafia jenius yang mampu menyembunyikan uang hasil kejahatan melalui berbagai skema. Hal tersebut terbukti dari kesulitan yang dihadapi oleh kepolisian di Amerika Serikat, dan tidak terdeteksinya aliran dana yang ia sembunyikan selama beberapa tahun semasa kejayaan kelompoknya di awal tahun 1900an. Meskipun reputasinya sebagai seorang kriminal terus melekat, namun hal tersebut tidak menghalanginya untuk tetap membangun jaringan mafia dan politik dalam pemerintahan pada saat itu. Ia tidak hanya sendiri dalam menjalankan bisnis haramnya. Bersama kelompok Mafia Yahudi dan Italia, ia terus menjalankan kejahatan, bisnis dan sekaligus aktifitas politik bersama beberapa politisi di negara bagian New York.

Salah satu yang sangat terkenal dari dirinya adalah pendanaan atau sokongan finansial dan keamanan yang diberikan kepada Benjamin Siegel, salah satu arsitektur bisnis judi dan prostitusi di Las Vegas. Las Vegas saat ini kita kenal sebagai surganya para miliarder dalam menghabiskan kekayaan di kasino-kasino mewah. Banyak bukti mengarah pada rekening bank yang ia miliki, yang hingga saat ini tidak diketahui keberadaanya seperti di Swis, Hong Kong, Israel, dan Amerika Selatan. Setelah kematiannya di tahun 1983, Lansky dituduh oleh pengadilan federal atas beberapa kejahatan yang ia perbuat bersama jaringannya, seperti penggelapan pajak dan kejahatan lain yang mulai terungkap satu persatu.

Secara sederhana, para pelaku kejahatan saat ini mengadopsi prinsip bahwa untuk mengelabuhi proses hukum atas uang hasil tindak pidana yang mereka lakukan, maka sembunyikan uang hasil tindak pidana tersebut sebaik mungkin. Kemudian tidak berhenti di situ, mereka juga harus membangun jaringan kokoh bisnis yang sah untuk meyakinkan pemerintah dan penegak hukum bahwa mereka seorang pengusaha yang wajar. Terakhir, jangan pernah menyimpan uang mereka di dalam negeri, dan memindahkan aset-aset tersebut ke wilayah teritori/negara surga pajak (Tax Havens Countries and Territories).

Inisiasi dan Komitmen Rezim Anti-Pencucian Uang Internasional

Saat ini, rezim anti pencucian uang dunia secara konsisten dan berkelanjutan sedang mengembangkan sistem pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di dunia secara lebih akurat dan menyasar pada loopholes yang dominan melemahkan rezim anti-pencucian uang. Beberapa ahli meyakini bahwa pengembangan sistem tersebut menuju pada tingkatan yang lebih kuat dan tersistematis. Financial Action Task Force (FATF) atau Satuan Tugas Aksi Keuangan sebagai lokomotif utama rezim menyadari adanya perkembangan teknik pencucian yang canggih dan rumit seperti penggunaan korporasi untuk menutupi pemilik uang hasil kejahatan yang sebenarnya dan meningkatnya tren penggunaan profesi-profesi tertentu dalam memberikan saran dan bantuan dalam mencuci uang. FATF juga meminta negara-negara di dunia untuk menentukan arah dan mengambil kebijakan rezim yang sesuai, untuk mencegah hal tersebut semakin meluas, melalui rekomendasi-rekomendasi kepada negara-negara anggota (langsung atau tidak). Rekomendasi tersebut menjadi kerangka bagi pelaksanaan rezim anti pencucian uang dan dirancang untuk dapat digunakan secara universal, serta sebagai harmonisasi perlawanan terhadap kejahatan pencucian uang. Fourty Recommendation FATF terdiri atas empat bagian utama yaitu peran sistem hukum nasional dalam rezim, peran sistem keuangan dalam memberantas pencucian uang, ukuran pencapaian keberhasilan dalam menerapkan rezim, dan kerja sama internasional.

Profesi dan Kerentanan Sebagai Saranan Kejahatan

Seseorang yang mungkin tidak mengerti atau bahkan mengenali proses/skema bisnis, investasi, keuangan, jual/beli aset, merger/akuisis, dan pembayaran pajak korporasi perusahaan tentu membutuhkan bantuan tenaga profesional di bidang keuangan (akuntan, konsultan pajak, dan perencana keuangan), hukum (corporate lawyer, law consultant) untuk menyusun dan menjalankan rencana-rencana tersebut sebagaimana dilakukan oleh Lansky. Begitu juga dengan pelaku tindak kejahatan (misalnya korupsi, penyuapan pejabat negara, narkotika, pengemplang pajak, pelaku penebangan hutan secara ilegal, dan kejahatan lainnya) yang memiliki uang hasil kejahatan dalam jumlah banyak.

Di dalam kultur negara common law, profesi-profesi tersebut secara mandiri berkomitmen melindungi profesi mereka dari pencucian uang yang memanfaatkan keahlian tersebut dengan cara memperketat proses pemberian izin profesi, kode etik yang sangat ketat dan ditegakkan secara konsisten, prosesconstumer due dilligence dilakukan sebelum hubungan kontraktual dilakukan, pengingkatan kapasitas dan wawasan terhadap berbagai modus kejahatan juga diberikan. Pengawasan terhadap kiprah profesional mereka pun turut dipantau agar kredibilitas dan integritas tetap terjaga. Mayoritas dari mereka menganggap bahwa kompetisi yang sehat itu berbanding lurus dengan reputasi profesi mereka. Klien yang akan menggunakan jasa mereka semakin percaya terhadap kualitas dan integritas mereka.

Pemerintah dan legislatif di negara-negara common law juga konsisten menerapkan prinsip dan standar internasional yang meminta negara anggota untuk mengatur dan menjalankan beberapa aturan yang menyangkut dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Keharusan profesi-profesi tersebut untuk bekerja sama kepada otoritas intelijen keuangan di negaranya dilakukan dalam rangka melindungi profesi mereka dan membantu penegak hukum dalam memutus rantai kejahatan yang merongrong integritas keuangan nasional dan memperburuk citra negara dalam perekonomian internasional.

Pada tahun 1999, setelah negara anggota G-8 mengeluarkan the Moscow Communique, FATF membentuk tim kerja yang mengkaji dan menguji kemungkinan-kemungkinan profesi-profesi tertentu digunakan sebagai sarana/bantuan pencucian uang. Hingga di tahun 2002, mereka mengeluarkan hasil kajian dan pengujian terhadap beberapa sumber yang menyatakan adanya tren penggunaan profesi-profesi tertentu seperti pengacara, akuntan, dan notaris menjadi perantara (intermediaries) sekaligus menyediakan saran-saran untuk melakukan pencucian uang. (Kevin L. Sheperd: 2009) Sehingga, profesi-profesi tersebut menjadi sangat relevan untuk diatur secara mendalam untuk turut memperkuat rezim anti-pencucian uang.

Merujuk pada rekomendasi ke 12 FATF 40 Recommendations (”The customer due diligence and record-keeping requirements set out in Recommendations 5, 6, and 8 to 11 apply to designated non-financial businesses and professions in the following situations: d) Lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants when they prepare for or carry out transactions for their client concerning the following activities: buying and selling of real estate; managing of client money, securities or other assets; management of bank, savings or securities accounts; organisation of contributions for the creation, operation or management of companies; creation, operation or management of legal persons or arrangements, and buying and selling of business entities.” Maksud dari rekomendasi di atas yaitu penerapan customer due dilligence dan syarat untuk mengelola data/informasi terkait klien berlaku juga pada bisnis non-keuangan dan profesi-profesi sebagaimana disebutkan antara lain pengacara, notaris, jasa hukum lainnya, dan akuntan saat mereka melakukan aktifitas tertentu sebagaimana tertera di dalam butir rekomendasi tersebut.

Rekomendasi 16 FATF 40 Recommendations, “The requirements set out in Recommendations 13 to 15, and 21 apply to all designated non-financial businesses and professions, subject to the following qualifications: a) Lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants should be required to report suspicious transactions when, on behalf of or for a client, they engage in a financial transaction in relation to the activities described in Recommendation 12 (d). Countries are strongly encouraged to extend the reporting requirement to the rest of the professional activities of accountants, including auditing.”

Dibutuhkan alasan yang cukup untuk membuat justifikasi bahwa dana/aset miliki klien ‘diduga’ merupakan hasil tindak pidana atau pendanaan terorisme sehingga profesi-profesi tersebut harus melaporkannya kepada unit intelijen keuangan di negara tersebut, dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai focal point penentuan standar dan reasonable ground.

Dasar dari penciptaan rekomendasi 12 dan 16 untuk mempersempit ruang gerak pencucian uang, menghambat tumbuhnya tingkat kejahatan yang menjadi sumber pencucian uang, serta mendorong angka pertumbuhan ekonomi diseluruh dunia. Lebih dari itu juga untuk menciptakan iklim persaingan yang kompetitif dan bersih di antara profesi-profesi tersebut.

Reaksi Indonesia

Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang, di tahun 2006 pernah memasukan profesi-profesi tersebut ke dalam batang tubuh RUU-nya sebagai pihak pelapor (reporting parties). Namun tidak benar-benar diketahui mengapa rancangan pasal tersebut tidak muncul pada saat disahkan menjadi undang-undang di tahun 2010. Empat tahun setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Indonesia masih belum mengatur substansi yang sama dalam bentuk peraturan apapun.

Kontroversi terjadi di antara pengacara, notaris dan akuntan yang merasa bahwa kewajiban sebagai pihak pelapor akan membebani mereka, juga berpotensi ‘mengganggu’ hubungan dengan klien. Alasan klasik yang juga dilontarkan oleh American Bar Association (ABA) untuk menentang kewajiban pelaporan adalah confidentiallity of client sebagai salah satu hal yang melandasi hubungan pengacara dengan para klien-nya. Klien percaya bahwa pengacara akan menangani permasalahannya dengan profesional berbasis keahlian`, dan selalu memberikan bantuan dengan benar. Pengacara mengharapkan hal yang sama dari klienya, bahwa klien akan terbuka, menyampaikan seluruh informasi yang menyangkut dengan bantuan yang diminta. Bentuk hubungan tersebut diperkuat dengan pembentukan kode etik di beberapa jenis profesi dan bahkan memperkuatnya melalui norma undang-undang sektoral mereka.

Penolakan terbuka juga telah bergulir sejak tahun 2006-2007, misalnya pernyataan beberapa advokat “Saya tidak setuju advokat menjadi pihak yang wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Ini kan bertentangan dengan UU Advokat dan bisa menjadi polemik.”  atau “Memasukkan profesi advokat sebagai pihak yang wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan sangat bertentangan dengan profesi advokat itu sendiri.”

Belum muncul reaksi lain dari profesi-profesi yang akan menjadi pihak pelapor dalam rezim anti-pencucian uang yang baru. Namun apakah pernyataan-pernyataan tersebut cukup memberikan alasan agar profesi-profesi tertentu tidak dijadikan pihak pelapor dalam rezim anti-pencucian uang di Indonesia? Tentu tidak dapat kerahasiaan klien yang di atur sebagai norma undang-undang kemudian menegasikan perkembangan hukum di suatu negara.

Rezim Anti-Pencucian Uang Indonesia Mengatur Perluasan Pihak Pelapor

Perjalanan rezim Indonesia sudah memasuki usia 12 tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang saat itu masih dianggap belum mampu memenuhi standar dan prasyarat sebuah negara mengatur rezim anti pencucian uang melalui regulasi nasional dan sektoralnya. Didahului dengan masuknya Indonesia ke dalam daftar Non-Cooperative Country and Territories (NCCTs) yang membuat aktifitas ekonomi Indonesia memburuk.Letter of Credit yang berasal dari Indonesia bahkan banyak mendapat penolakan dari negara-negara yang ingin menghindar dari keterlibatan pencucian uang di negara-negara NCCTs (Cook Islands, Egypt, Guatemala, Hungary, Indonesia, Israel, Lebanon, Marshall Islands, Myanmar, Nauru, Nigeria, Niue, Philippines, Russia, St. Kitts and Nevis dan St. Vincent and the Grenadines). Tekanan dunia Internasional pun terus berdatangan, setelah berbagai pengujian terhadap standar dan ukuran keberhasilan rezim oleh Tim Khusus FATF, sehingga membuat Indonesia akhirnya melakukan penyempurnaan-penyempurnaan undang-undang menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mengatur hal yang sama. Namun setelah melalui cross examination dan evaluasi oleh Tim khusus FATF tahun 2003, Indonesia masih dimasukkan ke dalam daftar NCCTs tersebut sampai pada akhirnya tahun 2006 sidang FATF di Afrika Selatan mengeluarkan Indonesia dari daftar tersebut. Tidak berhenti disitu, tahun 2010 akhirnya Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang mengganti undang-undang sebelumnya sebagai bukti komitmen terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Terhadap berbagai macam rekomendasi dan perkembangan rezim internasional, Indonesia masih berpotensi untuk masuk kembali dalam daftar tersebut. Rezim global saat ini semakin menguat, terlebih lagi penelitian, forum konsultasi, eksaminasi berbagai jenis kasus untuk mengetahui tipologi dan modus yang dilakukan pelaku pencucian uang, hingga membentuk tim-tim khusus untuk mengidentifikasi dan mengukur sejauh mana kejahatan telah meluas.

Pada pasal 17 ayat (1) misalnya, telah mengatur pihak-pihak mana saja yang memiliki kewajiban pelaporan terhadap kriteria yang ditetapkan, namun tidak satu pun profesi disebutkan. Butuh waktu yang cukup lama agar undang-undang ini dapat direvisi untuk memenuhi ekspektasi. Lalu, bagaimana seharusnya pelaporan oleh profesi-profesi di atur? Apakah harus menanti adanya revisi atau undang-undang baru yang jelas akan memakan waktu yang lama?

Khusus mengenai bagaimana profesi-profesi di dorong untuk masuk sebagai pihak pelapor (reporting parties), Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah memberikan ruang agar setiap perkembangan rezim dapat terfasilitasi. Misalnya pada Pasal 93 yang menyebutkan bahwa dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan pendanaan terorisme, PPATK dan instansi terkait dapat melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan. Sehingga kemudian pemerintah dapat mengatur hal tersebut secara khusus baik melalui perubahan (revisi) undang-undang atau pembuatan peraturan pemerintah.

Apabila saat ini pemerintah memulai lagi pembahasan tentang pengaturan perluasan reporting parties, dalam format peraturan perundang-undangan yang dianggap sesuai, tentu dibutuhkan beberapa hal yang strategis untuk dilakukan. Mengingat upaya untuk menjadikan mereka sebagai reporting partiespernah dilakukan dan tidak berhasil setelah melalui pembahasan di DPR. Pemerintah diharapkan mampu memperkuat amunisi secara signifikan agar perkembangan rezim berjalan sesuai arah global dan nasional.

Apabila upaya ini berhasil, kalangan profesilah yang akan merasakan langsung manfaatnya. Kepercayaan klien di masa depan justru semakin besar karena para profesional tersebut merupakan bagian dari rezim anti-pencucian uang yang menciptakan reputasi baik. Klien akan percaya bahwa mereka ditangani oleh pihak yang menjaga dirinya dari keterlibatan dengan berbagai macam kejahatan, termasuk pencucian uang.

Tahapan Penting Menuju Garis Akhir

Di dalam membuat justifikasi dan keputusan akhir, bahwa profesi perlu dijadikan sebagai reporting parties dalam rezim maka penting dilakukan analisis terhadap kemungkinan-kemungkinan adanyapotential harm (potensi-potensi merugikan) sehingga ter-capture seluruh lubang yang segera harus ditutup untuk mencegah meluasnya uang/aset hasil tindak pidana ke tempat lain. Proses ini sangat relevan dilakukan sebelum rancangan peraturan perundang-undangan dibuat, sekaligus mampu memberikan argumentasi hukum dan non-hukum yang kuat. Argumentasi dan landasan-landasan perlunya tindak lanjut atas hasil analisis potential harm tersebut juga akan menjawab kebutuhan untuk mengatur lebih jauh ke dalam peraturan perundang-undangan terkait profesi-profesi yang membahayakan rezim anti-pencucian uang di masa yang akan datang.

Selain itu, menguji silang (cross examination) pengaturan terkait profesi yang diwajibkan untuk melapor, dengan aturan perundang-undangan lainnya yang berpotensi saling berbenturan atau bahkan tumpang tindih, menjadi prasyarat yang penting untuk dilakukan. Untuk mewujudkan harmonisasi pengaturan terhadap suatu objek, jelas permasalahan benturan atau tumpang tindih norma hukum harus dihindarkan.

Level of readiness yang harus diuji, baik secara kualitatif maupun kuantitaitif untuk meyakinkan seluruh pihak bahwa dengan dijadikannya profesi-profesi tersebut sebagai reporting parties maka proses pelaporan akan berhasil dilaksanakan (tentu disertai pengembangan yang berkelanjutan). Tanpa disertai adanya adequate level of readiness terhadap berbagai aturan yang dibuat, maka norma-norma tersebut akan berhenti tanpa ada tindak lanjut yang kuat. Level of readiness tidak terhenti pada pembahasan sistem dan substansi saja, namun juga mempertimbangkan kualitas dan kapasitas pelaksananya. Dibutuhkan peningkatan capacity building agar rezim mampu diterjemahkan secara tepat dan akurat.

Memperkuat analisis dan seluruh sumber informasi yang mampu memformulasikan reasonable ground for suspicious (dasar alasan menyatakan mencurigakan) agar profesi memiliki alat ukur untuk menentukan apakah klien mereka memenuhi kriteria sebagai pelaku atau calon pelaku pencucian uang dengan memanfaatkan jasa/keahliannya. Dokumen tersebut haruslah sesuatu yang kuat dan mendasar, sehingga mudah serta terukur dalam membuat justifikasi.

Seperti yang digambarkan oleh Peter Yam Tat-wing, seorang Asisten Komisioner Pidana Kepolisian Hong Kong, bahwa kejahatan teroganisasi seperti pencucian uang tidak dapat dilawan secara efektif kecuali dengan adanya kerjasama yang efisien dan efektif antar institusi, dan institusi berbagai macam jurisdiksi yang bekerja sama memberantas pencucian uang. Kerja sama menjadi kata kunci terakhir untuk menjalankan strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, khususnya di Indonesia.

Rezim anti-pencucian uang Indonesia layak mendapatkan dukungan penuh dari kita. Investasi jangka panjang terhadap penegakan hukum dan sistem pencegahan kejahatan harus dimulai dari sekarang. Sistem yang terus menerus mengalami perkembangan, menjadi ciri semakin dewasanya proses berdemokrasi suatu bangsa.

Ryan Eka Permana Sakti
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Peneliti Indonesian Research Center on Anti-Money Laundering (IRCA) Universitas Indonesia

Ryan Eka Permana Sakti

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI