Perlu pengaturan lebih lanjut yang berkaitan dengan pedoman dan persyaratan pembatasan hak asasi manusia dalam kebijakan pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular.
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak tahun 2020 telah mendorong Indonesia dan negara-negara di dunia memperbarui kebijakan dan hukum soal wabah penyakit menular. Bahkan ada upaya membentuk suatu kerja sama internasional dalam pencegahan pandemi. Tahun ini negara anggota World Health Organization (WHO) termasuk Indonesia telah sepakat untuk memperpanjang waktu negosiasi penyusunan Traktat Pandemi internasional. Traktat ini dikenal sebagai WHO Pandemic Treaty.
Perpanjangan satu tahun tersebut menunjukkan keseriusan negara-negara dunia dalam menyusun Traktat Pandemi. Tujuan traktat ini memang sebagai solusi global terhadap ancaman wabah penyakit menular internasional. Berdasarkan pengalaman selama pandemi COVID-19, 194 anggota WHO termasuk Indonesia telah sepakat untuk menginisiasi penyusunan suatu Traktat Pandemi pada November 2020. Traktat ini akan menjadi suatu instrumen hukum internasional. Isinya akan meregulasi upaya kerja sama dalam mencegah, mempersiapkan, serta merespon kejadian pandemi global di masa yang akan datang.
Indonesia mendukung penuh upaya penyusunan Traktat Pandemi sebagai bentuk pelaksanaan ketertiban dunia sesuai amanat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Ini sekaligus pelaksanaan komitmen Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui akses dan kualitas pelayanan kesehatan nasional yang juga termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dukungan penuh itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bersama pemimpin negara lainnya pada tanggal 30 Maret 2021. Mereka membuat pernyataan bersama: “bahwa komunitas internasional harus bisa bekerja sama menuju perjanjian internasional baru untuk kesiapsiagaan dan tanggap darurat pandemi”. Kerja sama ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas kesehatan global bagi masyarakat dan generasi mendatang.
Bagi Indonesia, pencegahan wabah penyakit menular dari luar dan dalam negeri merupakan indikator pencapaian kesehatan nasional. Tentu saja ini tidak dapat dicapai tanpa adanya suatu kerja sama internasional. Perlu dicatat bahwa ancaman kesehatan di era globalisasi dan keterhubungan global tidak lagi datang dari dalam negeri atau sekadar berskala regional. Era ini menyediakan kemudahan akses perjalanan manusia, hewan, dan barang dari antarnegara. Dampaknya adalah meningkatkan frekuensi dan intensitas infeksi wabah penyakit yang dibawa oleh manusia, hewan, dan barang sebagai vektor penyakit. Alhasil frekuensi kejadian epidemi hingga pandemi wabah penyakit menular pun meningkat.
Secara geografis dan demografis, Indonesia rentan terhadap penyebaran dan infeksi penyakit menular. Oleh karena itu, penyusunan Traktat Pandemi oleh negara-negara anggota WHO memiliki nilai strategis sekaligus prioritas nasional bagi Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kebijakan UU Kesehatan Indonesia yang telah diperbarui secara omnibus sudah siap mengakomodasi dan menjalankan rancangan Traktat Pandemi yang sedang disusun?
Tantangan dalam Traktat Pandemi
Penyusunan Traktat Pandemi yang didukung penuh oleh 194 negara bukannya berjalan tanpa permasalahan. Meski dipandang sebagai solusi ampuh dalam pencegahan wabah penyakit menular secara global, tidak mudah menyatukan pandangan dan kepentingan 194 negara. Banyak hal yang harus diatur dalam hal kerja sama, komitmen, tugas, serta tanggung jawab dalam kegiatan pendeteksian, pelaporan, pencegahan, dan penanggulangan wabah secara internasional.
Kita perlu menyadari bahwa komitmen disertai tanggung jawab penuh oleh negara anggota dibutuhkan dalam menyukseskan pelaksanaan suatu perjanjian internasional. Dari kacamata hukum internasional, traktat merupakan suatu instrumen berbentuk perjanjian. Isinya disusun, disepakati, dan diratifikasi sebagai hukum yang mengikat negara sebagai subjek hukum yang meratifikasinya.
Sifat hukum internasional sebagai soft law atau tidak mengikat secara memaksa, kebermanfaatan traktat tetap ada jika negara anggota mampu dalam melaksanakan isinya. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa isi traktat bersifat executable atau dapat dilaksanakan.
Penyusunan perjanjian internasional harus memerhatikan kapasitas negara anggota yang menyusunnya dan kapasitas rata-rata negara atau subjek sasaran dalam melaksanakan objek atau isinya. Ini adalah syarat agar dapat dilaksanakan. Rendahnya kapasitas negara dalam mengeksekusi suatu perjanjian internasional kerap disebabkan faktor kesenjangan ekonomi, sosial, politik, dan penguasaan teknologi berbagai negara di dunia. United Nations Development Program sendiri telah menyerukan negara anggota PBB untuk melakukan kerja sama dalam pembangunan kapasitas.
Pembangunan kapasitas dalam pencegahan wabah penyakit menular dapat berupa bantuan finansial, transfer teknologi, transfer sumber daya, kerja sama antarnegara (G to G) dan/atau negara dengan swasta (G to P) untuk membangun infrastruktur yang diperlukan. Program tersebut merupakan penjabaran lanjut dari Capaian Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-17 yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan.
Tantangan ke depan dalam penyusunan Traktat Pandemi ialah mengharmonisasikan kerja sama pembangunan kapasitas yang diwarnai oleh perbedaan kepentingan negara maju dan berkembang. Kerja sama pembangunan kapasitas tersebut tidak hanya bersifat internasional namun juga transnasional. Ini karena upaya penanggulangan wabah bertumpu tidak hanya pada penguatan kapasitas serta kemampuan koordinasi di antara pemerintah pusat/negara atau lembaga internasional. Perlu juga penguatan di antara pemerintah, lembaga, dan otoritas daerah dalam suatu negara dengan pemerintah pusat, negara lain, hingga lembaga internasional. Butuh political will negara agar dapat beradaptasi terhadap tantangan perubahan yang dibutuhkan. Bentuknya dengan menjunjung tinggi HAM, transparansi, serta demokratisasi kebijakan kesehatan.
Dari kacamata hukum kesehatan, Traktat Pandemi sebagai instrumen hukum kesehatan internasional harus memenuhi prinsip hukum. Wujudnya yaitu dilaksanakan dengan bertujuan pada pencapaian derajat kesehatan setinggi-tingginya secara inklusif, tanpa diskriminasi, dan menjunjung penghormatan terhadap hak asasi manusia. Tantangan yang muncul—untuk penyelarasan pandangan dalam peran negara terhadap pencegahan dan penanggulangan wabah—antara lain perbedaan paradigma terhadap pelayanan kesehatan apakah sebagai jasa publik atau privat. Paradigma privat jelas dapat menimbulkan komersialisasi pelayanan kesehatan.
Perbedaan sistem pemerintahan antara demokrasi dan otoriter dapat menimbulkan pelanggaran HAM. Misalnya seperti pelanggaran hak privasi, hak tubuh, hak menentukan nasib sendiri masyarakat, kesewenang-wenangan, serta memicu munculnya stratifikasi dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan terjadinya diskriminasi sosial dalam pelaksanaan kebijakan kesehatan.
Kesiapan UU Kesehatan Indonesia
Kesiapan UU Kesehatan dalam mendukung penyusunan dan pemberlakuan konsep Traktat Pandemi akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia. UU Kesehatan yang bercorak omnibus telah menjawab tantangan penyelarasan dan koordinasi secara efektif dalam penanggulangan dan pencegahan wabah penyakit menular secara nasional.
UU Kesehatan tidak hanya menyelaraskan pengaturan pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular dalam satu undang-undang. Isinya juga menyelaraskan wewenang, tugas, dan tanggung jawab antarpemangku kepentingan yang dikoordinasi oleh Pemerintah Pusat. Hal tersebut termaktub dalam pasal 379 ayat (1) UU Kesehatan, yang memuat ketentuan bahwa: “kegiatan penanggulangan wabah dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, dan tepat sasaran dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah Daerah”.
Selanjutnya dalam pasal 379 ayat (2) UU Kesehatan menjelaskan lebih lanjut bahwa: “Pemerintah Pusat dalam penanggulangan wabah dapat berkoordinasi dengan negara lain atau badan internasional”. Melalui kegiatan koordinasi tersebut diharapkan dapat tercipta suatu sinergi lintas lembaga pemerintahan dan nonpemerintah. Sinergi ini baik secara vertikal maupun horizontal, serta baik dalam negeri maupun luar negeri dalam penanganan dan penanggulangan wabah penyakit menular.
Adanya kerja sama tersebut diharapkan mewujudkan sinergi pembangunan kapasitas, transfer teknologi, dan kerja sama. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dicapai tanpa adanya suatu peraturan turunan yang mengatur secara rinci pelaksanaan koordinasi penanganan dan penanggulangan wabah penyakit menular tersebut. Peraturan turunan tersebut harus memuat teknis pembagian tanggung jawab, tugas, wewenang, dan batasannya. Begitu pula mekanisme kerja sama antarpihak lintas lembaga dan lintas sektor—baik dalam maupun luar negeri—dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai-nilai demokrasi Pancasila.
UU Kesehatan omnibus ini mendasarkan kebijakan kesehatan—termasuk pencegahan dan penanggulangan—pada prinsip nondiskriminasi, berperikemanusiaan, dan keadilan berdasar pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dasar ini dijelaskan dalam bagian menimbang dan Pasal 2 UU Kesehatan yang berisi asas-asas. Prinsip nondiskriminasi adalah prinsip yang tidak membeda-bedakan perbedaan ras, golongan, agama, dan gender. Prinsip perikemanusiaan mendasarkan pembangunan kesehatan berperikemanusiaan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Akhirnya, prinsip keadilan yang dimaksud adalah penyelenggaraan upaya kesehatan secara adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat.
Namun, penyelenggaraan upaya kesehatan—termasuk pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular di Indonesia—yang dijelaskan dalam UU Kesehatan belum secara tegas menyatakan bahwa upaya tersebut diselenggarakan berlandaskan pada penghormatan hak asasi manusia serta menjunjung nilai-nilai demokrasi. Padahal itu penting demi mewujudkan upaya pencegahan dan penanggulangan wabah yang efektif secara global, transparan, akuntabel, berdasarkan prinsip kebutuhan (necessity), serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pemerintah masih perlu mempersiapkan pengaturan lebih lanjut yang berkaitan dengan pedoman dan persyaratan pembatasan hak asasi manusia dalam kebijakan pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular. Bisa disimpulkan bahwa hukum kesehatan dan penanggulangan wabah Indonesia masih perlu ditingkatkan guna mendukung cita-cita nasional dan global dalam mewujudkan kerja sama efektif di bidang pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular. Tentu saja ini persis dengan yang dicita-citakan oleh Traktat Pandemi internasional WHO.
Djarot Dimas Achmad Andaru, S.H.,M.H., Pengajar dan Peneliti Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/mampukah-uu-kesehatan-jadi-solusi-penanganan-pandemi-lt66bbaa0026662/