Argumentasi: demokrasi perwakilan
Pendukung pilkada oleh DPRD Provinsi berargumen, demokrasi berdasarkan sila ke-4 adalah demokrasi perwakilan. Sebagai “bukti”, mereka merujuk pada pilkada langsung yang banyak menghasilkan kepala daerah yang korup.
“Bukti” tersebut tidaklah berbobot sebagai pendukung argumentasi. Cukup dengan penegakan hukum yang benar, konsekuen, dan tanpa pandang bulu, bukti tersebut akan gugur dengan sendirinya karena menciptakan efek jera. Di samping itu, demokrasi perwakilan dan perilaku koruptif adalah dua isu hukum yang terpisah. Bila keduanya terjadi bersamaan, hal itu adalah kebetulan belaka, bukan hubungan sebab-akibat. Sama halnya dengan kokok ayam tidak menerbitkan matahari.
Namun argumentasi itu sendiri patut mendapatkan perhatian kita. Pertama, karena ini adalah suatu klaim serius terkait dasar negara. Kedua, karena argumentasi ini diusung Koalisi Merah Putih, yang di atas kertas merupakan bagian terbesar dari DPR 2014-2019.
Mari kita periksa sila ke-4. Meski pemeriksaan ini singkat, tetapi Anda bisa menentukan kebenaran atau keakuratan argumentasi tersebut.
Sila ke-4
Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mencoba memenuhi permintaan Ketua BPUPKI dr. K. R. T. Radjiman Wediodiningrat tentang philosofische grondslag Indonesia Merdeka. Untuk dasar ketiga, Sang Proklamator tersebut menguraikan tentang “dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan”. Sang Orator haqqul yakin bahwa “syarat multak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”. Indonesia adalah negara“’semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat satu”.
Proses persidangan berikut kemudian merumuskan dasar itu menjadi sila ke-4 yang kita kenal sekarang: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama terjadi ketika kita fokus pada satu aspek, seperti “permusyawaratan” saja. Perbuatan ini tentunya adalah suatu perbuatan tidak adil terhadap sila ke-4.
Untuk pemahaman yang benar, kita kupas satu persatu aspek yang ada. Setelah itu kita akan menemukan betapa dalamnya makna sila berlambang kepala banteng ini.
“Kerakyatan” dan “demokrasi”
Ihwal kerakyatan pertama-tama adalah tentang “segala sesuatu yang mengenai rakyat”. Dalam kehidupan politik nasional, makna kerakyatan kemudian mengerucut pada “demokrasi”.
Kita harus camkan, demokrasi adalah kata serapan dalam bahasa Indonesia. Dalam penyerapan suatu kata, mustahil kita preteli makna atau konsep aslinya. Kemudian, secara konseptual demokrasi adalah buah-pikir masyarakat Barat. Meski konsep demokrasi kemudian menjadi universal, tetapi setiap negara mempunyai kisah dan sejarah masing-masing. Universal sebagai suatu konsep, majemuk dalam pelaksanaan nasional.
Oleh karena itu tidak heran kita mengenal “Demokrasi Parlementer”, “Demokrasi Terpimpin”, dan “Demokrasi Pancasila”. Ketiganya memiliki persamaan: sistem pemerintahan. Mengapa kita coba sana coba sini? Karena kita mencoba mencari sistem yang terbaik dan tercocok. Yang patut kita camkan: demokrasi adalah alat, bukan tujuan.
Apakah yang menjadi tujuan “demokrasi” (baca: kerakyatan dalam arti sempit)? Merujuk kepada Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Apakah ini artinya Pancasila adalah suatu sistem perjenjangan sila? Tidak, sebab kelima sila paut-memaut sebagai dasar Indonesia Merdeka. Itu sebabnya Sukarno kemudian mengatakan, urutan sila tidak penting. Pancasila bisa menjadi Trisila, dan bahkan menjadi satu dasar: “gotong-royong”.
Dasar untuk apa? Untuk “Indonesia Merdeka” (baca: kerakyatan dalam arti luas). Apakah yang menjadi tujuan “kerakyatan”? Merujuk pada Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan melaksanakan ketertiban dunia.
Jadi kerakyatan adalah segala sesuatu yang mengantarkan kita mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka, dan demokrasi adalah alat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Dipimpin”
Sifat pasif sangat dominan dalam penyusunan kalimat dalam bahasa Indonesia. Hal ini terjadi sebagian karena budaya ewuh-pakewuh; sebagian lagi karena pribadi/subyek penerima perbuatan adalah lebih penting ketimbang pribadi/subyek pemberi perbuatan. Kepasifan ini lebih jelas melalui “tut wuri handayani”: dari belakang mendukung/mendorong.
Jadi kerakyatan yang didukung/didorong “hikmat kebijaksanaan”, yang merupakan buah dari “permusyawaratan perwakilan”, akan mengantarkan rakyat Indonesia kepada tujuan Indonesia Merdeka.
“Hikmat kebijaksanaan”
Pancasila dengan akurat merumuskan kekhasan demokrasi kita. Bukan tokoh atau suara mayoritas, tapi hikmat kebijaksanaan yang merupakan penentu keberhasilan demokrasi. Demikian tinggi kearifan lokal kita dalam menentukan kriteria kepemimpinan. Akibatnya: pribadi tanpa hikmat kebijaksanaan tidaklah layak memimpin Indonesia. Pimpinan tanpa hikmat kebijaksanaan tidak akan jauh dari kubang kesesatan. Bukankah hikmat kebijaksanaan suatu utopia? Bukankah hanya para filsuf yang mengejar kebijaksanaan?
Ada dua cara untuk memperoleh “hikmat kebijaksanaan”. Pertama, kedalaman penguasaan ilmu pengetahuan yang melibatkan kontemplasi. Kedua, pengalaman langsung (first-hand experience) menghadapi berbagai macam masalah. Cara kedua terangkum dalam perumusan sila ke-4. “Permusyawaratan perwakilan” akan memberikan kita pengalaman yang langsung berbuah pada hikmat kebijaksanaan. Jadi “hikmat kebijaksanaan” adalah daya pimpin satu-satunya yang bisa mewujudkan kerakyatan yang kita cita-citakan.
“Permusyawaratan perwakilan”
Bung Karno menyarankan agar segala tuntutan dan pertarungan ide berlangsung di forum badan perwakilan. Kita boleh mati-matian berdebat, tapi hanya terbatas di forum ini. Setelah selesai proses di sini, kita semua bersatu-suara sebab kepentingan bangsa di atas segalanya. Namun kita juga belajar memahami permasalahan sesama. Dengan kata lain: lebih berhikmat kebijaksanaan setiap usai suatu permusyawaratan.
Siapa yang sudi membaca risalah sidang BPUPKI akan menemukan penjelasan adisarjana hukum kita, Supomo, bahwa “permusyawaratan” dan “perwakilan” adalah dua konsep yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum Perubahan.
Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama oleh semua pihak. Itu sebabnya UUD 1945 sebelum Perubahan mengenal Fraksi Utusan Golongan dan Utusan Daerah di MPR. Kursi di MPR diperoleh bukan lewat pemilu, tetapi sudah teralokasi sejak awal. Apapun hasil pemilu, semua elemen di masyarakat harus tetap terwakili.
Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. DPR hanya mengakomodasi hasil pemilu, tapi MPR mengakomodasi semua elemen masyarakat. DPR sebagai mitra kerja Presiden, yang adalah “mandataris MPR”.
Karena komposisi dan sifat kerjanya, secara konseptual DPR sulit mencapai “hikmat kebijaksanaan”. Sulit, tapi bukannya mustahil. MPR yang adalah lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, mutlak dituntut untuk melulu tergerak oleh “hikmat kebijaksanaan”.
Timbul pertanyaan-pertanyaan: Bukankah setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi memegang kedaulatan rakyat? Apakah MPR sekarang, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD hasil pemilu, sepadan dengan MPR sebelum Perubahan? Apakah tidak mungkin permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR?
Jawab: Pasca Perubahan rakyat kembali memegang penuh kedaulatan, kecuali yang sudah dinyatakan dengan jelas dalam UUD 1945. Tidak, MPR sekarang tidak sepadan dalam komposisi dengan MPR sebelumnya. Mungkin saja permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR jika anggota DPR mampu meraih kebijaksanaan karena penguasaan ilmu pengetahuannya ataupun karena pengalaman langsung membimbingnya demikian.
Jelas Perubahan UUD 1945 mengeser sebagian penting dari konsep sejati “permusyawatan perwakilan” ke luar forum lembaga tertinggi negara. Namun karena Perubahan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, maka lembaga-lembaga negara harus mampu menangkap dan menampung aspirasi sekecil apapun di dalam masyarakat. Ulangi: lembaga negara, bukan anggota MPR, bukan anggota DPR, bukan anggota DPD, tapi lembaga negara.
Jadi “permusyawaratan” tidak identik dengan“perwakilan”.
Sila ke-4 dan Pilkada oleh DPRD
Pancasila tetap menjadi dasar negara meski UUD 1945 mengalami perubahan. Tidak ada perubahan filosofis, tetapi yang terjadi adalah perubahan yuridis. Pancasila tetap menjadi dasar dari UUD 1945. Yang berubah adalah bagaimana UUD 1945 pasca Perubahan mencoba membawa kita mewujudkan tujuan Indonesia Merdeka.
Argumentasi tentang pilkada oleh DPRD Provinsi dapat kita terima sebelum Perubahan. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR menjadi forum permusyawaratan seluruh bangsa Indonesia. Berdasarkan hasil musyawarah (Garis-garis Besar Haluan Negara), MPR mengangkat Presiden sebagai mandataris. Semua kepala daerah menjadi perpanjangan tangan Presiden, sebab mereka adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah. Jika aspirasi rakyat tidak tertampung, maka kita masih bisa berharap MPR menjadi forum solusi bersama.
Namun argumentasi itu menjadi tumpul ketika Perubahan UUD 1945 mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. MPR tidak lagi bermusyawarah menghasilkan GBHN. Presiden menjadi mandataris rakyat yang terpilih secara terpisah dari kepala daerah. MPR, DPR, dan DPRD tidak lagi berbeda secara hakikat. Semua sama-sama hasil pemilihan dengan suara mayoritas, sehingga tidak semua elemen masyarakat terwakili. Oleh sebab itu, tidak semua elemen rakyat terwakili dalam memilih kepala daerah.
DPRD Provinsi terdiri dari para politisi yang terpilih dalam pemilu. Politisi pada dasarnya adalah kader partai. Oleh karena itu mereka adalah partisan. Karena partisan, adakah hikmat kebijaksanaan yang bisa kita harapkan dari mereka? Jika hikmat kebijaksanaan saja masih mereka cari, “musyawarah” seperti apakah yang bisa mereka hasilkan?
Berdasarkan uraian di atas, maka demokrasi menurut sila ke-4 bukanlah “demokrasi perwakilan”. Perwakilan yang tidak menyeluruh tidak akan menjadi suatu permusyawaratan. Tanpa permusyawaratan, tidak akan hadir hikmat kebijaksanaan. Tanpa hikmat kebijaksanaan, kita hanya akan mendapatkan kepemimpinan yang pandir. Kerakyatan yang dipimpin oleh kepandiran adalah kekacauan.
Lalu bagaimanakah rakyat yang tidak terwakili suaranya di DPRD Provinsi mengeksekusi kedaulatannya? Ya dengan memilih sendiri kepala daerahnya!
Dari Selasar.com Rabu, 24 September 2014