Meskipun berada dalam pilihan yang sulit, Pemerintah telah mengeluarkan Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, serta PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Dengan penerapan kebijakan social distancing/physical distancing dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19, maka semua orang diminta untuk dapat melakukan kegiatan pekerjaan secara jarak jauh atau bekerja dari rumah (work from home) demi mengurangi risiko penularan melalui kontak fisik dalam menjalankan pekerjaannya.
Dengan kata lain, sepanjang bukan merupakan pekerjaan yang membutuhkan kehadiran fisik, maka seharusnya semua pekerjaan ataupun perbuatan hukum yang diperlukan dapat dilakukan secara elektronik, atau menggunakan sistem komunikasi secara elektronik (daring). Semua pihak diharapkan segera adaptif untuk mentransformasikan pekerjaannya, termasuk pekerjaan jasa layanan hukum baik yang diselenggarakan oleh administrasi pemerintahan, pengacara/advokat maupun notaris sebagai pejabat umum.
Pelaksanaan perbuatan hukum secara elektronik sebenarnya telah diterima dalam sistem hukum nasional khususnya dengan berbagai aturan yang telah menerima informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah berikut akuntabilitas sistem elektronik sehingga jelas kehandalan, keamanan dan pertanggungjawaban hukumnya.
Secara formil sistem elektronik tersebut selayaknya laik operasi dan terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Hal tersebut adalah merujuk kepada per-UU yang terkait, antara lain; UU No. 11/2008 yang terakhir direvisi dengan UU No. 19/2006 (UU ITE), UU No. 25/2009 (UU Pelayanan Publik), UU No. 43/2009 (UU Arsip), UU No. 30/2004 (UU Administrasi Pemerintahan) dan UU No. 7/2014 (UU Perdagangan).
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan dalam rumusan peraturan perundang-undangan tersebut, setidaknya telah cukup menjadi dasar legalitas transaksi elektronik sebagai suatu perbuatan hukum, berikut kerangka hukum yang bekerja dalam suatu transaksi elektronik. Selanjutnya, demi kepentingan bersama dalam situasi kedaruratan, tentu yang utamanya adalah kesadaran dan kontribusi semua komponen bangsa untuk tetap dapat menjalankan pekerjaan secara elektronik, sehingga cukup membantu perputaran roda perekonomian.
Dalam lingkup pelayanan jasa hukum pengacara/advokat, melakukan pekerjaan secara elektronik dapat dikatakan bukan hal yang baru. Advokat telah menyelenggarakan konsultasi secara daring dan pembuatan kontrak elektronik, terkecuali untuk jasa hukum dalam proses litigasi peradilan yang masih membutuhkan kehadiran fisik dan belum dapat sepenuhnya diselenggarakan secara daring.
Namun demikian, dinamika terkininya pun tengah diupayakan kemungkinan penyelenggaraan proses peradilan melalui elektronik oleh Mahkamah Agung melalui implementasi e-court ditambah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020, yang memberikan legalitas terhadap penyelenggaraan sidang melalui sarana telekonferensi selama masa pencegahan penyebaran Covid-19.Kemudian Kejaksaan Agung juga menerbitkan Instruksi Jaksa Agung No.5 Tahun 2020. Semua upaya tersebut di atas memperlihatkan adanya kesadaran kolektif akan kebutuhan penyelenggaran administrasi pemerintahan untuk tetap dapat melakukan pelayanan publik secara daring.
Ironisnya, masih ada satu pemberi layanan jasa hukum yang relatif tertinggal atau terkesan lamban menyikapi situasi kedaruratan, yaitu Notaris sebagai Pejabat Umum yang sebenarnya juga memberikan pelayanan jasa publik. Tampaknya Notaris Indonesia masih terkesan gamang untuk mentranformasi diri guna dapat menyelenggarakan jasanya secara elektronik. Padahal, masyarakat sangat membutuhkan kesigapan dan dinamisnya fungsi dan peran Notaris dalam menghadapi situasi kedaruratan ini untuk dapat menyeleggarakan pelayanan jasanya secara daring.
Alasan klasik yang selalu menjadi alasan utama adalah adanya norma keharusan kehadiran fisik dalam membuat akta dan tidak dapat melakukannya secara elektronik karena harus melakukannya secara kertas sebagaimana tertuang dalam UU No. 30/2004 Jabatan Notaris yang terakhir direvisi dengan UU No. 2/2014 (UU-JN). Tambahan lagi, pasal 5 ayat (4) UU ITE toh juga mengecualikan akta notaris dalam konteks dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sehingga berpotensi permasalahan hukum bagi para notaris, baik secara perdata, administrative atau bahkan mungkin pidana.
Ibarat memakan buah simalakama, tidak berpraktik membuka kantor akan dianggap meninggalkan tugas, namun jika berpraktik dengan tatap muka secara fisik berarti sama saja dengan tidak mematuhi kebijakan pemerintah dan berisiko tinggi untuk terpapar virus. Sementara itu, kehadiran fisik terlanjur dipersepsikan sebagai syarat mutlak dan tidak tergantikan oleh tatap muka secara elektronik, sehingga Work From Home pun seakan tidak dapat dilakukan.
Dikhawatirkan jika tidak dilakukan secara fisik akan mempunyai konsekuensi hukum bagi Notaris, antara lain; (i) status akta autentik akan menjadi turun menjadi akta bawah tangan, yang akibatnya (ii) akan terjadi gugatan kepada notaris oleh para pengguna jasanya di kemudian hari; (iii) tidak ada jaminan keamanan terhadap system elektronik dan dokumen elektronik yang rawan diubah-ubah dan berpotensi bocor sehingga melanggar keharasiaan , (iv) dapat terjadi penampikan oleh para pihak, dan (iii) kemungkinan tidak diterimanya dokumen tersebut oleh instansi terkait, sehingga (iv) berpotensi kepada sanksi pemberhentian yang harus dihadapi oleh Notaris karena tidak menjalankan kepatuhan hukum.
Menjawab kekhawatiran tersebut, perlu disampaikan beberapa hal sebagai berikut;
- Pasal pengecualian dalam UU ITE sesungguhnya bukanlah suatu larangan sehingga tidak dengan sendirinya menihilkan kewenangan Notaris untuk menyelenggarakan jasanya secara elektronik.
Sesuai historikalnya, maksud pengecualian Pasal 5 ayat (4) huruf (a) dan (b) UU ITE semangatnya adalah tidak mutlak karena selayaknya selaras dengan dinamika teknologi yang berkembang dan akan merujuk kepada UU sektoral sebagai Lex Specialis-nya, Sebagaimana referensinya dalam UNCITRAL Model Law on e-Commerce (1996), yang mana ketentuan pengecualian itu pun kini sudah tidak dicantumkan lagi. Terlepas dari perdebatan tafsir terhadap pasal pengecualian tersebut, faktanya pasal pengecualian bukanlah berarti suatu larangan bagi Notaris untuk menjalankan pekerjaannya secara elektronik atau melarang penggunaan sistem elektronik bagi Notaris. Jadi sesuai lex-specialis nya kembali kepada UU-JN itu sendiri, sekiranya berani melakukan terobosan hukum maka pengecualian tersebut tentu menjadi tidak mutlak lagi keberlakuannya.
- Notaris merupakan bagian dari Administrasi Pemerintahan di mana berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Pelayanan Publik serta UU Arsip, informasi elektronik telah diterima sebagai alat bukti dan dimungkinkan pembuatan keputusan berbentuk elektronik.
Sesuai pasal 1 angka (1) Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 15 ayat (3) UU-JN juga dinyatakan bahwa salah satu kewenangan lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan adalah keterlibatan Notaris dalam mensertifikasi transaksi elektronik (Cybernotary). Maksud dari kata “mensertifkasi” itu sebenarnya adalah Notaris dapat memberikan layanan keterpercayaan yang mendukung sistem keautentikan dari suatu transaksi elektronik. Hal tersebut dapat dipertemukan dengan ketentuan tentang Penyelenggaraan System elektronik dan Transaksi Elektronik (PP 82/2012 yang telah diubah dengan PP 71/2019) sebagai turunan dari UU-ITE.
Selain itu, sebagai Pejabat Umum yang merupakan bagian dari Administrasi Pemerintahan, Notaris juga diberikan kewenangan untuk melakukan legalisasi ataupun pengabsahan terhadap dokumen keputusan administrasi pemerintahan yang juga dapat berbentuk elektronik sesuai pasal (1) UU Adminisitrasi Pemerintahan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka secara sistemik dapat dikatakan bahwa Notaris adalah termasuk dalam administrasi pemerintahan. Jika UU Administrasi Pemerintahan telah memungkinkan pelaksanaan administrasi pemerintahan secara elektronik, maka seharusnya secara otomatis Notaris juga dapat menggunakan sistem elektronik untuk menyelenggarakan jasanya secara elektronik. Baik itu melalui sistem elektronik yang dibuat oleh Pemerintah maupun melalui sistem elektronik pihak ketiga yang terdaftar dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik. Hal tersebut mutlak diperlukan, setidaknya untuk menjalankan legalisasi terhadap Dokumen yang originalnya berbentuk elektronik.
- Pembuatan akta tidak harus dipersepsikan hanya semata-mata di atas kertas, sehingga jika secara fungsional pembuatan akta dapat dilakukan secara elektronik tidak dapat dianggap menafikan ketentuan yang berlaku.
Penting untuk dicermati bahwa dalam batang tubuh UU-JN tidak dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan kata “tertulis” adalah mekanisma pengelekatan tinta di atas media kertas. Frasa kata “kertas” hanya satu kali disebutkan dalam penjelasan pasal 15 ayat (2) huruf (a). Persepsinya hanya dalam konteks mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Penjelasan menyatakan bahwa Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris. Jadi media kertas dalam konteks ini adalah pada dokumen yang dibawah oleh si penghadap.
Dengan demikian, sepanjang secara elektronik ternyata kaidah-kaidah kewajiban tersebut dapat terpenuhi secara fungsional (functional equivalent approach) oleh sistem elektronik yang digunakan, maka dengan adanya dokumen elektronik yang berasal dari sistem aplikasi elektronik yang akuntabel, maka selayaknya pembuatan akta elektronik tidak bertentangan dengan UU-JN. Dengan demikian, Notaris dapat membuat aktanya baik secara original berbentuk elektronik dan/atau kemudian mencetaknya, sehingga juga tidak meniadakan minuta akta dan protokolnya. Demikian pula halnya dengan penggunaan cap sidik jari, karena syarat cap sidik jari juga dapat terpenuhi dengan penggunaan peralatan pemindai sidik jari (finger print scanner) yang dilekatkan kepada suatu dokumen elektronik.
- Syarat kehadiran fisik menjadi tidak lagi bersifat mutlak dalam kondisi Kedaruratan yang diturunkan atas dasar kewenangan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Penting untuk dicermati bahwa kata “harus” berada dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf (m) UUJN, yakni Notaris harus hadir secara fisik dan melakukan menandatangani Akta di hadapan penghadap dan saksi. Sementara, menurut tertib pembuatan peraturan perundang-undangan (UU 12/2011 yang terakhir diubah dengan UU 15/2019) keberadaan norma harus berada dalam batang tubuh bukan pada penjelasan UU. Seharusnya bagian penjelasan tidak boleh menambah norma baru selain dari norma yang ada di dalam batang tubuh UU. Oleh karena itu, norma “harus” tersebut selayaknya tidak absolut sedari awalnya melainkan lebih kepada nilai penguatan saja, sehingga seharusnya tidak mempunyai konsekuensi hukum apapun terhadap akta notaris yang dibuat secara elektronik.
Penting untuk disadari bahwa penetapan keadaan darurat dalam penanggulangan Wabah Covid-19 dengan Keppres 11/2020, sebenarnya adalah turunan dari pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan yang memberikan kewenangan pemerintah melakukan penetapan untuk itu. Jadi meskipun Keppres, keberadaannya adalah menjalankan amanat UU, sehingga selayaknya demi kepentingan hukum yang lebih besar dapat mengesampingkan norma sumir akibat letaknya yang disebutkan dalam penjelasan UU-JN. Demi kepentingan publik yang lebih besar selayaknya norma keharusan dalam kewajiban pada Pasal 16 ayat (1) huruf (m) tersebut setidaknya dapat dikesampingkan dalam keadaan darurat. Dalam keadaan darurat, pertemuan fisik justru dianggap bertentangan dengan kepentingan umum yang lebih besar dan utama, sehingga selayaknya tidak berdampak apapun terhadap penyelenggaraan jasanya secara elektronik. Tidak usah disangsikan bahwa para pemangku kepentingan tentu sangat memaklumi hal tersebut.
- Penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi menghasilkan bukti yang tak dapat ditampik sehingga memenuhi kaedah keautentikan dan mengamankan Notaris Dari pertanggungjawaban teknis.
Keberadaan tanda tangan elektronik yang didukung oleh sertifikasi elektronik yang diselenggarakan oleh Pihak Ketiga sesungguhnya adalah suatu sistem pengamanan terhadap informasi dan komunikasi elektronik. Dengan penggunaan teknologi tanda tangan elektronik maka informasi/dokumen elektronik telah memenuhi kaedah keamanan dan keautentikan informasi (Confidentiality, Integrity, Availibility, Auhtorization, Authenticiy and Non Repudiation), sejak informasi elektronik tersebut dibuat, disimpan, diproses, dikirimkan dan diterima oleh pihak lain secara elektronik. Dengan adanya penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi, keberadaan dokumen elektronik yang ditandatangani secara elektronik tidak dapat ditampik oleh para pihak dalam transaksi setara dengan bukti autentik. Dengan kata lain, proses autentifikasinya menjadi terjamin secara teknis, dan otomatis outputnya merupakan bukti yang otentik.
- Akta Bawah Tangan yang tidak ditampik oleh para pihak adalah berfungsi sebagaimana layaknya Akta Autentik
Sesuai Pasal 1875 KUHPerdata yang menyatakan bahwa akta bawah tangan yang tidak ditampik oleh para pihak memiliki kekuatan pembuktian layaknya akta autentik. Dengan demikian, dalam hal terjadi kemungkinan terburuk di mana Akta Notaris yang dibuat secara elektronik akan diasumsikan menjadi akta bawah tangan, maka hal tersebut tidak akan menjadi masalah hukum sepanjang para pihak tidak menampiknya, dan Instansi Pemerintah terkait juga dapat menerimanya dengan baik. Tentu akan menjadi lebih kuat jika secara tegas instansi terkait mengeluarkan regulasi yang dapat menerima dan mengakui Akta Notaris elektronik tersebut dan menjadi dasar pemenuhan kelengkapan dokumen untuk melakukan Keputusan Administrasi Pemerintahan secara elektronik. (contoh antara lain; Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agraria, Otoritas Jasa Keuangan).
Akhirnya tak perlu dipungkiri, di tengah ketidakpastian kapan akan berakhirnya kedaruratan pandemik Covid-19 ini, tentunya dampaknya juga dirasakan oleh Kantor Notaris yang harus bertanggung jawab kepada para pegawainya dan keberlangsungan administrasi operasionalnya. Sebagai catatan perbandingan saja, beberapa negara antara lain Florida, Amerika Serikat telah mengeluarkan peraturan yang memberikan panduan dan legalitas penyelenggaraan jasa notaris di tengah pandemik ini. Seperti misalnya, pemberlakuan tanda tangan elektronik serta pengertian bahwa “kehadiran fisik” bukan hanya berarti para pihak harus berada pada satu ruangan yang sama dengan Notaris, tetapi juga mencakup pertemuan melalui sistem elektornik (telekonferensi).
Semoga tulisan ini, dapat menjadi pertimbangan bagi Ikatan Notaris Indonesia untuk melakukan terobosan hukum bersama instansi terkait (Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN dan Otoritas Jasa Keuangan) dapat mengeluarkan regulasi sementara yang dapat mengakui dan menerima akta notaris yang terpaksa dibuat secara elektronik, sehingga Notaris akan merasa relatif lebih aman dan nyaman dalam menjalankan pekerjaannya demi tetap berjalannya roda perekonomian. Bukankah seharusnya semua komponen bangsa berpadu sebaik mungkin mengelola situasi kondisi kedaruratan ini dengan tetap berupaya memutar roda perekonomian dalam rangka menjaga kepentingan nasional.