Rakyat Indonesia dengan sukacita melepas Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (8/11/2024) untuk memulai lawatan ke China. Kunjungan kenegaraan ini disertai harapan tinggi mendapatkan manfaat besar bagi Indonesia.
Dengan target penerimaan investasi asing di 2025 sebesar Rp 1.900 triliun, impian masuknya investasi besar dari China adalah suatu kewajaran.
Namun, sebagaimana tercantum dalam pernyataan bersama China-Indonesia, 9 November 2024, sebagian kerja sama yang akan disepakati sangat berpotensi melanggar hukum internasional dan membuat posisi Indonesia sulit di tengah masyarakat internasional. Suatu perkembangan yang sangat perlu ditinjau ulang dengan saksama.
Dalam kunjungan ini, Indonesia akan menyepakati kerja sama pemanfaatan bersama atas sumber daya perikanan, minyak dan gas di wilayah laut yang tumpang tindih klaim (areas of overlapping claims) antara Indonesia dan China.
Seperti kita ketahui, selama ini yang dianggap China tumpang tindih dengan Indonesia adalah sebagian wilayah pada zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia di Laut Natuna Utara yang juga bagian dari Laut China Selatan.
Kebijakan bebas aktif
Sebagai negara pertama yang dikunjungi Presiden Prabowo, China menjadi negara prioritas bagi Indonesia untuk menjadi mitra. Tentu ini telah melewati berbagai pertimbangan dan perhitungan yang matang dari Pemerintah Indonesia.
Sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia, bebas dan aktif, Indonesia bebas menentukan apa yang jadi kebutuhan atau kepentingan nasionalnya dan secara aktif melakukan apa pun untuk mencapai tujuan itu. Kebijakan luar negeri yang dipelopori Bung Hatta sejak awal kemerdekaan Indonesia ini telah menjadi karakter Indonesia yang sangat disegani.
Perubahan politik dalam hubungan internasional adalah kewajaran. Namun, upaya dalam mencapai kepentingan nasional perlu dipastikan dalam koridor hukum dan kepatutan internasional.
Sengketa wilayah maritim
Hukum internasional sebagaimana ditegaskan dalam putusan arbitrase 2016 telah menegaskan bahwa klaim wilayah Laut China Selatan (LCS) oleh China tidak dapat dibenarkan.
Sebagaimana fakta juga, Indonesia telah secara konsisten mendukung penghormatan pelaksanaan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS).
Indonesia secara konsisten mengatakan bahwa pihaknya bukan merupakan negara klaim (claimant state) dalam sengketa LCS. Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam adalah negara yang selama ini secara aktif menyatakan diri memiliki klaim wilayah berdasarkan UNCLOS di LCS.
Indonesia juga secara konsisten menolak segala bentuk klaim yang dilakukan China atas wilayah LCS berdasarkan sembilan/sepuluh garis putus-putus (nine/ten dash lines). Hal ini terlihat pada praktik penjagaan wilayah ZEE oleh TNI AL dan Bakamla, praktik diplomasi Indonesia dalam bentuk note verbal kepada PBB.
Indonesia pernah bersengketa bilateral dengan Malaysia terkait dengan kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan yang memengaruhi wilayah kelautan Indonesia. Meskipun tidak memenangi kasus tersebut, Indonesia memperlihatkan bahwa sengketa itu berdasarkan hukum internasional dan diputuskan oleh lembaga yang diakui masyarakat internasional.
Perjanjian ini dapat dikatakan memperlemah posisi negara-negara ASEAN lainnya yang juga menolak klaim China dan berpotensi memicu ketegangan politik regional.
Secara hukum internasional, wilayah ZEE di Laut Natuna Utara jelas merupakan wilayah berdaulat Indonesia. Dengan wacana kerja sama pemanfaatan sumber daya dengan China di LCS, konsistensi Indonesia akan dipertanyakan. Selain itu, kesepakatan ini akan mengakui adanya wilayah delimitasi (grey area) antara Indonesia dan China yang sebelumnya tidak ada.
Konsekuensi negatif
Apabila Indonesia tetap melanjutkan membuat perjanjian dengan China di wilayah tumpang tindih di Laut Natura Utara, paling tidak akan ada tiga hal yang menyulitkan Indonesia yang kemungkinan besar terjadi.
Pertama, Indonesia berpotensi menghadapi tuduhan dari masyarakat internasional atas dugaan pelanggaran hukum internasional, khususnya UNCLOS. Tuduhan ini muncul sebagai konsekuensi tindakan pengakuan Indonesia terhadap klaim China di LCS melalui kerja sama sumber daya maritim dengan China.
Dalam dokumen resmi pernyataan bersama, China dan Indonesia bersepakat untuk membuat joint development in areas of overlapping claims. Wilayah yang selama ini diklaim China masih sengketa dengan Indonesia adalah sebagian wilayah ZEE di Laut Natuna Utara.
Kerja sama ini dianggap bertentangan dengan putusan pengadilan arbitrase internasional pada 2016, yang menyatakan bahwa klaim sembilan/sepuluh garis putus-putus China tidak memiliki dasar hukum internasional, khususnya dalam UNCLOS.
Selain itu, sebagai negara pihak dalam UNCLOS, Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati prinsip-prinsip hukum laut internasional, termasuk hak lintas laut bebas dan pengaturan wilayah maritim sesuai dengan konvensi tersebut.
Indonesia hanya bisa melakukan kerja sama dengan negara yang memang ada klaim wilayah laut berdasarkan atas hukum yang sah, UNCLOS. Dengan demikian, negara-negara yang bisa bekerja sama dengan Indonesia di wilayah laut di sekitar LCS adalah Vietnam dan Malaysia.
Hingga saat ini, Indonesia telah menyepakati perbatasan landas kontinen dengan Vietnam dan Malaysia, masing-masing pada tahun 1969 dan 2007.
Sementara untuk ZEE, Indonesia baru saja menyelesaikan negosiasi dengan Vietnam tahun 2022 dan belum menyelesaikan dengan Malaysia.
Berdasarkan Pasal 74 dan 83 UNCLOS, negara-negara yang masih bernegosiasi soal perbatasan ZEE dan landas kontinen dapat membuat kesepakatan sementara untuk tujuan pemanfaatan sumber daya yang ada di kedua wilayah tersebut.
Perjanjian ini bersifat praktis dan secara hukum tidak berpengaruh pada kesepakatan akhir yang akan dibuat di masa yang akan datang secara final.
Berdasarkan hal tersebut, jika kita berpegangan pada UNCLOS, Indonesia hanya punya urgensi membuat kerja sama sementara pemanfaatan sumber daya kelautan dengan Vietnam dan Malaysia.
Dengan target penerimaan investasi asing di 2025 sebesar Rp 1.900 triliun, impian masuknya investasi besar dari China adalah suatu kewajaran.
Kedua, masyarakat internasional akan mempertanyakan konsistensi Indonesia dalam menjaga tensi konflik di LCS. Negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei akan sangat terganggu dengan keputusan Indonesia.
Perjanjian ini dapat dikatakan memperlemah posisi negara-negara ASEAN lainnya yang juga menolak klaim China dan berpotensi memicu ketegangan politik regional.
Selain itu, hal ini dapat mengancam stabilitas regional dan memengaruhi posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini berusaha mempertahankan netralitas serta mendorong penyelesaian damai atas sengketa LCS. Perjuangan negosiasi atas kode berperilaku (code of conduct) di LCS akan semakin tidak jelas karena kesepakatan yang dibuat Indonesia dengan China.
Ketiga, Indonesia juga dapat menghadapi risiko diplomatik dalam hubungan dengan negara-negara lain yang berkepentingan di kawasan, seperti AS, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa, yang selama ini mendukung kebebasan navigasi dan hukum laut internasional.
Jika RI dianggap mendukung klaim China, negara-negara itu mungkin akan mempertimbangkan kembali kerja sama mereka dengan Indonesia di bidang maritim dan keamanan.
Tinjau ulang
Dengan segala potensi implikasi ini, kebijakan atau perjanjian kerja sama sumber daya maritim dengan China perlu ditinjau ulang dan dilakukan secara hati-hati.
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan berbagai aspek hukum internasional agar Indonesia tidak dianggap melanggar komitmennya terhadap UNCLOS dan tetap menjaga integritas serta stabilitas kawasan. Terakhir, penjelasan resmi atas rencana ini kepada publik sebaiknya diberikan Presiden Prabowo dalam menjaga kepercayaan rakyat Indonesia.
Arie Afriansyah Ketua Center for Sustainable Ocean Policy, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2024/11/14/lawatan-ke-negeri-tirai-bambu-yang-berbahaya