Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) dan Center for International Law Studies (CILS) bekerjasama dengan International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) mengadakan Kuliah Umum dengan topik “What if Australia Become Republic?” yang dilangsungkan pada hari Kamis, 6 Oktober 2022 pukul 09.00-11.00 WIB, di ruang S&T Multimedia, Kampus FHUI, Depok. Seiring ditinggalnya negara-negara persemakmuran dengan wafatnya Ratu Elizabeth II, narasi tentang republikanisme kembali semarak di Australia. Acara ini diisi oleh pembicara kunci Prof. Cheryl Saunders, Laureate Professor Emeritus dari The University of Melbourne -yang sekaligus merupakan Direktur Centre for Comparative Constitutional Studies– dan Prof. Satya Arinanto, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kuliah umum ini bermaksud untuk memberikan sedikit pencerahan bagi khalayak umum di luar Australia agar lebih mengerti dalam mengikuti perdebatan monarki versus republikanisme yang sedang hangat di Australia. Kegiatan ini dihadiri oleh 96 peserta secara online (daring) dan 70 mahasiswa secara offline (luring). Antusiasme yang cukup tinggi ini salah satunya disebabkan karena isu yang masih hangat diperbincangkan terkait status ketatanegaraan Australia saat ini.
Di dalam kesempatan ini, Prof. Saunders memaparkan beberapa aspek-aspek yang perlu diketahui publik terkait wacana republikanisme di Australia. Ia memulai pemaparannya dengan menjelaskan kerangka konstitusi Australia yang memengaruhi perpindahan dari monarki menjadi republik beserta argumen-argumen, baik yang mendukung, maupun yang kontra akan wacana reformasi konstitusi tersebut. Selanjutnya, Prof. Arinanto dalam kesempatan ini membandingkan usaha-usaha Australia dari masa ke masa serta di negara-negara persemakmuran lainnya dalam mengupayakan republikanisme. Prof. Saunders juga mengemukakan, bahwa referendum yang terjadi di Australia pada tahun 1999 memperlihatkan adanya keinginan rakyat Australia untuk berubah menjadi republik. Sementara Prof. Arinanto menyatakan, bahwa terdapat beberapa alasan mengapa referendum 1999 menjadi gagal, yaitu permasalahan dalam proses, politik dan jangka waktu pelaksanaan referendum.