Selama ini, di bangku perkuliahan fakultas hukum di tanah air, diajarkan bahwa Sistem Hukum Adat masih diakui di Indonesia sebagai salah satu Sistem Hukum yang masih hidup sebagai bagian dari Pluralisme Hukum di Indonesia (selain Sistem Hukum Nasional dan Sistem Hukum Islam). Tapi para pengajar sering lupa menekankan, bahwa Hukum Adat yang masih hidup dan diakui itu sebagian besar hanya meliputi Cabang Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara.
Misalnya, Hukum Perdata Adat banyak diakui di dalam persoalan hukum tanah dan kekeluargaan, Hukum Pidana Adat juga mendapatkan pengakuan melalui Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Sedangkan, Hukum Administrasi Negara Adat banyak diakomodir pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Lalu bagaimana halnya dengan Hukum Tata Negara? Berdasarkan sejarah pembentukan konstitusi negara kita ‘Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)’ oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dilanjutkan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) , para founding fathers Republik Indonesia (RI) sebenarnya telah berupaya menggali nilai-nilai asli dalam sistem ketatanegaraan dan tata kelola masyarakat yang pernah hidup pada kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan yang masih hidup di tengah masyarakat pada masa itu. Nilai-nilai asli tersebut dituangkan ke dalam UUD 1945, seperti keberadaan MPR yang berasal dari nilai musyawarah mufakat dalam tradisi lokal Indonesia. Tentunya, nilai-nilai tersebut dimasukkan dengan harapan akan diuraikan lebih lanjut secara terperinci dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Namun, dalam perkembangannya, karena ahli-ahli hukum tata negara kita lebih banyak mempelajari ilmu atau teori hukum tata negara yang diajarkan oleh para pemikir dari Eropa dan Amerika, maka yang terjadi adalah hampir semua peraturan perundang-undangan RI yang terkait dengan masalah ketatanegaraan lebih banyak mengakomodir nilai-nilai dan sistem yang berasal dari dunia Barat tersebut, bahkan hingga empat kali amandemen konstitusi pada awal Era Reformasi (1999-2002). Padahal, bumi Nusantara sendiri tak kalah kayanya juga memiliki sistem tata kelola negara (baca: kerajaan) dan masyarakat, yang boleh jadi lebih cocok untuk diterapkan karena lebih sesuai dengan akar budaya masyarakat setempat.
Disinilah perlunya urgensi menggali kembali Hukum Tata Negara yang asli Indonesia. Untuk itulah matakuliah Hukum Tata Negara Adat ini diselenggarakan di perguruan tinggi, dengan menyajikan kepada mahasiswa berbagai sistem tata kelola (governance) negara dan masyarakat yang khas Nusantara. Guna memperoleh sebanyak-banyaknya materi terkait hal tersebut, Tim Pengajar matakuliah ini juga mengundang ahli-ahli dari berbagai perguruan tinggi di seantero tanah air, yang telah banyak melakukan riset yang mendalam terkait dengan sistem di daerah masing-masing. Salah satunya, pada Senin lalu (15/11/2021), matakuliah ini mendatangkan seorang dosen tamu, Andi Ahmad Yani, pengajar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, untuk menyampaikan materi tentang Sistem Tata Kelola Kerajaan-Kerajaan Bugis pada masa Pra Kolonialisme.
Salah satu hal yang paling menarik dari perkuliahan tersebut antara lain adalah Andi menjelaskan, bahwa tata kelola kerajaan-kerajaan di tanah Bugis pada abad 16 silam sudah mengenal prinsip-prinsip pengawasan terhadap penguasa oleh rakyat, sebagaimana yang sekarang kita kenal dalam sistem demokrasi. Selain itu, hal yang juga tak kalah menarik adalah bahwa masyarakat Bugis ketika itu sudah bersifat sangat terbuka, bahkan jika dibandingkan dengan kondisi saat ini sekalipun, dimana mereka dapat menerima adanya pemimpin yang bukan dari suku Bugis.
Hal ini dipengaruhi dengan Mitos “To Manurung” yang merupakan orang luar dan diangkat menjadi raja namun berdasarkan kontrak sosial antara para pemimpin kelompok masyarakat dengan raja yang diangkat. Kontrak sosial ini menjadi acuan warga untuk mengawasi kinerja negara. Raya yang tidak mengikuti kontrak sosial akan diturunkan dan dihukum sesuai data. Pemakzulan raja dalam sejarah politik kerajaan Bugis telah terjadi sejak Abad 14 lampau jika pemimpin dianggap melampaui kewenangannya. Selain itu, sistem tata kelola kerajaan-kerajaan Bugis telah menerapkan merit sistem dengan melakukan seleksi para para pegawai negara dengan berdasarkan pengetahuan dan sikapnya pada ade’(hukum).
Penerapan prinsip demokrasi yang telah dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar sejak ratusan tahun lalu kemudian menghilang karena intervensi pemerintahan kolonial yang menghapus sistem sosial hukum masyarakat Bugis dan menggantikannya dengan sistem Eropa yang tidak sesuai dengan latar budaya sosial masyarakat. Pemerintahan Soekarno dan Soeharto setelah kemerdekaan justru melanjutkan sistem Eropa dan menafikan kekayaan sistem hukum dan politik masyarakat di Indonesia yang jauh lebih berkembang sejak lampau.