Korupsi juga Soal Jumlah
Choky R Ramadhan
Ketua Harian/Executive Director Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI)
Upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan KPK, tentu tidak berhasil jika menggunakan indikator pengembalian kerugian negara dan efek jera. Selain itu kerugian finansial korupsi bukanlah sesuatu yang dapat (atau penting) dihitung menurut Todung Mulya Lubis (7/7). Akan tetapi, perhitungan biaya korupsi sangat mungkin dan telah banyak dilakukan. Uni Eropa misalnya menghitung biaya korupsi untuk berbisnis mencapai 120 miliar euro. Adapun di Indonesia, studi Fakultas Ekonomi UGM telah menghitung kerugian negara yang diakibatkan korupsi sejak 2001 hingga 2015 sebesar Rp203,9 triliun.
Perhitungan ekonomi mendominasi wacana pelarangan tindakan koruptif sepanjang sejarahnya. Inisiasi Operasi Budhi pada era Soekarno bertujuan mengurangi korupsi di BUMN sehingga keuntungannya dapat diberikan kepada negara. Pada era Soeharto, pengesahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bertujuan melindungi keuangan negara dari korupsi sehingga perekonomian dapat tumbuh dan berkembang.
Perkembangan ekonomi (economic development) kemudian menjadi narasi utama dan tujuan dari pemberantasan korupsi. Sumber daya negara baik kekayaan alam maupun anggaran dapat terkuras akibat dari korupsi. Korupsi juga terbukti dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, menciptakan peluang berusaha yang tidak imbang, menambah “biaya siluman”, atau menambah kekayaan yang tidak wajar oleh pejabat publik.
Tindak Pidana Ekonomi
Korupsi pada umumnya dipahami sebagai perilaku menyimpang pejabat publik yang menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi. Bentuk-bentuknya sangat beragam mulai dari menerima gratifikasi, suap, pemerasan hingga merekayasa keuangan negara. Dalam pendekatan hukum dan ekonomi, korupsi ditetapkan sebagai kejahatan agar meningkatkan kesejahteraan sosial (social welfare).
Koruptor selaku pelaku kejahatan ekonomi tentu memiliki perhitungan untuk menambah kekayaannya secara melawan hukum. Perbuatannya telah dihitung dapat menghasilkan keuntungan (benefit) yang lebih tinggi dari biaya (cost) yang ditanggungnya. Motivasi pertambahan keuntungan serta kekayaan mendominasi tindak pidana korupsi.
Oleh karenanya, hukuman yang diancamkan kepada koruptor harus melebihi keuntungan (atau potensi keuntungan) yang diperolehnya agar mereka jera. Ironisnya, ancaman maksimal pidana denda yang diatur dalam UU Tipikor hanya Rp1 miliar. Padahal diketahui banyak koruptor yang meraup keuntungan secara tidak wajar melebihi Rp1 miliar.
UU Tipikor membuka peluang untuk memberi tambahan hukuman berupa uang pengganti sebesar jumlah korupsi yang diperolehnya. Apabila terpidana korupsi tidak membayar, hartanya dapat dirampas negara. Namun, sayangnya, persentase hukuman uang pengganti tidak terlalu besar, hanya 54% pelaku yang dibebani hukuman tambahan tersebut. Alhasil seorang koruptor yang rata-rata merugikan negara secara langsung maupun tidak langsung sebesar Rp79 miliar hanya dihukum membayar Rp9 miliar (Abraham dkk, 2016).
Selain itu, aturan pencucian uang juga dapat digunakan penegak hukum untuk menambah pengembalian kerugian negara. KPK merupakan lembaga yang berhasil melaporkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penanganan perkara pencucian uang. KPK berhasil menambah kas negara sekitar Rp5,7 miliar pada 2015.
Penegakan Hukum
Penegak hukum menjadi hal penting selain aturan hukum pidana yang tersedia. Peluang tertangkap dan dihukumnya koruptor sangat bergantung pada kualitas penegakan hukum. Dengan mengutip Shawness dan Beccaria, Gary Becker berpendapat tingginya probabilitas penghukuman memiliki dampak yang besar bila dibandingkan dengan sekadar tingginya ancaman hukuman (Becker, 1968).
Seluruh institusi penegak hukum seperti polisi, jaksa, KPK, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sering kali menyatakan dapat bekerja optimal apabila didukung sumber daya yang cukup. Akan tetapi keterbatasan (scarcity) selalu dimiliki negara untuk memenuhi seluruh kebutuhan institusi penegak hukum.
Oleh karenanya, pendekatan ekonomi juga perlu dipertimbangkan tidak hanya untuk membuat pelaku jera, tetapi juga untuk mendukung kebutuhan institusi penegak hukum. Gary Becker kemudian mengusulkan untuk mengutamakan hukuman denda karena dapat pula menanggung biaya sosial seperti biaya penegakan hukum, biaya penghukuman (penjara), dan biaya yang dialami korban.
Guna mengatasi permasalahan dan kebutuhan tersebut, kurang tepat jika DPR menggunakan hak angket untuk mengevaluasi hanya satu saja institusi penegak hukum korupsi, yaitu KPK. Revisi UU Tipikor sebaiknya diselesaikan DPR untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Pembaruan UU Tipikor dengan menaikkan ancaman denda dimaksudkan agar pelaku jera dan menopang kebutuhan penegakan hukum korupsi menjadi suatu hal yang penting. Selain itu, permasalahan penegakan hukum korupsi juga disebabkan beberapa kelemahan rumusan pasal UU Tipikor. Misalnya korupsi yang dilakukan penyelenggara negara yang merugikan keuangan negara diancam hukuman lebih rendah dibandingkan dilakukan oleh orang biasa.
Penyesuaian UU Tipikor juga dibutuhkan agar sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Selepas pengesahan pada 2006, terdapat kesenjangan antara UU Tipikor dan UNCAC. Penyempurnaan UU Tipikor dibutuhkan terutama agar dapat menghukum pembelian pengaruh (trading influence), penambahan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment), dan korupsi antarsektor swasta. Dengan demikian, penegakan hukum atas korupsi dapat dilakukan semakin menyeluruh.
Evaluasi upaya pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara komprehensif dan bukan hanya terfokus pada satu institusi KPK saja. DPR semestinya mengutamakan kewenangannya sebagai legislator untuk mengevaluasi UU yang disusunnya dan kemudian menetapkan UU Tipikor baru. Penambahan hukuman finansial yang tinggi melingkupi biaya penegakan hukum dan biaya sosial penting dijadikan agenda prioritas pemberantasan korupsi ke depan.
Sumber: Artikel ini telah dimuat di Koran Sindo Selasa (25 Juli 2017).