Korupsi Bukan Soal Jumlah
Todung Mulya Lubis
Dosen Fakultas Hukum UI
Salah satu kritik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia adalah rendahnya tingkat keberhasilan dalam mengembalikan uang korupsi. Bayangkan, dari 542 kasus korupsi (2001-2009), menurut jaksa penuntut umum, kerugian yang diderita negara adalah Rp 73,1 triliun, sementara uang korupsi yang dikembalikan hanya Rp 5,32 triliun.
Kalau angka ini kita tambah dengan angka kasus korupsi yang terjadi dari tahun 2009 sampai dengan 2016, jumlah ini tak akan terlalu banyak bertambah jika kita membaca laporan di media. Pengembalian uang korupsi juga bisa dibilang rendah. Cukup banyak penanganan korupsi yang dilakukan oleh KPK di samping oleh lembaga kejaksaan dan kepolisian.
Rendahnya pengembalian uang korupsi lantas dijadikan alasan mempertanyakan keberhasilan KPK yang memang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Malah ada yang menuntut supaya KPK dibubarkan.
Sekarang KPK memang tengah diserang, terutama oleh angket yang dilakukan DPR. Serangan DPR kali ini merupakan serangan yang kesekian kalinya dan tampaknya angket ini akan digiring pada kesimpulan bahwa KPK itu tidak efektif dan produktif, KPK itu merusak tertib hukum karena menjadi “superbody”, KPK ini memboroskan anggaran, dan karena itu harus dibubarkan atau setidaknya dilemahkan atau dijinakkan.
Undang-Undang KPK serta-merta akan diubah dengan melakukan penyesuaian. Kata penyesuaian ini saya pakai untuk tidak menggunakan istilah penggembosan yang memang akan dipaksakan.
Ukuran keberhasilan
Kalau keberhasilan pemberantasan (efektif) korupsi itu berarti mengejar jumlah korupsi masif-yang oleh ekonom Sumitro Djojohadikusumo pernah disebutkan mencapai setidaknya angka 20 persen dari APBN- KPK pastilah tak berhasil.
Kalau keberhasilan itu diartikan sebagai timbulnya efek jera (deterrent), pastilah KPK tak akan berhasil. Peter de Leon dalam bukunya Thinking About Political Corruption (1993) mengatakan, selama politik menjadi instrumen dari manusia, kita tak memiliki harapan untuk menghilangkan korupsi; sama seperti kita tak bisa menghilangkan sifat rakus dari manusia.
De Leon benar, tetapi kita tetap bisa mengurangi angka korupsi, dan kita pasti bisa membuat orang gentar melakukan tindak pidana korupsi. Hanya saja, jangan mengharapkan hasilnya tercapai segera karena di negara ini korupsi sudah sangat endemik, sistemik, menyebar luas (endemic, systemic, and widespread).
KPK memiliki 1.223 pegawai, termasuk lima unsur pimpinan. Jumlah penyelidik 56 orang, penyidik 90 orang, dan jaksa penuntut umum 85 orang. Selebihnya bekerja pada bagian pencegahan dan yang lain.
Jadi, jumlah sumber daya manusianya sangat terbatas dan celakanya sangat banyak mereka yang bekerja di KPK ditugaskan oleh lembaga penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Kalau kita bandingkan dengan lembaga serupa di negara lain, seperti ICAC di Hongkong, misalnya, jumlah pegawai KPK masih relatif kecil. Daya jangkau KPK akan lebih efektif kalau didukung tambahan SDM, khususnya kalau mereka berasal dari proses seleksi yang menjamin independensi dan profesionalitas.
Dampak dari korupsi
Kita perlu mengakui secara jujur bahwa korupsi itu sangat berbahaya, bukan semata merugikan keuangan negara, melainkan punya dampak lain yang memang juga menjadi tantangan dari pemberantasan korupsi.
Leslie Holmes dalam bukunya Rotten States?: Corruption, Post Communism and Neo Liberalism mengatakan, setidaknya ada enam dampak korupsi: dampak terhadap individu, lingkungan hidup, perekonomian, sosial, internasional dan politik termasuk legitimasi pemerintahan. Semua inilah yang harus ditangani oleh semua organ pemberantasan korupsi termasuk KPK.
Di Rusia, banyak individu yang terbunuh karena memberitakan kasus korupsi. Kita di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Kita juga tahu bahwa korupsi merusak lingkungan ketika perizinan bisa dibeli, padahal menurut hukum, izin itu tak boleh keluar.
Korupsi bisa terjadi melalui manipulasi pajak yang mengganggu perekonomian, mengganggu iklim investasi, dan yang paling menderita dari semua ini adalah rakyat miskin yang akan kehilangan asuransi atau jaminan sosial mereka.
Semua hal itu akan bisa diperbaiki secara bertahap ketika kerja pemberantasan korupsi terus dilakukan dengan efektivitas yang ditingkatkan. Yang dibangun di sini adalah tata kelola (governance) yang betul-betul bersih, transparan, akuntabel.
Pemberantasan korupsi sekarang melebar ke daerah dan operasi tangkap tangan juga banyak dilakukan di daerah. Ini menunjukkan kerja KPK sebetulnya makin menukik ke daerah, sekaligus membuktikan bahwa para “peniup peluit” (whistleblower) sudah mulai berani. Selama 2016, KPK sudah menangani 99 kasus korupsi, terbanyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ini sebuah kemajuan. Namun, apakah pemberantasan korupsi ini akan menghasilkan jumlah pengembalian uang negara yang signifikan? Jawabnya tidak. Melihat korupsi hanya dari perspektif ekonomi jelas tak lengkap dan tidak tepat. Lagi pula, siapa yang bisa mengalkulasi korupsi?
Saya termasuk setuju pada pendapat bahwa “the direct costs of corruption are incalculable”.
TODUNG MULYA LUBIS, Dosen Fakultas Hukum UI, Anggota International Bar Association
Sumber: artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juli 2017.