Media masa kredibel yang teguh bertahan memperjuangkan moral politik, demokrasi dan keadilan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia mungkin bisa dihitung dengan jari. Kompas adalah salah satunya. Dalam perjalanan kinerjanya ke-60 tahun, Kompas adalah ruang media berkumpulnya para intelektual organik kampus dan ilmuwan publik di masyarakat luas. Mereka berbagi kegelisahan, mengajukan pertanyaan kritikal, dan gugatan reflektif tentang berbagai persoalan masyarakat.
Namun ilmuwan kampus khususnya saat ini tengah menghadapi persoalan berat, yaitu semakin merosotnya kebebasan akademik yang berdampak pada kelangsungan eksistensi universitas. Kebijakan intervensi tidak hanya pada lembaga pendidikan dan wilayah para ilmuwan, tetapi juga sampai pada penyimpangan terhadap epistemologi keilmuan tertentu termasuk metodologinya.
Nampak dalam kurun waktu sepanjang keberadaannya, Kompas memberi perhatian serius terhadap persoalan merosotnya kebebasan akademik para ilmuwan dan berbagai dampaknya melalui berbagai investigasi, survei, berita, dan dimuatnya tulisan opini berbagai kalangan secara terus menerus. Soal jual beli penulisan skripsi, disertasi sampai karya tulis yang dilakukan mahasiswa atau dosen untuk keperluan naik pangkat pernah ditulis Kompas dalam tahun-tahun yang berbeda. Kompas juga menyoroti pemberian gelar profesor kehormatan kepada para pejabat oleh universitas yang menggejala selama sepuluh tahun terakhir ini. Kontribusi jurnalisme Kompas adalah tersedianya rujukan bermakna bagi para intelektual untuk membangun argumentasi pentingnya otonomi universitas dan kebebasan akademik bagi para ilmuwan. Tidak mengherankan dimuatnya tulisan opini seorang dosen sering dianggap menjadi batu uji keberhasilan gagasannya di ruang publik.
Akademik Internasional.
Para rektor universitas di Belanda serentak menggaungkan pernyataan tentang kebebasan akademik 30 Mei 2025 yang lalu. Dikatakan bahwa tanpa kebebasan akademik tidak akan lahir obat-obatan, kecerdasan buatan, produk saintek, pengetahuan sosial humaniora tentang perilaku masyarakat terkait keadilan lingkungan, keadilan sosial, trauma, pengasuhan anak dan banyak lagi. Universitas bukan tempat berlakunya satu dogma, tetapi tempat para ilmuwan berdebat terkadang sangat keras tetapi untuk dapat dicari jawabannya melalui riset. Kebebasan akademik akan melahirkan para pemikir besar, peneliti berdedikasi, dan penanya yang kritikal.
Namun saat ini akibat sistem pemerintahan cenderung otoriter, maka kebebasan akademik berada dalam tekanan. Universitas di Amerika mengalami pembatasan topik penelitian, kurikulum harus ditulis ulang, ilmuwan disensor, dan lembaga ditutup. Universitas Harvard melawan kebijakan presidennya terutama soal finansial dan eliminasi mahasiswa asing. Di Negeri Belanda juga terjadi kecenderungan tumbuhnya politik yang aktif menyetir debat saintifik dan pendidikan. Akibatnya di negeri itu index internasional kebebasan akademik menurun, yang dianggap sudah mengkhawatirkan, dan direspon serius oleh para ilmuwan.
Tekanan terhadap kebebasan akademik di internal kampus dirasakan ketika para dosen tidak berani berbicara topik tertentu karena dianggap sensitif, komunikasi menjadi terpolasisasi. Ketika ruang riset, dialog dan keraguan dibatasi maka universitas kehilangan esistensinya. Para rektor menyerukan (1) otonomi kelembagaan, universitas harus dapat bekerja secara independen, bebas dari pengaruh eksternal politik, ideologi dan ekonomi; (2) jaminan kebebasan berpikir, berekspresi dan publikasi; (3) budaya menghormati perbedaan pendapat: (4) universitas harus menjadi tempat bagi semua orang; (5)tanggungjawab terhadap masyarakat dan ilmu pengetahuan, dan (6) pengembangan ilmu pengetahuan yang independen.
Bagaimana di Indonesia?
Deklarasi para rektor di Belanda itu membuat terhenyak, karena hal yang sama terjadi di Indonesia, bahkan sudah jauh lebih lama dirasakan para dosen. Intervensi pemerintah terhadap kelembagaan universitas di Indonesia dan para ilmuwannya sudah terjadi dalam waktu panjang. Intervensi paling kuat dilakukan melalui berbagai perumusan instrumen hukum dan kebijakan, yang dibuat tanpa partisipasi publik bermakna, tidak mengakomodasi realitas dan pengalaman para ilmuwan. Intervensi berlebihan itu menyebabkan tiang-tiang pendidikan menjadi keropos, dan para dosen tidak ubahnya sebagai robot akademik saja.
Para ilmuwan juga terpolarisasi, nampaknya ada yang tidak paham tentang epistemologi termasuk metode ilmunya sendiri. Namun ada juga yang mengabaikan hakikat ilmu pengetahuan yang seharusnya tidak bebas nilai, ada tujuan moral demi kebaikan bersama. Kemungkinan kedua ini lebih besar karena berbagai alasan, termasuk penghargaan yang minim dari negara terhadap para ilmuwan, termasuk insentifnya, sebagaimana survei Kompas Mei 2025. Dalam keadaan semacam itu pelacuran ilmu sangat mungkin terjadi, dan bisa sampai terjadi epistemisida (penghancuran ilmu pengetahuan).
Temuan survei Kompas ini cukup mengguncang masyarakat dan memberi penjelasan mengapa 4500 kampus di Indonesia yang jumlahnya melebihi negeri Cina, tidak menyamai keunggulan universitas terkemuka di Asia. Salah urus negara dalam mengelola pendidikan tinggi terkuak dari bagaimana negara memosisikan para ilmuwannya.
Ilmu Kesehatan
Para ilmuwan yang menyerukan pemulihan kebebasan akademik saat ini setidaknya terlihat dalam komunitas ilmiah kedokteran/kesehatan. Nilai moral tertinggi bagi seorang dokter dan profesi kesehatan adalah menyelamatkan nyawa, dan menjaga kualitas hidup manusia secara bermartabat. “Sumpah Hippocrates” yang diucapkan dokter dalam pelantikannya, menjadi pegangan hidupnya, dan menghubungkannya dengan dokter di seluruh dunia. Nilai moral ini menuntut mereka menguasai ilmu, ketrampilan, dan menjaga integritasnya. Sebenarnya mereka juga sedang menjalankan mandat sejarah dan merawat memori kolektif bangsanya, yang dimulai 175 tahun yang lalu sejak berdirinya Sekolah Dokter Jawa tahun 1854. Sekolah ini kemudian berkembang, mengalami perubahan sejalan dengan perubahan politik kolonial sampai masa kemerdekaan.
Siapakah yang paling bertanggungjawab dalam pengembangan ilmu, praktik baik di rumah sakit pendidikan secara otonom, dan menjamin standar kualitas ? Sudah pasti universitas, dalam hal ini fakultas kedokteran/ ilmu kesehatan, rumah sakit pendidikan dan kolegium. Ketiga entitas ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam menghasilkan seorang dokter yang pintar dan kompeten.
Namun kebijakan Menkes nampak berupaya memisahkan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan, dengan mengambil alih pendidikan spesialis ke rumah sakit pemerintah, dilepaskan dari fakultas kedokteran (PermenKes no 14/ 2024). Kebijakan lain (KepMenkes no 1581/2024) dirasa melemahkan kedudukan kolegium yang seharusnya otonom sebagai kelompok kepakaran ilmu kedokteran/ kesehatan tertentu, mengampu keilmuan, dan mensahkan standar kelulusan dokter spesialis. Bahkan KemenKes menerbitkan aturan tentang disiplin profesi (PermenKes no 3/2025, yang menetapkan ada 18 jenis tindakan pelanggaran disiplin profesi, ditambah “ayat karet” tentang pelanggaran lain yang ditentukan oleh Menteri. Bukankah seharusnya penegakan disiplin profesi ada dalam wilayah professional ilmu yang bersangkutan ? Ada banyak lagi kebijakan Kementrian Kesehatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang dirasa mengancam kelangsungan pendidikan dokter dan profesi kesehatan.
Pelaksanaan pendidikan berkualitas mahal dan membutuhkan dosen yang dihargai dan didukung sepenuhnya oleh semua pemangku kepentingan, yaitu masyarakat, industri, dan pemerintah. Kurikulum berkualitas, harus didukung sistem pengajaran yang memberdayakan, dan laboratorium riset dengan peralatan memadai dan modern. Dalam realitasnya subsidi pemerintah semakin kecil, dan bila ditambah uang kuliahpun masih belum mencukupi. Agar pendidikan tetap dapat berjalan maka para dosen umumnya bersedia dibayar murah, atau dokter ilmu kesehatan diharapkan dapat dibayar pasien BPJS di rumah sakit.
Dalam perspektif kebebasan akademik dan otonomi universitas, pemerintah seharusnya melakukan fungsi steering saja, bukan intervensi apalagi secara berlebihan. Bahkan seharusnya pemerintah yang bertanggungjawab memberi dukungan dana yang memadai bagi pengembangan ilmu pengetahuan agar bisa berkelas dunia.
Epilog
Universitas otonom yang didukung penuh negara dengan kebebasan akademik para ilmuwannya niscaya akan menghasilkan berbagai pengetahuan frontier, bermanfaat bagi pencerdasan dan kesehatan bangsa. Sebaliknya, universitas yang terlalu didikte dan diatur negara akan menghasilkan universitas medioker saja. Terimakasih Kompas yang sudah menemani jatuh bangunnya perjalanan kaum intelektual sepanjang perjalanan bangsa ini. Dirgahayu !
Sulistyowati Irianto – Guru Besar Antropologi Hukum FHUI

