"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme Oleh: Heru Susetyo*)

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme Oleh: Heru Susetyo*)

KKB, KKSB, dan Konstruksi Sosial Politik Terorisme Oleh: Heretyu Suso*)

WhatsApp Image 2019-03-05 at 13.14.24

Minggu pertama Maret 2019 lalu media massa Indonesia ramai memberitakan baku tembak yang terjadi antara TNI dan  Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua yang dipimpin Egianus Kogoya. Pada Kamis (7/3), tiga anggota TNI dan 9 anggota KKB tewas saat baku tembak di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, Papua. Ketiga anggota TNI yang gugur adalah Serda Mirwariyadin, Serda Yusdin dan Serda Siswanto.

Dan hal ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Kelompok Egianus Kogoya atau kelompok kriminal bersenjata sejenisnya kerap melakukan teror-teror yang berujung kontak senjata. Mereka mendapat pasokan senjata dari luar negeri, dan beberapa hasil dari rampasan.

Teror-teror tersebut antara lain penyanderaan Camp Kimberly di Tembagapura Papua pada November 2017, teror di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua pada 25 Juni 2018, yang berakibat dua warga sipil tewas dan seorang pilot (Ahmad Abdillah Kamil) mengalami luka tembak di bagian punggung belakang sebelah kanan. Tak cukup itu,  KKB juga menembaki dan menyandera 31 pekerja proyek Istaka Karya yang tengah membangun jembatan di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua pada 1-2 Desember 2018. Akibatnya,  19 pekerja tersebut tewas. Teror lainnya adalah berupa ancaman kepada 16 guru dan tenaga kesehatan di Distrik Mapenduma untuk tidak melakukan aktivitas selama dua pekan dari 3 Oktober hingga 17 Oktober 2018.

Di luar peristiwa kekerasan yang terjadi,  yang menarik adalah terminologi yang digunakan media, dan juga pemerintah (termasuk penegak hukum) terhadap kelompok sejenis Egianus Kogoya sebagai KKB alias Kelompok Kriminal Bersenjata. Sementara itu, media yang lain menggunakan istilah KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata),  Kedua istilah ini digunakan secara bersamaan untuk menyebut peristiwa yang sama,  oleh media yang berbeda-beda.

Pertanyaan kemudian adalah, mengapa kelompok Egianus Kogoya dan sejenisnya tidak disebut sebagai kelompok teroris? Padahal dari sisi kejahatan dan kekerasan yang dilakukan adalah memenuhi syarat untuk disebut sebagai terorisme yaitu korbannya rakyat sipil, dilakukan dengan sengaja, motifnya politik, serta menggunakan teror dan ancaman.

Mari kita bandingkan dengan berita lain yang terjadi pada waktu yang tidak jauh berbeda. Sebuah media online pada 5 Maret 2019 mengangkat judulberita “Teroris Kelompok MIT Masih Tersisa 12 Orang di Pegunungan Poso”. Kemudian pada bagian berita, media ini menuliskan: Kamar jenazah Rumah Sakit Bhayangkara Palu dijaga personel polisi bersenjata lengkap setelah kedatangan jenazah Romzi alias Basir, teroris yang tewas dalam kontak senjata di Poso.Seperti ditayangkan Liputan6 SCTV, Selasa (5/3/2019), sekitar kamar jenazah dikelilingi garis polisi dan tak seorang pun yang diizinkan mendekat. Bahkan hingga kini belum satu pun keluarga teroris asal Bima itu yang datang ke RS Bhayangkara. Sebelumnya, kontak tembak tim gabungan operasi Satgas Tinombala dengan kelompok teroris Ali Kalora terjadi Minggu, 3 Maret 2019 di perkebunan Padopi, Kecamatan Poso, Pesisir Utara.

Mengapa teror kelompok bersenjata di Poso yang dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) mudah disebut sebagai terorisme, sementara teror kelompok Kogoya dan sejenisnya hanya disebut KKB atau KKSB? Kapan dan bagaimana suatu insiden disebut sebagai terorisme?

Tebang Pilih Label Terorisme

Hal yang kurang lebih sama terjadi di Amerika Serikat. Sembilan jemaat gereja berkulit hitam tewas di tangan seorang remaja kulit putih, Dylan Roof, di Charleston, South Carolina pada Rabu 17 Juni 2015. Peristiwa penembakan massal oleh penyerang tunggal (lone wolf), yang cukup sering terjadi di negeri Paman Sam ini, segera menuai amarah.  Karena ada nuansa kebencian rasial serta sikap arogan dari supremasi kulit putih (white supremacy) dalam kasus tersebut.

Namun demikian, institusi penegak hukum di AS cenderung enggan melabeli kekerasan di Charleston ini sebagai ‘terorisme’. Direktur FBI, James Comey, menyebutnya sebagai ‘hate crime’ dan bukan terorisme karena tidak melihat ada motif politik di dalamnya (TheHill, 21/06/2015).

Di masa silam, kita ingat Timothy McVeigh, pemuda kulit putih mantan tentara AS veteran Perang Teluk, yang melakukan pemboman terhadap gedung federal di Oklahoma City, USA pada 19 April 1995. Kejahatan yang menewaskan 168 orang oleh pelaku tunggal (lone wolf) berkulit putih ini adalah serangan terdahsyat di USA sebelum kejadian 9/11. Namun juga tidak disebut sebagai terorisme. Tuduhan terhadap McVeigh adalah penggunaan senjata pemusnah massal, penggunaan bahan peledak, dan 8 dakwaan pembunuhan tingkat pertama (first degree murder).

Hampir sama dengan McVeigh, Anders Behring Breivik, seorang ultranasionalis Norwegia berkulit putih, membantai 77 orang hingga tewas di Oslo pada 22 Juli 2011. Motif utamanya adalah kebencian kepada imigran (utamanya imigran muslim) dan partai pemerintah yang mengakomodasi kelompok imigran tersebut. Apakah kemudian Breivik disebut sebagai teroris? Lagi-lagi tidak. Richard Orange (dalam TheTelegraph 17/03/ 2016) menggelari Breivik sebagai psikopat yang narsistik. Juga ia tidak disebut teroris karena berasal dari budaya, ras dan agama yang berbeda (dengan umumnya identitas para teroris).

Sementara itu, insiden di tempat lain dengan pelaku atau terduga pelaku berasal dari suatu negeri di Timur Tengah atau memiliki nama yang lekat dengan nama-nama Muslim, dengan mudah mendapat label sebagai terorisme. Sebutlah pasca ledakan bom di Boston Maraton, AS pada 15 April 2013 yang menewaskan tiga orang. Atau pasca serangan dan penyanderaan di kafe coklat di Sydney, Australia yang menewaskan 2 orang pada 15-16 Desember 2014, atau pasca penyerangan brutal ke kantor koran mingguan Charlie Hebdodi Paris pada 7 Januari 2015 yang menewaskan 11 orang.

Di mana, bukan kebetulan, pelakunya adalah keturunan Chechnya (Tsarnaev bersaudara), keturunan Aljazair-Mali (Kouachi bersaudara dan Coulibaly) dan keturunan Iran (Man Haron Monis). Alias mereka terafiliasi dengan negara berpenduduk muslim mayoritas atau kepada kelompok muslim tertentu.

Tafsir Kenyal Terorisme

Terorisme sejatinya adalah konsep yang relatif sulit didefinisikan. Sezgin (2007) menyebutkan bahwa terorisme adalah konsep yang paling diperdebatkan dalam ilmu sosial dan mendefinisikan terorisme adalah salah satu pekerjaan yang paling memicu kontroversi dalam wilayah hukum dan politik. Terorisme adalah juga terminologi yang sering dipertentangkan dan sarat dengan subyektifitas.

Kendati demikian, negara dan para sarjana bersepakat bahwa dalam suatu peristiwa terorisme terkandung empat elemen (Isthiaq Ahmad, 2012), yaitu: (1) terorisme adalah kejahatan; (2) terorisme dilakukan dengan sengaja; (3) target utama terorisme adalah masyarakat sipil; (4) motif utamanya adalah untuk menciptakan ketakutan.

Definisi tentang terorisme, dengan demikian, adalah lekat dengan konstruksi sosial seperti apa yang beredar di sekitar kejadian tersebut. Subyektifitas lembaga penegak hukum, media massa, hingga masyarakat amat mempengaruhi label yang akan diberikan kepada si tersangka pelaku. Mc Cauley (2007) berpendapat bahwa terorisme secara umum di’framing’ oleh media dan para politisi sebagai suatu tindakan peperangan ataupun kejahatan. Nimmer (2011) menyebutkan bahwa setelah peristiwa 9/11, kata ‘terorisme” amat sering dieksploitasi para politisi. Ia telah menjadi terminologi penting pada narasi utama budaya Barat, sama hal-nya seperti kebebasan (freedom dan demokrasi (demokrasi).

Jude Mc Culloh (2007) mensinyalir bahwa framing kejahatan transnasional, utamanya ‘perang terhadap terorisme’ telah memberikan fiksi yang amat produktif untuk memperluas daya paksa dan kekuasaaan suatu negara. Fiksi yang produktif ini secara sengaja dilahirkan untuk memenuhi ‘kekosongan ancaman” terhadap negara pasca usainya era Perang Dingin (Blok Barat vs Blok Timur). Penguasa seringkali ‘memerlukan musuh’. Ketika musuh itu tidak ada, maka ia harus diciptakan. Perang melawan terorisme adalah fiksi yang dianggap paling produktif, dibandingkan ‘perang melawan narkotika’ dan “perang melawan kejahatan terorganisir.”

Adil Mendefinisikan Terorisme

Terorisme sampai kini tetap sukar didefinisikan dan bersifat sangat subyektif. Schmid dan Jongman (1988) menemukan ada 22 unsur definisi dari sekiar 109 definisi yang berbeda-beda tentang terorisme. Sementara itu Walter Laqueur (1999)  menunjukkan ada 100 definisi tentang terorisme, sampai akhirnya ia menyimpulkan bahwa karakteristik umum dari semua definisi tentang terorisme hanyalah: bahwa terorisme itu menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Maka, atas nama keadilan dan nalar sehat, terorisme tidak dapat dipaksakan hanya berwajah tunggal, misalnya identik dengan wajah ke-Arab-Arab-an atau penganut agama tertentu saja. Karena, potensi untuk melakukan kekerasan terdapat di semua negara, bangsa, etnis dan penganut agama.

Kelompok bersenjata di Papua, apakah disebut KKB atau KKSB, sejatinya adalah para pelaku atau terduga pelaku terorisme. Mereka melakukan teror, menebar ancaman,  menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik. Maka, mereka adalah teroris. Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur.

Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua. Suatu langkah yang diambil untuk mempertahankan integrasi Papua dan Papua Barat dengan NKRI yang memang telah menjadi tantangan bagi NKRI sejak tahun 1960-an. Hal ini secara politik masuk akal, walaupun secara hukum menimbulkan ketidakadilan.

Kebijakan yang sama diambil pemerintah Thailand. Sejak tahun 1950-an terjadi pemberontakan dan separatisme di tiga propinsi paling selatan Thailand yang berbatasan dengan Malaysia, yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat. Aktor dan kelompoknya bervariasi dan juga memiliki tujuan yang berbeda-beda. Kendati masalah utamanya sama, yaitu ketidakpuasan karena tiga propinsi ini memiliki budaya, bahasa, dan identitas sosial keagamaan  yang lebih dekat kepada sistem sosial budaya Melayu, namun secara sepihak dan semena-mena dijadikan wilayah Thailand (sejak Anglo-Siamese Agreement 1909) tanpa seijin masyarakat asli yang tinggal di sana. Maka pemberontakan demi pemberontakan terus terjadi. Di mana eskalasi-nya terus berkembang. Mulai dari protes dan demonstrasi biasa hingga teror dan kekerasan  melalui penyerangan bersenjata,  pemboman, pembunuhan, penculikan dan penyanderaan.

Sungguhpun terorisme sudah terjadi di Thailand Selatan, namun pemerintah Thailand hemat menggunakan istilah tersebut. Istilah yang kerap digunakan adalah ‘separatist,  insurgency, dan Muslim extremism, daripada terrorism. Pengamat politik Hafez Salae (2019) dari Prince of Songkla University Pattani mengkonfirmasi kenyataan ini dengan mengatakan bahwa itu memang jalan yang dipilih oleh pemerintah Thailand, antara lain untuk menjaga agar ketiga daerah mayoritas Muslim di Thailand Selatan tersebut senantiasa kondusif untuk berintegrasi dengan bangsa dan negara Thailand. Maka, pendekatan represif dikelola bersama-sama dengan pendekatan kesejahteraan seraya memberikan otonomi terbatas kepada tiga propinsi tersebut.

Akan halnya KKB/ KKSB di Papua, pensikapan yang ideal terhadap kasus-kasus tersebut adalah: jangan pernah mengatakan kejadian di sana adalah bukan terorisme dan bahwasanya KKB/ KKSB adalah bukan teroris. Karena sejatinya terorisme terjadi di sana. Terorisme yang berakar dari separatisme. Persis seperti yang terjadi di Thailand Selatan. Maka, secara penegakan hukum-pun UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan.

Namun demikian, walaupun pendekatan pemberantasan terorisme dapat digunakan di Papua, pendekatan terbaik adalah membarengi-nya dengan pendekatan kesejahteraan, pendekatan sosial, ekonomi dan budaya, seraya memberikan rekognisi dan akomodasi  terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang eksis di sana.

*)Heru Susetyo adalah Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia/External PhD Researcher tentang Radikalisme dan Terorisme di Tilburg University, The Netherlands

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ca5a938d7296/kkb–kksb–dan-konstruksi-sosial-politik-terorisme-oleh–heru-susetyo/

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI