Ketua MA: Penasihat Hukum/Terdakwa Paling Banyak Ajukan PK Perkara Korupsi
Perhelatan tahunan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminiologi Indonesia dibuka. Membahas pemberantasan korupsi dari berbagai aspek pidana.
Seminar nasional yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok, Senin (18/2) secara khusus mengangkat tema ‘Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia’. Dihadiri ratusan peserta dari seluruh Indonesia, seminar ini menghadirkan Ketua Mahkamah Agung HM Hatta Ali sebagai pembicara kunci.
Dalam pidato kunci, Hatta Ali menjelaskan pemberantasan korupsi merupakan agenda reformasi yang telah puluhan tahun dijalankan. Beragam kebijakan dikeluarkan termasuk membentuk lembaga baru, jumlah orang yang diproses hukum karena melakukan tindak pidana korupsi terus bertambah. “Tetapi upaya yang dilakukan belum mencapai hasil yang memuaskan,” ujarnya di depan ratusan dosen, praktisi hukum, dan mahasiswa hukum yang memadati auditorium Djokosoetono FH UI.
Hatta lantas menunjuk bukti perkara korupsi yang masuk ke Mahkamah Agung. Data tahun lalu menunjukkan lebih dari 200 perkara korupsi yang dimohonkan kasasi. Yang menarik, perkara korupsi adalah permohonan terbanyak di lingkungan pidana khusus yang diajukan peninjauan kembali (PK) tahun 2018. Dari 662 perkara pidana khusus di tingkat PK, 208 perkara adalah kasus korupsi. “Tindak pidana korupsi cukup banyak kasusnya,” jelas Ketua Mahkamah Agung bergelar profesor itu. “Kadang jadi tanda tanya,” sambungnya.
Secara khusus, Hatta Ali menyinggung ‘fenomena’ banyaknya permohonan PK yang diajukan ke Mahkamah Agung setelah hakim agung Artidjo Alkostar purnabakti. Dilihat dari pihak yang mengajukan, penasihat hukum atau terdakwa lebih banyak mengajukan PK dibandingkan penuntut umum. Namun ia tidak menguraikan berapa yang diajukan jaksa, berapa yang diajukan penasihat hukum atau terdakwa. “Apalagi setelah Pak Artidjo purnabakti,” ujarnya.
Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dikenal ‘galak’ dalam menjatuhkan pidana kasus korupsi. Sejumlah terdakwa kasus korupsi mendapatkan hukuman jauh lebih berat di tingkat kasasi atau PK ketika ditangani majelis hakim yang diketuai Artidjo. Palu Artidjo telah menghukum ‘berat’ sejumlah pelaku kasus korupsi, sehingga menimbulkan rasa takut bagi para terdakwa yang ingin kasasi. Setelah Artidjo pensiun pada 22 Mei 2018, sejumlah terpidana mengajukan PK.
Banyaknya permohonan kasasi dan PK kasus korupsi diakui Hatta cukup membuat hakim agung kewalahan. Ada tanda tanya apakah karena hakim menjatuhkan vonis terlalu ringan atau justru terlalu berat. Ia memberikan penilaian kepada masyarakat. Mahkamah Agung ingin memastikan agar pemberantasan korupsi dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
Trisula
Pada bagian lain pidatonya, Hatta Ali menyinggung pentingnya perbaikan sistem hukum mealui struktur, isi dan budaya hukum. Dari sisi struktur, ada persoalan kewenangan penindakan yang sangat plural. Ada tiga lembaga yang berwenang melakukan penindakan kasus korupsi, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seharusnya, ketiga lembaga ini laksana kekuatan trisula.
Masalahnya, kritik Hatta, dengan adanya beberapa lembaga yang berwenang, koordinasi antarlembaga itu tak berjalan maksimal. Kewenangan supervisi di tangan KPK yang diberikan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam praktik justru melahirkan konflik. Hatta mencontohkan konflik antara Polri dan KPK, atau pengajuan judicial review Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dua kasus ini memperlihatkan konflik bernuansa sengketa wewenang antar lembaga penegak hukum. “Ini kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi,” tegasnya.
Dari sisi substansi, Hatta Ali menyinggung pentingnya mengubah UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi agar materi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif juga mengakui ada substansi UNCAC yang perlu diadopsi ke dalam aturan pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Belum semua UNCAC diadopsi. Tetapi dengan ratifikasi, Indonesia mengikatkan diri,” ujar Laode.