Comparative law atau perbandingan hukum adalah bidang kajian ilmu hukum yang telah dikenal sejak paruh kedua abad dua puluh. Sayangnya belum banyak pengembangan serius tentang bidang kajian ini di Indonesia. Tak surut langkah, tiga ahli hukum Indonesia mencatatkan sejarah sebagai wakil Indonesia untuk pertama kalinya dalam The 20th Congress of the International Academy of Comparative Law (IACL) di Kota Fukuoka, Jepang yang dihadiri ratusan ahli perbandingan hukum seluruh dunia.
Kongres yang berlangsung 22-28 Juli 2018 lalu memang rutin diadakan setiap empat tahun sekali oleh IACL yang bermarkas di Paris, Perancis. Kongres tahun ini diselenggarakan bekerjasama dengan Kyushu University di Fukuoka, Jepang. Begitu pentingnya forum akademik ini, pembukaan kongres dihadiri oleh Pangeran dari Kekaisaran Jepang beserta menteri, gubernur, dan hakim agung Jepang.
Hanya ada tiga ilmuwan hukum Indonesia yang menjadi anggota IACL dan berhak menghadiri kongres bergengsi tingkat dunia tersebut yaitu Prof.Dr.Topo Santoso, S.H., M.H. dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof.Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH UNPAD), Bandung, dan Koesrianti, S.H., LL.M., Ph.D. dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Selain menghadiri rangkaian kegiatan workshop, diskusi, dan seminar oleh para pakar perbandingan hukum terkemuka dari lima benua, Prof.Topo ikut berpartisipasi sebagai narasumber untuk tema Southeast Asian Perspectives of Comparative Law. Guru Besar Hukum Pidana yang menjabat Ketua Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum se-Indonesia ini memaparkan makalah berjudul Legal Pluralism in Indonesia.
Urgensi Comparative Law
Ratno Lukito, dalam bukunya “Perbandingan Hukum: Perdebatan Teori dan Metode” menjelaskan tentang dua level perbandingan hukum. Pada level makro, perbandingan dilakukan pada aspek sistem hukum. Sedangkan level mikro difokuskan pada aspek substansi hukum. Keduanya sama-sama digunakan dalam berbagai pengembangan hukum dengan mengadopsi dari hukum asing.
Prof. Topo membagi pandangannya soal comparative law kepada hukumonline. Menurutnya kajian perbandingan hukum bisa dilakukan pada setiap bidang hukum. Ia menjelaskan sudah semakin banyak karya tulis hukum dengan pendekatan perbandingan hukum digunakan untuk kepentingan reformasi hukum di Indonesia.
“Pemerintah, para pengambil kebijakan bisa mempelajari dari situ, bagaimana perkembangan di negara lain,” kata mantan Dekan FHUI ini.
Dia juga melihat bahwa kajian perbandingan hukum telah digunakan oleh berbagai negara maju di dunia untuk kepentingan hubungan diplomatik dan bisnis. “Mereka mempelajari hukum berbagai negara mitra interaksi. Sehingga ketika ada hubungan yang terjalin jadi lebih mudah,” ujarnya.
Sedangkan Prof. Susi menekankan pentingnya perhatian lebih besar dalam pengembangan kajian perbandingan hukum karena berbagai reformasi hukum di Indonesia semakin banyak mengadopsi konsep hukum asing. Termasuk negara-negara yang berbeda sistem hukum dengan Indonesia.
“Dalam dunia global, tidak mungkin suatu negara terisolasi dari negara lain,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara FH UNPAD ini.
Menurutnya, saat ini telah terjadi konvergensi antara konsep civil law systemdengan common law system. Kajian perbandingan hukum semakin bernilai penting untuk dipelajari lebih mendalam terutama di berbagai kampus-kampus hukum.
Baik Topo maupun Susi menegaskan pentingnya pendalaman perbandingan hukum dalam berbagai pengembangan hukum Indonesia agar tidak terjadi transplantasi hukum begitu saja dari konsep atau substansi hukum negara lain. Padahal setiap konsep dan substansi hukum berkaitan dengan nilai-nilai khas dari masing-masing negara asalnya. “Bukan hanya sekadar mengambil, mentransplantasi, agar tidak terjadi salah penggunaan,” kata Susi menjelaskan.
Sebagai sesama Guru Besar Hukum dari dua kampus hukum terkemuka Indonesia, keduanya mengakui bahwa perbandingan hukum di kampus mereka sudah menjadi bagian dari kurikulum program sarjana hingga doktor. Hanya saja pengemasannya masih terbatas secara parsial di masing-masing bidang studi. Itu pun bukan mata kuliah wajib. Misalnya mata kuliah perbandingan hukum pidana atau perbandingan hukum tata negara.
Keduanya sepakat bahwa prospek dan urgensi perbandingan hukum perlu disikapi lebih baik lewat kurikulum kampus hukum. Misalnya dengan membuka mata kuliah perbandingan hukum secara utuh. “Mahasiswa perlu diberi pengetahuan bagaimana membandingkan dengan tepat. Biasanya apple to apple, boleh nggak nanti apple to orange?” ujar Prof. Susi.
Prof. Topo mengatakan perkembangan perbandingan hukum di Indonesia mulai meningkat dengan dibentuknya Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum se-Indonesia di tahun 2014. Saat ini anggotanya lebih dari 60 orang dari puluhan fakultas hukum negeri dan swasta se-Indonesia.
Asosiasi ini telah menyelenggarakan serangkaian konferensi nasional dan internasional, workshop kurikulum perbandingan hukum, seminar nasional, dan merintis jurnal perbandingan hukum berbahasa Inggris “Comparative Law Review”.
Dalam era globalisasi dan era kerjasama internasional yang makin intensif saat ini, perbandingan hukum merupakan suatu keniscayaan. Semoga kualitas reformasi hukum di Indonesia makin meningkat dengan didukung oleh studi perbandingan yang makin baik di masa depan.