"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Kebangkrutan Integritas Akademik dan Doktor Riset Kilat Oleh Prof. Sulistyowati Irianto

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Kebangkrutan Integritas Akademik dan Doktor Riset Kilat Oleh Prof. Sulistyowati Irianto

Intelektualitas seseorang sama sekali tidak terletak pada gelar doktor atau profesor.

Proses promosi doktor kilat dengan kejanggalan prosedural formal ataupun substansi akademik di universitas ternama baru-baru ini dirasa sangat meresahkan para ilmuwan di negara ini.

Tak hanya masyarakat ilmiah, tetapi juga masyarakat luas bersuara keras menuntut agar gelar doktor dibatalkan, bukan ditangguhkan. Disertasi yang sudah dipromosikan di depan publik tidak bisa direvisi, apalagi disertasi tersebut cacat validitasnya, dibuat tanpa kejujuran, kehilangan legitimasi dan reputasi ilmiahnya.

Kasus ini bagaikan penanda puncak keruntuhan integritas akademik. Ditambah lagi banyak kasus lain terkait pemberian gelar atau profesor kehormatan, bahkan plagiarisme yang dilakukan profesor saksi ahli di pengadilan. Sungguh mencederai kehormatan universitas!

Apakah esensi doktor (riset)? Di mana letak kegagalan penyelenggaraan pendidikan doktor riset? Program pascasarjana yang menghasilkan doktor adalah tulang punggung produksi ilmu pengetahuan bagi suatu universitas dan menentukan reputasinya.

Sudah seharusnya universitas penyelenggara program doktor menjaga keutamaan sumber daya manusia dan tata kelola pascasarjana dengan ekstra hati-hati. Terutama untuk memastikan koridor kaidah akademik dijalankan dalam setiap proses, sejak dari penerimaan mahasiswa, perkuliahan, pembimbingan, sampai kelulusan.

Itu sebabnya, ketika merancang regulasi tentang program apa saja yang akan dibuat, pertimbangan demi kemajuan ilmu pengetahuan dan standar kualitas harus menjadi keutamaan. Bukan malah menjadikan program pascasarjana sebagai sumber dana.

Doctorship, gelar akademik tertinggi, umumnya dicapai melalui pertapaan akademik yang sangat berat. Sebelum memasuki program doktor, seharusnya seseorang sudah memiliki dasar riset yang akan dilanjutkan produksi pengetahuannya melalui penulisan disertasi di bawah bimbingan seorang profesor di bidang yang cocok.

Bentuknya adalah memenuhi tuntutan perkuliahan, membaca tumpukan ratusan literatur, ribuan bahan arsip, eksperimen di laboratorium, atau hidup bersama masyarakat dalam waktu panjang. Bersama-sama dengan profesor pembimbing, mahasiswa memproduksi ilmu pengetahuan. Di sini berlaku: hasil karyamu adalah reputasimu!

Arah masa depan universitas kita tampaknya tidak jelas, kecuali menjalankan target program kementerian yang sporadis. Padahal, tujuan mencapai universitas ranking kelas dunia melalui produktivitas artikel jurnal bereputasi dan buku sudah menuai banyak tragedi.

Orang Indonesia berada di urutan kedua dunia sebagai penulis di jurnal predator. Delapan dari 10 guru besar menulis di jurnal predator 2021-2023 (Conversation, 2024). Syarat kenaikan pangkat dosen melalui penerbitan buku juga telah menyebabkan krisis International Standard Book Number (ISBN), sementara di negara maju ISBN belum akan habis sampai satu dekade.

Menjadikan universitas sebagai research university juga bagaikan mimpi mengingat kenyataan universitas kita umumnya saat ini masih sebagai teaching university. Semakin minimnya subsidi pemerintah untuk universitas (negeri) membuat semakin banyak universitas menerima mahasiswa di segala strata, termasuk dibuatnya program pascasarjana jalur riset jalur cepat untuk menarik minat peserta. Semakin tinggi strata, semakin mahal bayarannya.

Doktor riset

Mestinya program jurusan riset hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah memiliki rekam jejak riset, banyak artikel jurnal bereputasi, dan dikenal masyarakat ilmiahnya. Bukan diperuntukkan bagi mereka yang sekadar mau dapat gelar doktor kilat, dengan persyaratan masuk yang sangat mudah.

Dari sisi universitas, program doktor riset secara alamiah mestinya lahir dari konteks sejarah, geografi, struktur sosial-kultural, dan perkembangan masyarakatnya. Kebutuhan akan doktor riset secara masuk akal umumnya tumbuh di negara industri berbasis sains.

Program studi riset bisa tumbuh, misalnya, di beberapa negara bagian di Jerman, yang masing-masing memiliki industri skala dunia terkait farmasi, kimia, otomotif, dan keteknikan.

Ribuan doktor bekerja dalam industri, tidak hanya di bagian riset, tetapi juga hampir semua bagian. Di bidang riset industri farmasi dan alat kedokteran bahkan syarat masuknya bukan hanya doktor, melainkan punya portofolio postdoctoral, sejumlah artikel jurnal, dan hak paten.

Hubungan antara industri, universitas, dan rumah sakit juga terjadi. Biasa saja jika ada dua fakultas kedokteran (FK) bekerja sama menyelenggarakan pendidikan dokter, seperti FK di Heidelberg dan Mannheim, yang lokasinya berdekatan dengan industri BASF.

Sangat masuk akal jika di negara industri berbasis pengetahuan bisa dilahirkan program studi riset karena fasilitas memungkinkan dan budaya akademik sudah terbangun dan menyejarah. Suatu industri memiliki sistem dan budaya korporasi yang sudah mantap terkait organisasi, SDM, keuangan, dan sistem kesejahteraan sosial karyawan.

Mereka bisa menghidupi diri sendiri dan negara hanya menjadi regulator dan pengawas saja. Industri juga memiliki kapasitas keuangan yang bisa melebihi anggaran pendapatan belanja suatu negara berkembang seperti kita.

Orang Indonesia berada di urutan kedua dunia sebagai penulis di jurnal predator.

Sementara universitas kita yang masih berkarakter teaching university membuat program doktoral riset, tanpa perhitungan matang dengan tujuan terutama mendapatkan dana dari masyarakat, sangatlah tak tepat. Segala tindakan dalam proses penyelenggaraannya bisa sangat rentan terhadap pelanggaran etika akademik. Dan itu sudah terjadi!

Analisis kasus

Bagaimana kegagalan produk program doktor riset bisa dianalisis dari kasus di atas? Ujian disertasi di pertengahan semester tiga, sementara menurut peraturan rektor, program S-3 riset minimal diselesaikan sekurangnya empat semester. Dari perspektif hukum, itu sudah cacat.

Berikutnya adalah persyaratan membuat satu jurnal bereputasi sebelum ujian, yang juga jadi perbincangan publik. Muncul dua tulisan di jurnal discontinued dan predator, menandakan adanya pelanggaran etika kedua. Pelanggaran etika itu harus diselesaikan terlebih dahulu.

Tidak bisa dianggap sebagai persoalan administrasi yang ringan, dengan adanya tulisan pengganti yang lain, bahkan lalu diberi jadwal ujian. Di negara lain, kedapatan membuat tulisan di jurnal predator akan berarti jatuhnya reputasi dan berkonsekuensi. Lagi pula bagaimana bisa dalam waktu tiga semester seorang mahasiswa S-3 membuat jurnal lebih dari satu dan lingkupnya berbeda-beda dari disertasi, kecuali dibuatkan joki.

Di atas segalanya, ternyata substansi data utama disertasi didapat dengan cara tidak jujur, dinyatakan tertulis oleh lembaga pemberi data yang meminta data ditarik. Hal ini menunjukkan telah terjadi pelanggaran etika akademik, koridor keutamaan yang paling dijaga para peneliti di seluruh dunia. Dengan demikian, validitas data dalam disertasi itu sudah runtuh. Atau disertasi ini kosong isinya.

Sayangnya, setelah diramaikan publik, ada respons bahwa disertasi ini bisa direvisi atau yudisium ditangguhkan. Padahal, tidak ada presedennya dalam masyarakat ilmiah disertasi yang sudah dipromosikan di depan publik bisa direvisi, apalagi disertasi yang sudah kehilangan validitas dan reputasinya.

Intelektualitas semu

Reputasi universitas tak terletak pada posisinya dalam peringkat dunia, tetapi pada kemampuan menjaga nilai-nilai kejujuran dan kebenaran dalam kaidah akademik. Universitas adalah gerakan moral di jantung hati masyarakat. Apa pun alasannya, universitas tak bisa tunduk pada abnormalitas nilai, atau pandangan keliru tentang intelektualitas yang berkembang di masyarakat, dengan cara memudahkan pemberian ”gelar kebangsawanan baru” berupa gelar akademik.

Intelektualitas seseorang sama sekali tidak terletak pada gelar doktor atau profesor. Intelektual adalah orang yang selalu berpikir, resah terhadap berbagai persoalan masyarakat, dan mencari kebenaran demi perubahan ke arah yang lebih baik. Kaum intelektual organik seperti inilah yang seharusnya dilahirkan oleh universitas dan menjadi tanggung jawab para ilmuwan universitas.

Sulistyowati IriantoGuru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2024/12/01/kebangkrutan-integritas-akademik-dan-doktor-riset-kilat

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI