Jakarta – Sampai saat ini, tidak ada persidangan pidana yang paling membetot perhatian publik selain kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat. Dengan tersangka utamanya Ferdy Sambo (eks Irjen Polri), istrinya, dan beberapa anak buahnya. Sejak Juli 2022 hingga kini persidangan demi persidangan di PN Jakarta Selatan ditunggu-tunggu setiap orang dan juga media. Setiap minggunya dari Senin hingga Kamis. Apalagi, tersangkanya cukup banyak. Kejahatannya pun terbagi antara pembunuhan dan menghalangi jalannya penyidikan (obstruction of justice).
Di luar drama-drama yang terjadi dalam persidangan tersebut, sisi yang paling menarik adalah mengemukanya hak-hak korban dalam kejahatan. Dalam hal ini adalah Brigadir Joshua. Sejak awal Joshua ditengarai tewas secara tidak wajar, advokasi terhadap Joshua sudah mengalir deras. Dari pengacara keluarga, dari keluarga besar marga, dari aktifis masyarakat sipil, hingga masyarakat umum.
Tidak sekadar di luar pengadilan, advokasi terhadap Joshua juga mengalir hingga dalam persidangan. Keterangan-keterangan dari pengacara korban dan keluarga korban diperdengarkan dan diakomodasi dalam persidangan. Dikonfrontir dengan keterangan dan pernyataan para terdakwa dan saksi lainnya. Dan, ini fenomena menarik. Karena selama ini sistem peradilan pidana di Indonesia cenderung bersifat offender-oriented (lebih banyak mengatur para tersangka) daripada victim-oriented (berpihak kepada korban).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ihwal korban tidak banyak disinggung. Terkecuali ketika korban sekaligus menjadi saksi. Alias, sang korban masih hidup dan keterangannya perlu diperdengarkan dalam persidangan. Sedangkan, apabila korban sudah wafat, penderitaan dari keluarga korban atau keterangan dari orang-orang di sekitar korban jarang sekali diakomodasi.
Padahal, korban tidak hanya korban langsung. Keluarga korban adalah juga korban –korban tidak langsung (indirect victims). Penderitaan mereka harus diakomodasi pula oleh pengadilan. Dalam sistem peradilan di negara-negara barat, akomodasi terhadap hak-hak korban dan keluarga korban dalam persidangan ini dituangkan dalam VIS (Victims Impact Statement). Korban atau keluarganya bisa menyampaikan langsung ataupun secara tertulis di muka sidang pengadilan tentang penderitaan dan dampak-dampak kejahatan terhadap korban maupun keluarganya.
Di Indonesia, kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) saat ini belum ditempatkan secara proporsional dan adil bahkan cenderung terlupakan sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan terutama bagi para korban.
Dalam KUHAP (UU No. 8 tahun 1981), dalam Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 yang terdiri atas angka 1 (satu) hingga 32 (tiga puluh dua) dan berisi tentang berbagai macam pengertian yang berkaitan dengan proses peradilan dengan segala aspeknya, tidak satu pun yang merumuskan pengertian tentang korban. Dalam Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa, yang terdiri atas 19 pasal sarat dengan aturan yang memberikan hak sebagai perlindungan hak asasi manusia terhadap pelaku. Kemudian dalam Bab VII tentang Bantuan Hukum dalam ketentuan pasal-pasalnya mengatur adanya beberapa hak dan kewajiban dari penasihat hukum selama proses peradilan. Hak-hak ini dapat pula dikatakan sebagai pendukung bagi terlaksananya hak-hak dari pelaku (Angkasa Sudigdo, 2012).
Apabila pelaku diberikan pengacara, perumahan, makanan, perawatan medis, kesempatan rekreasi, sekolah, pelatihan kerja, dan konseling psikologis, maka korban harus berjuang sendiri. Apalagi apabila korbannya dari kalangan warga miskin, masih berusia anak-anak, dari kalangan minoritas, serta tak ada akses kepada sumber-sumber daya kekuasaan dan keuangan, maka nasibnya lebih terpuruk. Jarang ada pengacara yang mewakili korban.
Lazimnya pengacara adalah mewakili tersangka atau terdakwa kejahatan. Maka, menguatnya advokasi kepada almarhum Brigadir Joshua adalah bak babak baru menguatnya hak-hak korban. Apalagi ketika keterangan dan penderitaan dari keluarga korban adalah juga diakomodasi di persidangan.
Memang, perlindungan terhadap korban kejahatan di Indonesia sudah mengemuka sejak UU No. 13 tahun 2006 jo UU No. 31 tahun 2014. Juga dalam beberapa UU
lex specialis yang mengatur tindak pidana tertentu, seperti UU Pengadilan HAM, UU Terorisme, UU Perlindungan terhadap KDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tahun 2022. Namun, tetap saja, dalam hukum acara pidana perlindungan korban kejahatan masih jauh panggang dari api.
Semoga, ke depannya, para korban dan keluarga korban kejahatan di Indonesia akan beroleh perhatian dan penguatan hak-hak dalam system peradilan pidana. Seperti yang didapatkan oleh Almarhum Brigadir Joshua dan keluarganya. Last but not least, penegak hukum perlu mengakomodasi pendekatan viktimologi dalam sistem peradilan pidana. Agar proses viktimisasi dan reviktimisasi yang terjadi dalam suatu kejahatan serta pemahaman terhadap hak-hak korban dapat lebih utuh dipahami.
Hal ini penting, karena bisa jadi korban dalam kasus Ferdy Sambo tidak hanya Brigadir Joshua tidak hanya satu. Apakah Putri Chandrawati, Ricky Rizal, Richard Eliezer, Kuat Ma’ruf hingga Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Jerry Raymond Siagian, dan lain sebagainya dapat dianggap sebagai korban juga disamping tersangka? Kita tunggu proses peradilan selanjutnya.
Heru Susetyo Associate Professor Fakutas Hukum Universitas Indonesia, Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI)
Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-6493703/kasus-brigadir-j-dan-babak-baru-penguatan-hak-hak-korban