"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Justifikasi Teoritis Pilihan Hukum: Perdebatan Dua Perspektif Oleh Priskila P. Penasthika

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Justifikasi Teoritis Pilihan Hukum: Perdebatan Dua Perspektif Oleh Priskila P. Penasthika

Pilihan hukum diklaim sebagai kaidah hukum perdata internasional (HPI) yang paling diterima secara luas dan penting untuk hubungan komersial internasional. Para pihak dinyatakan memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak yang mereka sepakati.

Namun demikian, justifikasi teoritis dari pilihan hukum menjadi hal yang selalu menarik untuk didiskusikan. Apa atau siapa yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku untuk kontrak mereka? Apa yang membenarkan pilihan hukum para pihak? Mengapa pilihan hukum para pihak harus diberlakukan?

Tidak banyak karya akademis yang menjawab ataupun membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlebih karya akademis berbahasa Indonesia. Sebagian besar karya akademis yang ada, terutama di Indonesia, cenderung simplistis dalam membahas pilihan hukum.

Pembahasan yang ada hanya berkisar pada diskusi mengenai batas-batas pilihan hukum. Pilihan hukum seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima (apa adanya), dan mengabaikan diskusi mengenai justifikasi teoritisnya.

Berbagai karya akademis di Indonesia, yang terbit beberapa waktu terakhir dan membahas mengenai pilihan hukum, tampak acuh tak acuh untuk mendiskusikan pilihan hukum secara lebih kompleks, terutama mengenai justifikasi teoritisnya, ataupun mencermati berbagai karya dan diskusi akademis mengenai hal tersebut yang berkembang di luar Indonesia.

Persoalan utama yang seringkali luput dari perhatian adalah teori-teori tradisional HPI dan gagasan kedaulatan negara dianggap tidak mampu untuk menjustifikasi pilihan hukum. Teori statuta, yang tumbuh berkembang di Italia sekitar abad ke-14, tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran terhadap pilihan hukum. Sebab, teori statuta berfokus pada jangkauan teritorial dan ruang lingkup dari suatu aturan hukum, dan selanjutnya mengidentifikasi apakah suatu persoalan termasuk dalam jangkauan dan ruang lingkup yang dimaksudkan dari suatu aturan hukum tersebut atau tidak.

Sedangkan pilihan hukum tidak semata-mata berkaitan mengenai jangkauan teritorial dan ruang lingkup dari suatu aturan hukum. Teori hak-hak yang diperoleh tidak dapat pula digunakan sebagai justifikasi teoritis dari pilihan hukum karena kekuasaan untuk menentukan kapan dan apakah hak dapat diperoleh ada pada negara dan bukan pada para pihak.

Selain itu, pilihan hukum tidak dapat dianggap sekadar sebagai salah satu titik pertalian objektif untuk melokalisasi kontrak ke hukum nasional tertentu. Sebab, pilihan para pihak itu sendiri merupakan titik pertalian penentu dan utama untuk hukum yang berlaku untuk kontrak (Ralf Michaels 2013; Yuko Nishitani 2016; Alex Mills 2018, Mukarrum Ahmed 2018).

Di sisi lain, para pihak belum tentu memilih hukum yang secara objektif memiliki hubungan paling dekat dengan kontrak. Para pihak dapat saja memilih suatu hukum untuk berlaku atas kontrak mereka karena hukum tersebut dianggap netral atau merupakan hukum yang secara kebiasaan selalu dipilih untuk transaksi yang mereka lakukan. Pilihan hukum juga tidak dapat serta merta dijustifikasi dengan menggunakan gagasan kedaulatan negara karena dalam ranah pilihan hukum, pihak swasta-lah yang memiliki otoritas pengaturan atas hubungan kontraktual mereka.

Diskusi dan berbagai karya akademis yang terus berkembang di luar Indonesia menunjukkan dua perspektif utama yang mencoba memberikan justifikasi teoretis untuk pilihan hukum. Pendapat pertama mendasarkan pada sudut pandang kedaulatan negara, sedangkan pendapat yang kedua melihat dari perspektif kedaulatan para pihak.

Perspektif Kedaulatan Negara

Dari perspektif kedaulatan negara, kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak mereka bersumber dari negara. Dengan perspektif ini, para pihak diperbolehkan untuk memilih hukum yang berlaku karena negara memungkinkan mereka untuk melakukannya, bukan karena mereka memiliki kekuasaan pengaturan yang otonom.

Perspektif ini bergantung pada gagasan tradisional hukum internasional bahwa kedaulatan hanyalah milik negara. Dengan demikian, kendali atas otoritas pengaturan dipegang secara tunggal oleh negara.

Oleh karena itu, hukum domestik dari suatu negara memegang kendali tertinggi atas pilihan hukum para pihak, termasuk menentukan bagaimana dan sejauh mana kebebasan memilih hukum tersebut dapat dilakukan (A. Thomson 1980; Frank Vischer 1992; Peter Nygh 1999). Dengan kata lain, para pihak hanya diperbolehkan untuk menggunakan kebebasan mereka untuk memilih hukum sejauh diizinkan oleh negara.

Perspektif ini menerima banyak kritik karena tidak mampu menjawab pertanyaan mengapa hukum nasional suatu negara memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum (Matthias Lehmann 2008; Alex Mills 2018). Tanggapan balik terhadap kritik ini berargumen bahwa kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak mereka terkait dengan kebebasan mereka untuk membuat dan menyepakati suatu kontrak.

Kebebasan yang kita kenal melalui istilah prinsip kebebasan berkontrak. Oleh karena itu, perspektif ini melihat pilihan hukum sebagai perpanjangan atau bagian dari prinsip kebebasan berkontrak dalam konteks hukum perdata nasional suatu negara (Frank Vischer 1992; Peter Nygh 1995 & 1998; Mo Zhang 2006; Adrian Briggs 2008; Symeon Symeonides 2014). Berbagai tulisan mengenai pilihan hukum yang ada di Indonesia, tanpa memberikan penjelasan dan alasan yang memuaskan, mengamini pandangan ini.

Tentunya pandangan yang mengaitkan pilihan hukum secara serta-merta pada prinsip kebebasan berkontrak juga tidak lepas dari kritik. Sebab pandangan ini dilihat sebagai menggabungkan dan mencampuradukkan dua bentuk kebebasan, yaitu (i) kebebasan para pihak untuk berkontrak, dengan (ii) kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak.

Kebebasan yang pertama menyangkut kebebasan para pihak untuk membentuk dan menyepakati kontrak, termasuk menentukan isi dan batasan di dalam kontrak mereka. Ini menyangkut kebebasan kontraktual di tingkat domestik yang diatur dalam hukum materiil suatu negara. Kebebasan ini tunduk pada kaidah-kaidah memaksa dalam lingkup domestik yang tidak dapat disimpangi oleh para pihak dalam kontrak mereka.

Sementara itu, kebebasan memilih hukum yang berlaku untuk kontrak, sebagaimana dimaksud dalam konteks HPI sebagai pilihan hukum, adalah kebebasan para pihak untuk memilih hukum suatu negara yang ketentuan mengenai kebebasan berkontraknya akan mengatur kontrak mereka. Oleh karena itu, pilihan hukum menyangkut penentuan hukum materiil suatu negara yang berlaku untuk hubungan hukum kontraktual para pihak.

Dalam ranah kebebasan berkontrak, kebebasan para pihak untuk membuat kontrak diberikan oleh negara, dan para pihak hanya dapat melaksanakan kebebasan tersebut dalam batas-batas yang diizinkan oleh negara. Pilihan hukum membatalkan gagasan ini karena keberlakuan hukum suatu negara pada suatu kontrak dipilih dan ditentukan oleh para pihak (Ralf Michaels 2013). Akibatnya, pilihan hukum memiliki posisi yang mendahului kebebasan berkontrak dalam tatanan hukum domestik (Alex Mills 2018 & 2020; Jürgen Basedow 2013).

Pilihan hukum dilihat sebagai sebuah kebebasan untuk memilih kebebasan berkontrak yang ada dalam berbagai sistem hukum perdata nasional yang berbeda-beda di tiap negara. Dengan kata lain, pilihan hukum menentukan prinsip kebebasan berkontrak negara mana yang akan berlaku dan diterapkan terhadap hubungan hukum kontraktual para pihak (Ralf Michaels 2013; Alex Mills 2020).

Kritik lain yang ditujukan pada perspektif kedaulatan negara dalam melihat pilihan hukum adalah bahwa prinsip kebebasan berkontrak hanya mengizinkan para pihak untuk menyimpangi aturan-aturan yang diperbolehkan (jus dispositivum) menurut hukum negara yang bersangkutan, tetapi tidak untuk aturan kaidah-kaidah memaksa dari negara tersebut. Kebebasan ini dibatasi oleh ketertiban umum atau kaidah-kaidah memaksa dalam hukum kontrak yang bersifat wajib di ranah domestik.

Sementara itu, dalam menjalankan kebebasannya untuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak, para pihak diperbolehkan untuk mengecualikan kaidah-kaidah memaksa dari hukum yang seharusnya berlaku (lex causae), jika mereka tidak melakukan pilihan hukum. Pilihan hukum para pihak hanya tunduk pada ketertiban umum dan kaidah-kaidah memaksa dalam konteks dan pengertian internasional, bukan pada konteks dan pengertian domestik. Oleh karena itu, memahami pilihan hukum hanya sebagai perpanjangan atau bagian dari prinsip kebebasan berkontrak dianggap menimbulkan kesalahpahaman bahwa pilihan hukum tunduk pada batas-batas kebebasan berkontrak dalam ranah domestik (Ralf Michaels 2013; Alex Mills 2018).

Melihat pilihan hukum semata-mata sebagai bagian dari prinsip kebebasan berkontrak dalam ranah domestik juga berarti memperlakukannya sebagai persoalan kontraktual biasa, bukan sebagai suatu kaidah HPI. Artinya, pilihan hukum tidak ada bedanya dengan klausula-klausula lainnya yang ada di dalam kontrak. Akibatnya, melalui pengadilan nasionalnya, negara tidak selalu dapat menerapkan hukum yang dipilih oleh para pihak jika dianggap bahwa pilihan tersebut bertentangan dengan ruang lingkup dan batasan prinsip kebebasan berkontrak yang berlaku dalam hukum nasionalnya.

Selain itu, mendasarkan kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan hukum pada kebebasan yang diberikan negara, juga tak dapat menjawab pertanyaan mengenai hukum domestik mana yang mengotorisasi kebebasan tersebut (Alex Mills 2018 & 2020); apakah hukum domestik yang berlaku untuk status personal para pihak, hukum domestik dari forum tempat sengketa kontrak diajukan, hukum domestik lex causae, atau hukum domestik dari hukum yang dipilih?

Perspektif Kedaulatan Para Pihak

Berbeda dengan perspektif kedaulatan negara, perspektif kedaulatan para pihak berpendapat bahwa kehendak para pihak adalah gagasan yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hukum nasional tertentu. Dengan kata lain, pilihan hukum dipandang berasal dari para pihak itu sendiri, bukan dari negara.

Jadi, ketika kaidah HPI suatu negara menerima pilihan hukum, mereka hanya mengakuinya, bukannya malah membuat pilihan kontinjensi untuk menerapkan atau tidak hukum yang telah dipilih para pihak. Perspektif ini dianggap radikal dan sebagai ‘serangan’ langsung terhadap supremasi kedaulatan negara. Selain itu juga, mengindikasikan adanya koeksistensi kedaulatan negara dan kedaulatan individu (Alex Mills 2018).

Salah satu argumen yang sejalan dengan perspektif ini menyarankan untuk memandang HPI sebagai persoalan antar individu dan diarahkan pada kepentingan individu, daripada sebagai persoalan antar negara terkait dengan penerapan hukum mereka.

Penerapan hukum tertentu dalam suatu hubungan kontraktual, termasuk setiap perselisihan yang timbul darinya, adalah kepentingan para pihak sendiri karena mereka yang akan menjalankan dan menanggung akibat dari hubungan hukum kontraktual tersebut. Oleh karena itu, mereka harus difasilitasi untuk mengatur dan menyusun hubungan hukum pribadi di antara mereka, termasuk memilih hukum yang berlaku untuk kontrak yang mereka sepakati (Matthias Lehmann 2008).

Ini berarti bahwa para pihak memiliki kekuasaan tertinggi dalam hubungan kontraktual mereka. Berdasar pada otonomi yang melekat pada mereka, para pihak bebas untuk menundukkan kontrak mereka pada hukum apa pun, pada prinsip-prinsip kebiasaan hukum perdata, atau pada berbagai instrumen internasional. Akibatnya, sesuai dengan otonomi mereka, mereka juga dapat menyatakan tidak tunduk pada kaidah memaksa dari hukum yang telah dipilih, dan tidak terikat oleh perubahan selanjutnya dalam hukum yang dipilih, kecuali mereka menyatakan sebaliknya (Peter Nygh 1999).

Di bawah panji perspektif ini, diargumentasikan pula bahwa pilihan hukum harus dianggap sebagai doktrin yang berbasis pada hak asasi manusia (Erik Jayme 1995). Dasar pilihan hukum terletak pada kebebasan individu dalam persoalan pribadi dan komersialnya, sebagaimana diakui dalam The Universal Declaration of Human Rights.

Institut de Droit International mengadopsi pandangan ini dan dinyatakan dalam Session of Basel – 1991 on the Autonomy of the Parties in International Contracts Between Private Persons or Entities, “… autonomy of the parties has also been enshrined as a freedom of the individual in several conventions and various United Nations resolutions …“.

Sejalan dengan pandangan ini, pendapat lain menambahkan bahwa kedaulatan negara dilihat sebagai lahir dan didasari oleh kehendak individu melalui kontrak sosial. Dengan demikian, kehendak individu dipandang berada di atas kedaulatan negara, karenanya harus diprioritaskan. Merujuk pada pemahaman ini, kehendak para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak mereka tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara (Jürgen Basedow 2013).

Namun demikian, pendapat yang melihat pilihan hukum berdasar pada hak asasi manusia juga tak luput dari kritik karena dianggap kontradiktif dalam situasi yang melibatkan badan hukum seperti perusahaan, karena keberadaan suatu badan hukum bergantung pada hukum negara (Alex Mills 2018).

Selain itu, kebutuhan akan kepastian kontrak juga telah dikemukakan sebagai alasan untuk membenarkan kebebasan para pihak untuk menetapkan hukum yang berlaku untuk kontrak mereka. Penyusunan kontrak, terutama dalam konteks lintas batas negara, sangat bervariasi dan bergantung pada skema transaksinya.

Sampai saat ini, belum ada kesepakatan yang berlaku seragam untuk semua negara mengenai titik-titik pertalian objektif untuk menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak. Menyerahkan penetapan hukum yang mengatur kontrak ke pengadilan nasional dinilai menimbulkan ketidakpastian karena setiap pengadilan, dengan merujuk pada ketentuan HPI-nya, memiliki pengertian dan interpretasi masing-masing mengenai titik-titik pertalian objektif dalam menentukan hukum yang berlaku untuk kontrak.

Dengan demikian, para pihak dianggap memiliki posisi terbaik untuk menentukan hukum yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan hubungan kontraktual mereka sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak (Peter Nygh 1999; Matthias Lehmann 2008; Alex Mills 2018; the HCCH Principles 2015).

*)Priskila P. Penasthika adalah mahasiswi program doktor pada Erasmus Graduate School of Law di Erasmus University Rotterdam, Belanda. Dosen Hukum Perdata Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/justifikasi-teoritis-pilihan-hukum-lt6201fc63f20d5/?page=5

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI