Informed consent merupakan fondasi tindakan medis. Namun, fondasi ini menjadi rapuh apabila pasien dan/atau keluarga pasien tidak jujur terhadap dokter dan rumah sakit terkait kondisi kesehatan pasien.
Dalam tindakan medis, untuk meminimalisir terjadinya sengketa medis dapat diterapkan Prinsip Patient Safety yang mengandung minimal 2 unsur yaitu upaya maksimal berdasarkan standar (inspanningsverbintennis berdasarkan standar pelayanan medis, standar profesi, dan standar operasional prosedur) dan informed consent.
Informed consent merupakan fondasi tindakan medis. Pada dasarnya, setiap tindakan medis yang dilakukan di rumah sakit harus mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Persetujuan ini didasarkan atas informasi yang memadai dan dipahami pasien. Penyampaian informasi harus memenuhi standar karena informasi medis hak pasien dan/atau keluarga pasien serta menjadi landasan bagi pasien dan/atau keluarga pasien untuk memberikan persetujuan (consent) terhadap tindakan medis yang akan dilakukan dokter dan pelayanan medis yang akan dilakukan rumah sakit.
Secara khusus, informed consent diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Berdasarkan peraturan tersebut, seharusnya informasi yang disampaikan kepada pasien dan/atau keluarga pasien terdiri dari: diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; dan perkiraan pembiayaan.
Dokter sebagai pemberi tindakan medis bertanggung jawab dalam memberikan tindakan medis yang mengutamakan keselamatan pasien. Mayoritas sengketa medis terjadi karena informed consent tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi adalah dokter dan/atau rumah sakit telah menyampaikan informasi, tetapi pasien dan/atau keluarga pasien tidak peduli dengan informasi tersebut. Kemungkinan lainnya, dokter dan/atau rumah sakit menyampaikan informasi dalam bahasa yang tidak dipahami oleh pasien dan/atau keluarga pasien.
Namun, akhirnya pasien dan/atau keluarga pasien memberikan persetujuan (consent) meskipun tidak paham dengan informasi yang telah diterimanya. Pada umumnya, kendala yang sering terjadi adalah bersifat miskomunikasi antara dokter dengan pasien dan/atau keluarganya serta masih kuatnya pandangan dari pihak pasien dan/atau keluarga pasien mengenai hubungan yang bersifat resultaatsverbintennis, bukannya inspanningsverbintennis dalam pola hubungan antara dokter dan pasien.
Implikasinya, pasien dan/atau keluarganya mengabaikan informasi yang disampaikan oleh dokter dan/atau rumah sakit serta hanya fokus kepada hasil tindakan medis. Dalam pola hubungan resultaatsverbintennis pola pikir yang tertanam pada pasien dan/atau keluarganya adalah keharusan dari dokter dan/atau rumah sakit untuk menyembuhkan pasien. Ada juga kemungkinan lainnya yang sering dilupakan, tetapi justru sangat berpotensi menimbulkan sengketa medis yakni masih kuatnya pola hubungan paternalistik antara dokter dan pasien. Pola hubungan paternalistik adalah pola hubungan antara atasan dan bawahan. Dalam hal ini, dokter memposisikan dirinya sebagai atasan dan pasien diposisikan sebagai bawahan. Dalam pola hubungan ini, atasan menganggap dirinya lebih superior karena paham dengan ilmu dan pengalaman dalam bidang medis, sedangkan bawahan adalah pihak yang inferior karena awam.
Bawahan dipandang tidak mempunyai hak, khususnya hak atas informasi dan bawahan wajib memberikan persetujuan (consent) atas tindakan medis. Pola hubungan paternalistik berpotensi menimbulkan sengketa medis. Seharusnya, pola hubungan paternalistik dapat diubah menjadi pola hubungan partnership, dimana dokter bersama pasien dan/atau keluarga pasien dapat bekerja sama untuk mencari solusi terbaik atas permasalahan medis atau kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien.
Dalam beberapa putusan pengadilan, pasien atau keluarga pasien merasa belum mendapatkan informasi atau informed consent tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini tercermin di dalam Putusan Pengadilan Nomor 97/Pdt.G/2013/PN.Plg, Putusan Pengadilan Nomor 85/PDT/2014/PT.PLG, dan Putusan Kasasi Nomor 2811 K/Pdt/2012.
Informed consent dalam tindakan medis merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi dan menjadi dasar pembenar dari tindakan medis, khususnya bagi tindakan medis yang bersifat invasif. Tindakan medis yang bersifat invasif pada dasarnya dapat digolongkan sebagai tindakan penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351 KUHP. Namun, kategorisasi itu menjadi terhapus apabila tindakan medis tersebut memenuhi 3 unsur pembenar yaitu apabila tindakan medis dilakukan sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bidang medis; ada tujuan medis yang sifatnya konkrit; dan ada informed consent.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran telah menjelaskan beberapa unsur yang seharusnya ada dalam informasi yang disampaikan kepada pasien dan/atau keluarga pasien. Unsur yang paling krusial dan berpotensi menimbulkan sengketa medis adalah risiko medis. Dokter dan/atau rumah sakit harus berhati-hati dan proporsional dalam menjelaskan mengenai risiko medis. Salah satu putusan pengadilan yang dapat dijadikan bahan pembelajaran adalah Putusan Pengadilan Nomor 66/PDT/2016/PT.DKI.
Informed consent menjadi hal yang riskan apabila pasien dalam kondisi gawat darurat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam kondisi gawat darurat, hal yang pertama dan utama harus dilakukan adalah tindakan medis untuk mengatasi kegawatdaruratan pasien. Setelah kondisi pasien stabil, barulah pasien atau keluarganya diberikan informasi atau dilakukan prosedur informed consent.
Secara teoritis, hal ini disebut dengan Doktrin Life Saving. Doktrin ini merupakan doktrin hukum yang diperkenalkan oleh Van der Mijn yang menyatakan bahwa tindakan medis dalam kondisi gawat darurat harus dilakukan segera meskipun tanpa adanya persetujuan pasien atau keluarga dari pasien karena tujuan dari tindakan medis tersebut adalah untuk menyelamatkan pasien.
Alfred Ameln dalam literaturnya menyatakan tindakan medis dalam kondisi gawat darurat tidak memerlukan informed consent karena dalam kondisi gawat darurat berlaku ketentuan zaakwarneming sebagaimana diatur dalam Pasal 1352 KUHPerdata. Artinya, dalam kondisi gawat darurat, informed consent tidak diperlukan lagi karena seolah-olah pasien telah memberikan kuasa kepada dokter dan rumah sakit untuk melakukan tindakan medis yang sifatnya urgent dalam rangka menyelamatkan pasien.
Namun, dalam praktiknya, penerapan informed consent pada kondisi darurat dapat menimbulkan perselisihan antara dokter dan rumah sakit dengan pihak pasien beserta keluarga pasien. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Nomor 287/PDT.G/2011/PN.JKT.PST; Putusan Pengadilan Nomor 350/PDT/2012/PT.DKI; Putusan Kasasi Nomor 215 K/Pdt/2014; Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng; Putusan Pengadilan Nomor 63/Pdt.G/2021/PN Kpn; dan Putusan Pengadilan Nomor 609/PDT/2021/PT SBY.
Potensi timbulnya perselisihan semakin besar apabila tindakan medis dalam kondisi darurat ini memerlukan perluasan operasi. Dalam beberapa tindakan medis, dilakukan tindakan perluasan operasi yang bertujuan untuk mengatasi kondisi darurat dan untuk menyelamatkan nyawa pasien (life saving). Perluasan operasi berpotensi menimbulkan perselisihan atau sengketa medis antara pihak pasien dan/atau keluarga pasien dengan pihak dokter dan rumah sakit. Hal ini tercermin dalam Putusan Pengadilan Nomor 864/Pdt.G/2019/PN Jkt.Brt.
Informed consent, kadang juga ditindaklanjuti oleh pasien atau keluarga pasien dengan penolakan tindakan medis. Hal inilah yang disebut dengan informed refusal. Adakalanya, pasien memberikan penolakan (informed refusal) terhadap tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter dan/atau rumah sakit. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Nomor 511/Pdt.G/2019/PN Sgt; Putusan Pengadilan Nomor 5/Pdt.G/2015/PN Mad; Putusan Pengadilan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst; dan Putusan Pengadilan Nomor 1324/Pdt.G/2021/PN Tng.
Untuk diketahui, informed refusal merupakan implementasi dari salah satu hak dasar manusia dalam bidang kesehatan yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri. Informed consent dan informed refusal ibaratnya seperti sekeping mata uang yang mempunyai 2 sisi yang berbeda. Persamaannya, baik informed consent maupun informed refusal merupakan implementasi dari hak dasar manusia dalam bidang kesehatan yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri.
Informed consent merupakan fondasi tindakan medis. Namun, fondasi ini menjadi rapuh apabila pasien dan/atau keluarga pasien tidak jujur terhadap dokter dan rumah sakit terkait kondisi kesehatan pasien. Hal ini tercermin dalam beberapa putusan pengadilan yaitu Putusan Pengadilan Nomor 47/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Ut dan Putusan Pengadilan Nomor 329/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Tim.
Mayoritas sengketa medis berpangkal tolak dari informed consent. Seharusnya, pengetahuan dan pemahaman dokter mengenai informed consent sudah harus ditanamkan sejak dari hulu kompetensinya saat menempuh pendidikan akademik di fakultas kedokteran. Informed consent adalah capaian pembelajaran dan kompetensi yang harus dimiliki dokter selain tindakan medis dan pelayanan medis. Hal ini karena pola hubungan paternalistik sudah berubah menjadi pola hubungan partnership.
Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/informed-consent-sebagai-fondasi-tindakan-medis-lt678547a8b1595/