Tangerang, Beritasatu.com – Keanggotaan Indonesia dalam The International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) layak dievaluasi. Pasalnya Indonesia kerap dirugikan dalam perkara arbitrase dan ICSID tidak bisa menjamin keadilan bagi negara peserta.
Hal ini dikemukakan Rouli Anita Velentina dalam sidang terbuka doktoral ilmu hukum di Gedung D Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Karawaci, Tangerang, yang dipimpin langsung oleh Rektor UPH Jonathan L. Parapak, Sabtu (10/8/2019).
Dalam disertasinya yang bertajuk “Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui Arbitrase ICSID : Antara Mitos dan Realita”, Velen menyimpulkan Indonesia layak keluar dari ICSID dilatari beberapa faktor.
Faktor yang mencolok adalah selama lebih dari 50 tahun menjadi anggota ICSID , Indonesia sudah tujuh kali digugat dan hasilnya tidak mencerminkan karakter sidang arbitrase yang proses penanganan perkaranya dilakukan secara adil, cepat, efisien, ekonomis dan tuntas.
“Keunggulan arbitrase yang didengung- dengungkan selama ini ternyata tidak sepenuhnya terpenuhi dalam praktik arbitrase ICSID yang mendeklarasikan diri sebagai arbitrase,” kata Velen.
Indonesia tujuh kali bersengketa di ICSID dimulai dari perkara Amco, Cemex, Rafat Ali Rizvi, Churchill Mining, Planet Mining, Newmont dan Oleovest. Dalam perkara Amco, proses yang berlangsung memakan waktu hingga belasan tahun dan hasilnya tidak sesuai dengan kepentingan nasional.
Dia juga membantah pernyataan yang menyebut keanggotaan di ICSID penting dalam menjamin perjanjian investasi asing. Sebab terdapat penelitian yang mengungkapkan bahwa keanggotaan ICSID tidak berhubungan dengan ekonomi negara peserta.
“Pemodal lebih mementingkan untuk mengetahui kondisi birokrasi dan keadaan politik negara yang dituju untuk menanam modal,” ujar Velen.
Dalam praktiknya, arbitrase ICSID bahkan tidak selaras dengan nilai-nilai yang diadopsi dalam konstitusi Indonesia, khususnya terkait dengan teori keadilan bermartabat yang berlandaskan sila kedua Pancasila.
Situasi tersebut bisa dilihat dalam Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID 1965 yang memberi keleluasaan bagi investor asing mengajukan gugatan ke arbitrase ICSID secara langsung, sedangkan negara peserta tidak bisa mengajukan gugatan sebelum mendapatkan persetujuan investor asing.
Kelembagaan ICSID sepenuhnya tidak independen karena Presiden Bank Dunia secara ex officio menjadi Ketua Dewan Administrasi yang memiliki kewenangan mutlak menunjuk arbiter. Sementara Presiden Bank Dunia diputuskan oleh negara-negara yang memiliki saham besar.
“Arbitrase ICSID menjunjung nilai individualisme dan kapitalisme, sehingga kurang mempertimbangkan kepentingan publik negara-negara tuan rumah,” katanya.
Indonesia menjadi anggota ICSID setelah meratifikasi Konvensi ICSID 1965. Terpuruknya ekonomi negara tahun 1965 memaksa Indonesia mencari modal asing.
Indonesia juga menerbitkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagai pintu masuk datangnya investasi asing.
Hingga kini, sedikitnya sudah 154 negara meratifikasi Konvensi ICSID 1965. Sekalipun begitu, tidak sedikit negara yang memutuskan keluar sebagai anggota karena hal itu diatur dalam Pasal 71 Konvensi.
Beberapa negara yang telah menarik diri adalah Bolivia, Ekuador, dan Venezuela yang menurut Bank Dunia, ketiga negara tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang tidak jauh dari Indonesia.
Sumber: https://www.beritasatu.com/ekonomi/569035/indonesia-disarankan-mundur-dari-icsid