"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Hukum Kesehatan dalam Lintasan Sejarah: Pelajaran Berharga bagi Dokter Oleh Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Hukum Kesehatan dalam Lintasan Sejarah: Pelajaran Berharga bagi Dokter Oleh Dr. Wahyu Andrianto, S.H., M.H.

Tindakan medis yang berlebihan dibandingkan dengan tujuan medisnya dapat digolongkan sebagai defensive medicine. Sebaliknya, tindakan medis yang tidak memenuhi unsur upaya maksimal (inspanningsverbintennis) dibandingkan dengan tujuan medisnya dapat digolongkan sebagai malpraktik medis.

Pengantar

Oktober adalah bulan kelahiran Organisasi Profesi Dokter. Hukum kesehatan memiliki hubungan erat dengan profesi dokter. Ibarat sekeping mata uang, hukum kesehatan dan profesi dokter adalah dua buah sisi dari sekeping mata uang yang melekat erat dan tidak dapat dipisahkan.

Hukum kesehatan adalah salah satu cabang dari disiplin ilmu hukum yang berkembang pesat di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari dinamika dan permasalahan hukum di bidang kesehatan. Karena itu, tuntutan agar hukum kesehatan mampu menjawab dinamika dan permasalahan tersebut adalah sebuah keniscayaan. Apabila ditinjau berdasarkan sejarahnya, terdapat 2 hal yang menjadi pemicu lahirnya hukum kesehatan di Indonesia. Pertama, kasus Dokter Setyaningrum, sebagai tonggak awal lahirnya hukum kesehatan di Indonesia. Kedua, Alfred A. Ameln (lebih dikenal dengan Fred Ameln) sebagai tokoh yang merintis studi mengenai hukum kesehatan di Indonesia.

Kasus Dokter Setyaningrum Tonggak Awal Lahirnya Hukum Kesehatan di Indonesia

Dokter Setyaningrum adalah seorang dokter umum, alumni dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Dalam kesehariannya, Dokter Setyaningrum mengemban profesinya di Puskesmas Kecamatan Wedarijaksa, Pati, Jawa Tengah. Setelah melaksanakan tugasnya di Puskesmas, di sore harinya, Dokter Setyaningrum membuka praktik dokter di rumah dinasnya yang terletak tidak jauh dari Puskesmas Kecamatan Wedarijaksa. Kasus ini terjadi pada tahun 1979.

Pada 4 Januari 1979 sore, Dokter Setyaningrum (40 tahun) didatangi seorang pasien yang bernama Nyonya Rusmini (28 tahun). Saat itu, pasien mengeluhkan demam, pusing, dan sakit tenggorokan. Dokter Setyaningrum melakukan pemeriksaan terhadap pasien dan mendiagnosis bahwa pasien sakit radang tenggorokan. Selanjutnya, Dokter Seyaningrum menanyakan kepada pasien, apakah pasien pernah disuntik dengan streptomycin.

Merespons pertanyaan dokter, pasien menyatakan bahwa sudah pernah disuntik dengan streptomycin. Merupakan kelaziman saat itu bahwa suntik (injeksi) merupakan tindakan medis “favorit” pasien. Bahkan, dalam benak pasien, ada perasaan belum diobati oleh dokter apabila ketika berobat hanya diberikan obat-obatan yang diminum secara oral, tetapi tidak dilakukan tindakan suntik (injeksi). Setelah disuntik dengan streptomycin, pasien menjadi lemas, pucat dan merasa mual. Dokter Setyaningrum menyadari bahwa pasien mengalami alergi terhadap obat (anaphylactic shock).

Pasien mengeluh mual, tetapi tidak bisa muntah. Dokter Setyaningrum melakukan tindakan untuk merangsang agar pasien bisa muntah dengan jalan memasukkan alat medis yang ujungnya tumpul melalui mulut pasien. Pasien kemudian muntah dan langsung lemas. Dokter Setyaningrum kemudian meminumkan kopi hitam tanpa gula kepada pasien. Meskipun tindakan pertolongan tersebut telah dilakukan, tetapi kondisi pasien semakin lemas dan mulai mengeluarkan keringat dingin.

Dokter Setyaningrum kemudian menyuntik Nyonya Rusmini dengan cortisoneCortisone merupakan obat anti alergi. Tetapi, hal itu tak membuat perubahan, pasien semakin lemas dan keringat dingin membanjiri tubuhnya. Dokter Setyaningrum kembali menyuntik Nyonya Rusmini, kali ini dengan delladryl yang juga merupakan obat antialergi. Namun, kondisi pasien semakin lemas dan mulai mengigau. Karena tidak ada tanda-tanda membaik, Dokter Setyaningrum kemudian memberikan Nyonya Rusmini suntikan adrenalinEpinephrine (adrenalin) adalah obat untuk mengatasi syok anafilaktik akibat reaksi alergi yang berat. Kondisi Nyonya Rusmini semakin lemas, tidak sadarkan diri dan tekanan darahnya semakin rendah.

Dokter Setyaningrum memutuskan untuk merujuk pasiennya ke Rumah Sakit Umum R.A.A. Soewondo, Pati. Jarak antara tempat praktik Dokter Setyaningrum dengan rumah sakit adalah sekitar 7 kilometer. Namun, kondisi pada saat itu (tahun 1979) tentunya sangat berbeda dibandingkan dengan saat ini (tahun 2024). Kendala terbesarnya adalah sulitnya menemukan sarana transportasi untuk melakukan proses rujukan dan kondisi jalan yang kurang layak. Sesampainya di Rumah Sakit Umum R.A.A. Soewondo, Nyonya Rusmini menghembuskan nafas terakhirnya.

Kasus ini kemudian diproses oleh pengadilan. Pada saat diproses di tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri Pati, dihadirkan 3 orang ahli yang terdiri dari 2 orang dokter umum dan 1 orang dokter spesialis yang seorang guru besar. Dua orang dokter umum menyatakan bahwa tindakan medis dari Dokter Setyaningrum sudah benar sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman medis yang diharapkan dari seorang dokter umum. Namun, seorang dokter spesialis yang dihadirkan sebagai ahli menyatakan bahwa tindakan Dokter Setyaningrum keliru. Dokter spesialis ini dalam kesehariannya berdinas di kota besar. Dokter spesialis tersebut menyatakan bahwa Dokter Setyaningrum keliru dalam tata urutan tindakan injeksi (suntik). Seharusnya, yang didahulukan adalah adrenalin (epinephrine).

Sebaliknya, 2 orang saksi ahli dari kalangan dokter umum menyatakan bahwa tata urutan penyuntikan sudah benar. Justru, apabila adrenalin (epinephrine) didahulukan, akan membahayakan fungsi jantung. Lebih lanjut, dokter spesialis itu menyatakan seharusnya Dokter Setyaningrum melakukan skin test sebelum melakukan penyuntikan, menyediakan infus di tempat praktik dokter, dan beberapa peralatan medis modern lainnya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pati mempertimbangkan pendapat dari saksi ahli dokter spesialis tersebut dalam menjatuhkan putusannya.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pati mempergunakan Pasal 359 KUHP sebagai “pisau analisisnya.” Pada tanggal 2 September 1981, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pati menjatuhkan putusan dengan amar menghukum Dokter Setyaningrum selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan selama 10 bulan. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Semarang. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan Dokter Setyaningrum dari segala tuntutan hukum, tidak terbukti adanya culpa serta membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 203/1981/Pid/PT.Smg dan Putusan Pengadilan Negeri Pati No. 8/1980/Pid.B/PN.Pt.

Kasus Dokter Setyaningrum menimbulkan pro dan kontra dalam menyikapi masuknya hukum dalam dunia kedokteran. Kasus Dokter Setyaningrum juga menimbulkan perubahan pola hubungan antara dokter-pasien, dari awalnya berupa pola hubungan paternalistik, berubah menjadi pola hubungan partnership.

Fred Ameln sebagai Perintis Hukum Kesehatan di Indonesia

Setelah kasus Dokter Setyaningrum selesai diproses oleh Pengadilan Tinggi Semarang pada tahun 1982, Fred Ameln beberapa kali dimintakan pendapat hukumnya oleh dokter. Namun, ia merasa bahwa kasus Dokter Setyaningrum adalah sesuatu hal yang baru di Indonesia, terutama apabila ditinjau berdasarkan Ilmu Hukum. Meskipun jauh sebelum kasus Dokter Setyaningrum, pada tahun 1923 sudah pernah terjadi kasus salah suntik yang dilakukan seorang mantri bernama Djaenun. Tetapi, kasus ini tidak dapat ditelusuri proses maupun analisis hukumnya. Oleh karena itu, Fred Ameln kemudian mempelajari Hukum Kesehatan di Belanda dan dibimbing langsung oleh Prof. HJJ. Leenen.

Setelah kembali ke Indonesia, kemudian Fred Ameln membuka perkuliahan Hukum Kesehatan di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti pada tahun ajaran 1983/1984. Kemudian diikuti jejaknya oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mata kuliah Hukum Kesehatan mulai diselenggarakan pada tahun ajaran 1985/1986 dan dikembangkan dengan mata kuliah Kapita Selekta Hukum Kesehatan pada tahun ajaran 1993/1994.

Sebagai cabang dari ilmu hukum yang relatif baru, di Indonesia perkembangan Hukum Kesehatan dimulai dari terbentuknya kelompok studi untuk Hukum Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta 1982. Kemudian kelompok studi ini pada tahun 1983 berkembang menjadi suatu organisasi ilmiah yang bernama Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI) dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia pada Kongres I PERHUKI di Jakarta tahun 1987.

Pada awalnya istilah yang digunakan di Indonesia oleh Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI adalah Hukum Kedokteran. Seiring dengan perkembangan zaman, istilah tersebut diganti menjadi Hukum Kesehatan dengan tujuan agar memperluas ruang lingkup disiplin baru dari ilmu hukum.

Dari segi regulasi juga terjadi dinamika yang menggambarkan perkembangan Hukum Kesehatan. Undang-Undang yang mengatur tentang kesehatan di Indonesia pertama kali dibuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto undang-undang tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-Undang ini terdiri dari 12 Bab dan 90 Pasal, disahkan di Jakarta pada tanggal 17 September 1992 oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto.

Perubahan paradigma layanan kesehatan dan pola Pemerintahan menyebabkan keberadaan UU RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak lagi mampu menjawab perkembangan permasalahan dalam bidang kesehatan. Karena itu, UU RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan digantikan dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang ini terdiri dari 22 Bab dan 205 Pasal serta disahkan pada masa kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan kemudian digantikan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang terdiri dari 20 Bab dan 458 Pasal.

Pelajaran Berharga dari Kasus Dokter Setyaningrum

Tolok ukur yang dapat dipergunakan untuk menyatakan bahwa dokter melakukan tindakan secara lack of skill adalah berdasarkan Standar Profesi Kedokteran. HJJ Leenen di dalam bukunya yang berjudul Gezondheidszorg en Recht een Gezondheidsrechtellyke Studie menjelaskan mengenai unsur-unsur dari Standar Profesi Kedokteran yang terdiri dari:

  1. Zorgvuldig handelen (berbuat secara teliti/seksama);
  2. Volgens de medische standard (sesuai ukuran medis);
  3. Gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie (kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama;
  4. Gelijke omstandigheden (situasi dan kondisi yang sama);
  5. Met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concreet handelingsdoel (sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis tersebut).

Unsur nomor 3 dan nomor 5 relevan dengan Kasus Dokter Setyaningrum. Dalam kasus tersebut, Dokter Setyaningrum dibandingkan dengan saksi ahli yang tidak memenuhi unsur nomor 3 dan nomor 5.

Kemampuan rata-rata atau average dibanding kategori keahlian medik yang sama. Artinya adalah seorang dokter harus mempunyai kemampuan rata-rata atau average yang sama dengan dokter dari keahlian medis yang sama. Misalnya, apabila seorang dokter umum dibandingkan dengan dokter umum yang lainnya, maka kemampuannya tidak berada di bawah rata-rata atau average. Demikian juga, apabila seorang dokter spesialis dibandingkan dengan dokter spesialis lainnya (tentunya pembandingnya harus berasal dari spesialisasi yang sama), maka kualitasnya tidak berada di bawah kemampuan rata-rata atau average.

Situasi dan kondisi yang sama mengandung makna bahwa seorang dokter dengan kemampuan rata-rata atau average yang sama akan melakukan tindakan medis yang sama apabila dibandingkan dengan dokter lain dalam situasi dan kondisi yang sama. Misalnya, seorang dokter umum yang berdinas di daerah pedalaman Papua apabila dibandingkan dengan dokter umum lainnya yang berdinas di pedalaman Kalimantan, maka kedua dokter umum tersebut akan melakukan tindakan medis yang memenuhi unsur kemampuan rata-rata atau average yang sama. Menjadi hal yang tidak fair apabila dokter umum yang berdinas di daerah pedalaman Papua dibandingkan dengan dokter umum yang berdinas di Jakarta. Tentunya, tidak tergambarkan unsur kemampuan rata-rata atau average yang sama karena adanya perbedaan situasi dan kondisi.

Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medis mengandung makna bahwa seorang dokter harus mempertimbangkan upaya yang proporsional dalam melaksanakan tindakan medisnya. Artinya, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus seimbang dengan tujuan medisnya. Tindakan medis yang berlebihan dibandingkan dengan tujuan medisnya dapat digolongkan sebagai defensive medicine. Sebaliknya, tindakan medis yang tidak memenuhi unsur upaya maksimal (inspanningsverbintennis) dibandingkan dengan tujuan medisnya dapat digolongkan sebagai malpraktik medis.

Lintasan sejarah hukum kesehatan memiliki linearitas dengan profesi dokter dan menjaga agar profesi dokter semakin profesional.

*) Wahyu Andrianto, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI