Semangat bangsa melawan koruptor tidak boleh surut meski hukuman terhadap pelakunya sering mencederai rasa keadilan publik. Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi harus selalu didukung demi satu tujuan: ”Pokoknya koruptor harus dihukum berat!”
Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan berdampak signifikan negatif terhadap pembangunan bangsa. Itu adalah Notoire feiten,sesuatu yang tidak perlu lagi diperdebatkan faktanya. Namun, cara menyikapi fakta tersebut dalam bentuk aturan membuka ruang diskursus yang luas.
Saya melihat ada dua hal krusial yang dapat diperdebatkan: pertama, penambahan persyaratan khusus dalam PP 99, utamanya mengenai kesediaan untuk bekerja sama dengan penegak hukum (cooperation with law enforcerment authorities). Kedua, mengenai baju tahanan KPK yang diperkenalkan kembali dengan berbagai model yang harus dipakai oleh tersangka ataupun narapidana kasus korupsi.
Kerja sama
Polemik pertama, ada hal yang menarik dari penambahan persyaratan khusus bagi narapidana kasus-kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi, untuk memperoleh remisi. Hal tersebut adalah mengenai terminologi ”bersedia bekerja sama dengan penegak hukum” atau yang marak disebut dengan istilah justice collaborator. Terminologi ini dikenal melalui United Nations Convention against Transnational Organized Crime yang kemudian diratifikasi Indonesia tahun 2009 melalui UU Nomor 5 Tahun 2009. Di sana dikatakan bahwa kerja sama antara penegak hukum dan tersangka (substantial cooperation) dapat menjadi dasar meringankan hukuman bagi tersangka tersebut (mitigating punishment).
Dengan penjelasan ini, dapat diambil pengertian bahwa status justice collaborator tersebut berada dalam ranah ajudikasi(persidangan). Misalnya, hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat pernah meringankan hukuman bagi para terdakwa yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam kasus AS melawan Kimbrough (06-6330) dan AS melawan Gall (06-7949) tahun 2007 mengenai jaringan peredaran narkoba. Proses kerja sama ini dituangkan dalam bentuk Plea and Cooperation Agreement dengan kejaksaan.
Penegak hukum tidak dapat menentukan sendiri apakah seseorang dapat mendapatkan predikat Justice Collaborator karena hakim yang akan menentukan pantas atau tidaknya seorang tersangka/terdakwa menyandang status tersebut pada saat persidangan.
Di dalam PP 99 yang menjadi polemik, ranah justice collaborator untuk kejahatan-kejahatan luar biasa termasuk korupsi menjadi berbeda pengertiannya. Ranah justice collaborator berdasarkan PP tersebut berada di dalam proses pasca-ajudikasi. Hal ini ditegaskan dengan fakta bahwa status justice collaborator adalah salah satu syarat mutlak bagi para narapidana untuk mendapatkan remisi. Padahal, apabila seseorang sudah menyandang status terpidana, tidak boleh lagi ada diskriminasi berdasarkan hal apa pun sesuai dengan prinsip dasar Kongres PBB mengenai Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Rasionya, begitu sudah menjadi narapidana, tidak dapat lagi diperhitungkan hal-hal lain yang memberatkan pada khususnya karena pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah selesai pada proses pengadilan (ajudikasi).
Perbuatan vs pelaku
Polemik kedua mengenai baju tahanan KPK. Pimpinan KPK memperkenalkan empat model baju tahanan: pertama, baju tahanan untuk sidang, baju tahanan untuk harian, baju tangkapan, dan baju olahraga untuk tahanan. Semuanya merupakan baju, baik untuk para tersangka yang akan dan sedang menjalani sidang pengadilan (untried prisoner) dan tidak dibedakan dengan para narapidana.
Sayangnya, hal itu tidak sesuai dengan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Disebutkan dalam Pasal 88 Standard PBB tersebut bahwa para untried prisoners dapat memakai pakaiannya sendiri karena mereka harus dianggap tidak bersalah karena belum adanya putusan pengadilan. Dan, soal pakaian, harus dibedakan antara untried prisoners dan convicted prisoners (terpidana yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap).
Penulis setuju bahwa tindak pidana korupsi harus diberantas. Namun, semangat ”yang penting koruptor harus dihukum berat” haruslah memperhatikan rasio hukum yang ada. Dua permasalahan itu menunjukkan bahwa sistem hukum acara pidana yang hendak dibangun menekankan pada prinsip pemidanaan retribusi (retributive justice) yang masih tradisional dengan menaruh sang pelaku tindak pidana (the offender) sebagai fokus sentralnya dan bukan perbuatannya (the offence) sebagai konsentrasi utama.
Dalam perkembangannya, prinsip ini sudah kuno karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum acara pidana yang modern dan lebih menekankan keadilan yang restoratif (restorative justice) sebagai alternatif pemidanaan yang menekankan kepada perbuatannya dan bukan pelakunya.
Terlepas dari itu, penulis mengapresiasi syarat dari remisi PP tersebut yang membayarkan uang pengganti korupsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan remisi. Hal-hal seperti ini yang perlu dikedepankan karena menaruh fokus kepada perbuatannya dan bukan sang pelaku tindak pidananya. Karena esensi dari uang pengganti itu tentunya adalah mengembalikan kekayaan negara yang telah dicuri oleh sang koruptor.
Semangat ”pokoknya koruptor harus dihukum berat” haruslah diimbangi dengan rasio dan dasar hukum yang kuat sehingga nantinya kebijakan yang lahir bukanlah kebijakan balas dendam terhadap pelakunya, seperti yang pernah diutarakan Francis Bacon, filsuf sekaligus mantan Jaksa Agung dan Lord Chancellor Inggris dalam esainya yang berjudul Of Revenge.
Aristo MA Pangaribuan,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dari Kompas Jumat, 13 September 2013