Heru Susetyo, Dosen Hukum yang Menjejakkan Karya di 5 Benua
Sarjana hukum harus punya wilayah pengabdian dan berekspresi yang tak terbatas.
Mayoritas lulusan perguruan tinggi di Indonesia mungkin tidak tertarik untuk menjadi dosen. Apalagi bagi mahasiswa hukum di kampus-kampus ternama. Alasannya tak lain karena penghasilan yang didapat tak sebanding dengan syarat menjadi seorang dosen, yakni mulai dari gelar akademik yang minimal harus melewati jenjang Magister, seleksi yang ketat hingga harus menempuh jenjang karier yang panjang.
Ada kesan lain yang tak kalah miris bahwa dosen hanya berkutat di dunia “idealis” kampus tanpa banyak pengalaman “realistis” seperti kalangan profesional. Menjadi dosen dianggap sama dengan terjebak seumur hidup mengabdi hanya di seputar ruang-ruang kelas dan perpustakaan kampus tanpa berkesempatan mengembangkan diri dan banyak berkarya di luasnya medan kehidupan nyata penuh warna.
Stereotip ini jelas tidak terbukti saat hukumonline berbincang santai dengan Heru Susetyo, dosen senior di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Pria kelahiran Bandung, 45 tahun silam memiliki petualangan jejak karya di 5 benua, mulai dari karya akademik di puluhan jurnal serta konferensi ilmiah, pengajar tamu kampus-kampus mancanegara, hingga aksi pengabdian masyarakat, semisal mengadvokasi buruh migran Indonesia yang berhadapan dengan hukum. Tercatat, setidaknya buruh migran di Hongkong, Macau, dan Malaysia pernah ditanganinya.
Meraih gelar sarjana di FHUI pada 1996, Heru yang memilih Program Kekhususan Hukum tentang Kesejahteraan Masyarakat dan Masalah Sosial mengawali karier sebagai asisten dosen di almamaternya. Sebagai dosen non-PNS, Heru juga memutuskan menuntaskan pendidikan advokat untuk bisa berpraktik sebagai street lawyer, pengabdi bantuan hukum khusus bagi kalangan tak berpunya.
Belum cukup sampai di situ, Heru gemar berburu beasiswa studi pascasarjana serta kursus-kursus untuk pengembangan dirinya. Terbukti, dua gelar magister bidang HAM dan Kesejahteraan Sosial dari dalam negeri dan luar negeri disabetnya. Dia juga menuntaskan studi doktoral bidang HAM. Bahkan hingga kini, Heru masih menempuh studi doktoral keduanya di bidang HAM pada Tilburg University, Belanda.
“Saya ingin membuktikan bahwa kita sebagai sarjana hukum punya wilayah pengabdian dan berekspresi yang tak terbatas, saya sangat memaknai itu,” katanya, Sabtu (16/9) lalu.
Entah bagaimana Heru berhasil mengelola waktunya, tapi yang jelas dirinya tercatat pernah menjejakkan diri di hampir 50 negara pada 5 benua untuk semua karyanya. Semuanya dijalani Heru secara mengalir sepanjang 25 tahun kariernya. “Saya mau memanfaatkan semua momentum untuk memperdalam kapasitas saya,” lanjutnya.
Heru baru mulai mengurangi mobilitasnya sejak 2009, ketika diberi kepercayaan pimpinan Fakultas Hukum sebagai pejabat struktural kampus. Ia tercatat pernah menjabat Sekretaris Program Pascasarjana, Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan, penanggungjawab Internasionalisasi. Saat ini, ia masih menjabat Manajer Kerjasama Ventura dan Hubungan Alumni di FHUI. Tampak dorongan semangat yang besar dari sosok dosen yang juga berperawakan besar.
“Nggak cukup mengkaji pasal-pasal di buku, harus melihat kenyataan di masyarakat, saya nggak mau jadi dosen kuper, saya turun langsung ke lapangan dan bisa cerita ke mahasiswa saya,” kata peraih penghargaan Presiden Republik Indonesia untuk pengabdian masyarakat penanganan gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2005.
Heru berharap pengalaman-pengalamannya bisa ditularkan kepada mahasiswa untuk berkontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dia khawatir pada pemahaman pragmatis mahasiswa selepas lulus hanya mengejar zona nyaman kemapanan pribadi. “Pengalaman memperkaya ketika saya menyampaikan kepada mahasiswa, agar peduli pada masyarakat sekitar,” ujarnya.
Dosen yang mendapat penghargaan dosen berprestasi FHUI pada 2008 ini mengaku semua ongkos yang keluar untuk “petualangan” berkarya keliling dunia, didapat melalui program beasiswa ditambah sebagian kecil dari isi kantongnya. “Kalau diusahakan, selalu ada jalan,” katanya sembari tertawa.
Ia mengakui bahwa pemasukannya tidak akan pernah cukup membiayai semua karyanya, namun dengan usaha serius mencari peluang hibah dana dan beasiswa, ia berhasil merasakan manfaatnya.
Di luar negeri, Heru pernah dipercaya sebagai Executive Committee World Society of Victimology dan rutin menjadi dosen tamu di Thailand dan Jepang. Saat ini, Heru masih dipercaya sebagai Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI). Kursus-kursus HAM mulai dari yang diselenggarakan Amnesty Internasional hingga lembaga-lembaga internasional lainnya, puas ia lahap di usia yang baru berkepala empat.
Di akhir perbincangan santai di rumahnya di pinggiran Jakarta, pendiri Lembaga Bantuan Hukum Pusat Advokasi Hak Asasi Manusia (PAHAM) ini mengaku bersyukur pada Tuhan atas semua capaiannya. Menurutnya, dirinya bukan tipe mahasiswa berprestasi semasa kuliah. Heru cenderung dikenal sebagai aktivis mahasiswa dengan aktivitasnya sebagai Wakil Ketua Senat Fakultas serta Ketua Unit Kerohanian Islam semasa kuliah.
Dengan rendah hati ia menyatakan semua yang dicapainya sebagai kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. “Saya beruntung, Alhamdulillah,” tambah pria empat anak penggemar naik gunung ini.
Semangat berpetualang Heru tak lepas dari didikan orangtua. Lahir sebagai “anak kolong”, ayah Heru yang berdinas sebagai prajurit militer mengajarinya untuk bermental tangguh sejak dini. Dikirim ke sekolah Katolik semasa SMP, ia dibiasakan hidup dalam lingkungan plural bernuansa Bhineka Tunggal Ika.
Lelaki yang juga tercatat sebagai relawan kemanusiaan untuk misi ke Poso dan Aceh di era orde baru ini mengatakan agar jangan pernah merasa puas dengan zona nyaman, meskipun tidak boleh lupa untuk selalu bersyukur.