Pergantian Pimpinan DPR
Pemberitaan seputar parlemen merupakan salah satu tema yang paling banyak mendapat tempat di media massa. Tapi, beritanya tidak semua terkait fungsi DPR sebagai tempat pembentukan legislasi, pelaksana pengawasan terhadap pemerintah, dan pemberi persetujuan anggaran negara.
Yang kian mengkhawatirkan adalah, publik dipaksa membuang energi untuk berdebat tentang kehadiran pimpinan DPR di kampanye Donald Trump, papa minta saham, kocok ulang pimpinan, dan permintaan pergantian pimpinan DPR oleh PKS.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk menghemat energi dengan mengusulkan penyederhanaan masalah. Pimpinan DPR sekarang sedang berhadapan dengan usulan pergantian salah satu pimpinan (Fahri Hamzah) yang diajukan partainya.
Sebaiknya, pimpinan DPR merespon persoalan ini dengan sederhana sesuai peraturan. Jika melihat UU No. 17 Tahun 2014 yang mengatur kelembagaan DPR (UU MD3), dinyatakan bahwa pimpinan DPR tidak terlepas dari partai politiknya.
Mereka diusulkan oleh fraksinya (Pasal 4 ayat (4)), dapat diberhentikan oleh partainya (Pasal 87 ayat (2) huruf d dan e), bahkan di Pasal 87 ayat (4) disebutkan, “Dalam hal salah saeorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama.” Pembentuk UU ingin memastikan pimpinan DPR terikat oleh parpolnya dan menjadi hak partai untuk pengusulan dan perubahan kedudukan dan pimpinan DPR.
Dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang merupakan pengaturan lebih lanjut tentang kelembagaan DPR terdapat pengaturan serupa dengan mekanisme lebih rinci. Namun, secara prinsip kedudukan fraksi atau parpol sebagai pihak yang mengusulkan dalam pemilihan dan pergantian tidak berbeda dengan pengaturannya. UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR menyebutkan, pimpinan DPR dapat diberhentikan karena alasan yang jika dibuat kategorisasi dibagi menjadi tiga jenis kondisi.
Pertama, pimpinan DPR diberhentikan karena alasan personal, yaitu tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama tiga bulan berturut-turut tanpa memberikan keterangan (Pasal 37 huruf a). Kedua, pimpinan DPR diberhentikan karena melakukan pelangggaran yang dibagi menjadi tiga jenis, pelanggaran sumpah atau kode etik, pelanggaran ketentuan larangan dalam UU MD3, dan pelanggaran hukum (Pasal 37 huruf b, c, dan f).
Ketiga, pimpinan DPR diberhentikan karena kehendak partainya. Kategori ini disebutkan dalam UU dan Peraturan Tata Tertib yang terbagi menjadi tiga jenis, yaitu diusulkan diganti oleh parpolnya, ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya, dan diberhentikan sebagai anggota parpol (Pasal 36 huruf d, e, dan g).
Alasan pemberhentian untuk kategori pertama dan kedua tidak banyak kontroversi. Kategori pertama bisa dibuktikan dari keberadaaan pimpinan dalam aktivitas DPR. Kategori kedua, pelaksanaannya menunggu putusan lembaga peradilan untuk menerapkan alasan itu, baik peradilan pidana untuk pelanggaran hukum ataupun mahkamah kehormatan dewan untuk pelanggaran sumpah atau kode etik dan pelanggaran terhadap larangan dalam UU MD3.
Untuk alasan kategori ketiga seharusnya juga mimim kontroversi karena pengaturan masalah ini cukup lengkap. Pembentuk UU dan tata tertib DPR memahami tingkatan pola hubungan anggota parpol yang menjadi pimpinan DPR dan parpolnya.
Tingkatan pertama, parpol dapat mengusulkan pergantian pimpinan DPR saja tanpa mengubah status keanggotaan sebagai anggota DPR atau keanggotaanya dalam partai. Tingkatan kedua, parpol menarik keanggotaan pimpinan sebagai anggota DPR yang akibatnya harus terjadi pergantian pimpinan karena pimpinan DPR harus diisi oleh yang berstatus anggota DPR. Dalam kategori ini, keanggotaannya di partai tetap melekat.
Tingkatan ketiga, parpol memberhentikan pimpinan dimaksud sebagai anggota partainya, sehingga kehilangan status anggota DPR dan berimplikasi kehilangan jabatannya sebagai pimpinan DPR. Dalam tingkatan ini, dia kehilangan tiga status pimpinan DPR, anggota DPR, dan anggota partai.
Alasan kategori ini disimpulkan dalam frasa “pimpinan DPR diberhentikan karena kehendak partai politik dari mana ia berasal”. UU MD3 dan Peraturan Tata Tertib DPR memberi posisi menentukan bagi parpol untuk anggotanya yang pimpinan DPR. Pemberian tingkatan ini ingin menjelaskan terdapat tiga jenis hubungan parpol dengan anggotanya yang jadi pimpinan DPR.
Pada tingkatan pertama terjadi pergantian pimpinan DPR dengan mekanisme paling sederhana. Parpol membuat keputusan ekslusif, seperti pergantian di alat kelengkapan DPR lain. Mekanisme melaksanakan usulan partai mengganti pimpinan semuanya terjadi di DPR, tak perlu keterlibatan lembaga lain.
Tidak seperti pada tingkatan ketiga ketika yang memungkinkan perselisihan di pengadilan. Pengujian atas keputusan partai hanya bisa di rapat paripurna yang diberi kewenangan menyetujui dan menetapkan. Namun, paripurna tetap tak bisa memutuskan menetapkan anggota di luar parpol dari pimpinan yang digantikan karena ada ketentuan di Pasal 7 ayat (4) UU MD3 bahwa pimpinan yang diganti harus dari partai sama.
Agenda menyetujui dan menetapkan pergantian pimpinan diusulkan pimpinan DPR di rapat paripurna. Sebenarnya, pimpinan DPR bisa dengan sederhana melaksanakan pergantian pimpinan dengan meneruskan usulan partai ke rapat paripurna dan membiarkan paripurna menentukan putusannya.
Menjadi sulit jika pimpinan DPR tidak hanya bertindak sebagai alat kelengkapan dewan yang memfasilitasi pelaksanaan mekanisme kelembagaan dewan, bahkan ikut campur masalah internal parpol. Pimpinan akan menunda atau menolak mengagendakan pergantian pimpinan.
Walaupun, seharusnya berdasar UU dan Tata Tertib DPR tidak ada alasan bagi pimpinan menghalangi partai mengusulkan pergantian anggotanya yang pimpinan DPR. Tak ada mekanisme apa pun yang perlu ditunggu penyelesaiannya, pengujian terhadap agenda ini hanya rapat paripurna dewan.
Putusan pimpinan DPR menunda atau tak mengagendakan usulan itu di rapat paripurna bisa dikatakan menghalangi kedaulatan anggota DPR, bahkan ikut campur internal parpol. Pimpinan DPR memperlihatkan diri pada yang bukan kewenangannya.
Kondisi ini bisa menjadi preseden buruk dan memicu ketidakpercayaan yang semakin surut kepada mereka. Dalam kasus usulan pergantian pimpinan DPR dari Fahri Hamzah kepada Ledia Hanifa oleh PKS, pimpinan DPR seharusnya melaksanakan dengan sederhana seperti digambarkan di atas.
Kepada pimpinan DPR, PKS mengusulkan pergantian pimpinan yang menjadi haknya sebagaimana diatur di UU MD3 dan Tata Tertib DPR. Pimpinan DPR tidak beralasan menunggu proses pengadilan karena pengadilan pun tak berwenang memutuskan usulan partai pergantian pimpinan DPR.
Jika pimpinan memosisikan diri sebagai pimpinan kolektif yang memfasilitasi pelaksanaan fungsi DPR, hal ini akan membantu mereka tidak terlibat kontroversi politik. Pemahaman pimpinan DPR seperti ini juga akan menghalangi isu lain, termasuk kontroversi kocok ulang pimpinan.
Mari kita menunggu lahirnya agenda-agenda besar dan berdampak terhadap kesejahteraan rakyat dari gedung dewan, bukan isu personal, konflik politik internal, penyelewengan moral, dan isu lain yang notabene bukan pelaksanaan fungsi DPR.
Hamid Chalid
Dosen Hukum Tata Negara
Wakil Rektor Universitas Indonesia
Dari Republika Cetak Senin, 09 Mei 2016