Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengkritik Rancangan Undang-Undang Mineral Batu Bara yang disusun oleh DPR dan pemerintah.
Dalam paparannya, Hikmahanto pertama-tama menekankan dan mengevaluasi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 , di mana dari pihak pemerintah sendiri banyak keluhan karena terdapat aturan yang tak bisa dan sulit dijalankan.
Ini perlu dilihat lagi apa yang membuat sebuah undang-undang bisa tak jalan, apakah perumusan aturannya atau sisi law enforcement yang kurang. Jika tidak berhati-hati dalam menyusun regulasi, ia khawatir hal serupa juga akan terjadi di RUU Minerba.
Pemerintah, kata dia, untuk menyusun regulasi yang menyangkut pengaturan sumber daya alam saat ini perlu mengubah mindset agar aturan berjalan efektif dan menguntungkan bagi Indonesia.
“Ubah mindset, untuk hal ini regulator perlu terlebih dulu ubah mindset. Mindset yang terbawa adalah masa lalu, tentu kondisi 1967 beda dengan sekarang, beda mindsetnya jangan disamakan terus,” kata Hikmahanto, dalam konferensi pers virtual, Rabu (29/4/2020).
Tahun 1967 yang ia maksud adalah tahun undang-undang minerba Indonesia disusun saat itu, sebelum akhirnya dilahirkan UU Nomor 4 Tahun 2009.
Kondisi saat 1967, Indonesia kesulitan pembiayaan dan keahlian sehingga posisi untuk tawarkan investasi sangat lemah. Tapi sekarang posisi Indonesia sudah jauh beda dibanding 50 tahun lalu. “Posisi pasti lebih bagus.”
Salah satu contoh yang ia singgung adalah soal aturan perpanjangan kontrak, menurutnya yang membuat tidak pasti dan investor jadi berharap adalah bunyi aturannya.
Ia memberi contoh soal nasib kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dikatakan akan selesai setelah 30 tahun.
Kontrak yang sudah habis ini kemudian mendapatkan kepastian untuk bisa diperpanjang lagi. Menurutnya jika kontrak sudah berakhir mestinya ya berakhir saja. Kecuali jika pemerintah ingin memperpanjang, bukan malah memberikan kepastian untuk diperpanjang.
“Bukan kita menjamin bahwa 10 tahun. Saya melihat siapa investor, mereka tahu ada limitasi. Sehingga mereka melakukan investasi berdasarkan limitasi yang ada,” ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Rabu, (29/04/2020).
Posisi pemerintah, tidak untuk menjamin perpanjangan kontrak investor, bukan memberikan semacam janji perpanjangan 10 tahun. “Investor ketika lihat regulasi harus tahu ada limitasi, sehingga usaha berdasar limitasi. Jangan sampai melihat bahwa perpanjangan itu given, ini mesti diwaspadai.”
Lebih lanjut ia mengatakan, dalam konteks ini mindset dari regulator harus dirubah. Menurutnya banyak yang mengadu padanya jika banyak investor yang tidak mau datang ke Indonesia untuk eksplorasi.
Investor, kata Prof Hikmahanto ada tiga tipe. Pertama, manufacturing apakah harga buruh kompetitif, perizinan kepastian dan lain-lain. Kedua, investor manufacturing dan melihat pasar. Ketiga masuk dalam bidang-bidang eksploitasi. Investor tipe pertama dan kedua elastisitas terhadap perubahan aturan sangat tinggi, jika ada perubahan bisa keluar dan mengancam.
“Kita bisa membuat aturan yang sangat berpihak ke Indonesia. Sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, di lapangan terjadi hilirisasi banyak perusahaan asing. Lapangan pekerjaan banyak perusahaan bawa tenaga kerja luar, ini udah diaddress belum di UU Minerba?,” tegas Hikmahanto.
Kewenangan ditarik dari Kabupaten ke Provinsi pusat, ia mengaku setuju, namun perlu diatur dengan baik jangan sampai kabupaten/kota yang memberikan izin nanti dipermasalahkan. Nantinya akan merepotkan setelah diberikan otonomi diambil kembali malah jadi masalah.
“Pemerintah pusat yang pegang karena dunia pertambangan ada investasi luar negeri masih terikat aturan main investasi internasional, nanti yang berhadapan bukan pemerintah daerah tapi pemerintah pusat,” jelasnya.