Materi muatan RUU Cipta Kerja terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Kini, sejumlah catatan kritis datang dari kalangan akademisi. Salah satu substansi yang menjadi sorotan terhadap isu lingkungan hidup dan SDA dalam RUU Cipta Kerja yakni soal konsep strict liability dan pengaturan penerapan sanksi.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Andri Gunawan Wibisana, melihat naskah akademik RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya frasa “bertanggung jawab mutlak” menjadi “bertanggung jawab” dan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” menjadi “berdasarkan pembuktian yang sah.”
Alasan yang digunakan untuk menghapus konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja yaitu “karena setiap pidana harus dijatuhkan karena adanya pembuktian.” Menurut Andri, dalih naskah akademik yang digunakan untuk mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 keliru memahami strict liability.
Paling penting, kata dia, strict liability tidak berkaitan dengan pidana, tapi perdata, ini bukti kesalahan fatal naskah akademik RUU Cipta Kerja. Andri menegaskan strict liability sudah diadopsi banyak negara dan diakui dalam hukum lingkungan di Indonesia sejak 1982. “Penghapusan konsep strict liability merupakan kemunduran 40 tahun,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Pelemahan UU Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja: Suara dari Akademisi”, Kamis (3/9/2020). (Baca Juga: Tiga Indikasi State Capture Corruption dalam RUU Cipta Kerja)
Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi administratif yang diatur Pasal 76 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009. Sanksi paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 80 No.32 Tahun 2009 masih dipertahankan. Mengingat RUU Cipta Kerja menghapus izin lingkungan dan menggantinya dengan persetujuan lingkungan, kemungkinan tidak akan terjadi sanksi pencabutan izin lingkungan.
Berbeda dengan ketentuan UU No.32 Tahun 2009 yang secara tegas mengatur sanksi administratif, antara lain pembekuan atau pencabutan izin lingkungan. “RUU Cipta Kerja tidak tegas menjelaskan apa konsekuensi (sanksi, red) jika persetujuan lingkungan yang dicabut/dibatalkan,” paparnya.
Sanksi pidana terkait lingkungan hidup yang diatur RUU Cipta Kerja, menurut Andri sangat absurd. Misalnya, RUU Cipta Kerja mengubah banyak pasal pidana seperti Pasal 98, 99, 102, 104, 109 dan 110 UU No.32 Tahun 2009. Sanksi pidana pokok yang tersedia bagi sejumlah pasal itu berupa penjara. Padahal sanksi pidana bentuknya tidak hanya penjara tapi juga denda, dan sanksi pidana bagi korporasi tidak dapat berupa penjara/kurungan.
Dia menilai dampak yang ditimbulkan RUU Cipta Kerja karena mengubah banyak pasal pidana dalam UU No.32 Tahun 2009 yakni tidak mungkin lagi menerapkan pidana korporasi. Dan membuat penegakan hukum pidana menjadi tidak konsisten, misalnya Pasal 100, 101, 105, 106, 107, 108 UU No.32 Tahun 2009 yang tidak diubah RUU Cipta Kerja, ketentuan ini tetap dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi.
“Penerapannya nanti aneh, Pasal 98 ini sifatnya pelanggaran serius, tapi diutamakan penjatuhan sanksi administrasi. Sedangkan Pasal 102 sifatnya bukan pelanggaran serius, tapi bisa langsung dipidana,” bebernya.
Melihat ketentuan tersebut, Andri berpendapat RUU Cipta kerja tidak menganggap kegiatan yang membahayakan publik sebagai tindak pidana. Misalnya, pencemaran limbah tanpa izin. Padahal praktiknya di berbagai negara hal ini merupakan tindak pidana. Jika sanksi administrasi dipaksakan untuk tindakan pidana yang terjadi bukan saja bertentangan secara teori, tapi juga membuat runyam penegakan penegakan hukum administratif di Indonesia.
Menurut Andri, adalah penafsiran yang keliru terhadap dalih yang menyebut pengutamaan penerapan sanksi administratif dalam RUU Cipta Kerja sebagai bentuk pelaksanaan ultimum remedium (upaya terakhir). Penerapan ultimum remedium harus memperhatikan efektivitas pelaksanaan sanksi administratif. Sedangkan RUU Cipta Kerja acuannya bukan efektivitas, tapi kemampuan membayar denda bagi yang melanggar.
“Ini akan menimbulkan diskriminasi karena yang dipenjara nanti hanya orang yang tidak punya uang untuk membayar denda,” kritiknya.
Baginya, RUU Cipta Kerja mempersempit opsi untuk memilih sanksi karena yang diutamakan administratif. Seharusnya diatur secara proporsional antara sanksi administratif dan pidana. Pengaturan sanksi dalam RUU Cipta Kerja membuat pengenaan sanksi menjadi terbatas apakah administratif atau pidana.
Begitu pula pertanggungjawaban perdata yang diatur RUU Cipta Kerja menunjukan beleid ini nanti tak hanya memberikan kemudahan berusaha (perizinan) bagi investor, tapi juga memberi jaminan tidak ada konsekuensi hukum bila kegiatan usaha yang dilakukan nanti menimbulkan pencemaran dan kerusakan.
Jika pemerintah dan DPR tetap ngotot mengutamakan sanksi administratif dalam RUU Cipta Kerja, Andri mengusulkan agar dilakukan reformulasi defenisi “paksaan pemerintah” atau “uang paksa” sebagai sanksi administratif yang bersifat memulihkan pelanggaran. Kemudian “denda administratif” sebagai sanksi administratif yang bersifat menghukum.
Memunculkan persoalan
Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Wahyu Yun Santoso, mencatat sedikitnya ada 6 persoalan RUU Cipta Kerja terkait sektor lingkungan hidup. Pertama, penyederhanaan yang tidak rasional mulai dari naskah akademik. Kedua, kompleksitas adaptasi pengaturan. Ketiga, penghapusan izin lingkungan atas nama “kemudahan berusaha.” Keempat, pelemahan substansi dampak lingkungan. Kelima, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum. Keenam, pelemahan peran pemerintah daerah.
Wahyu menilai perizinan yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 sudah relatif baik karena izin lingkungan mengintegrasikan berbagai izin. Izin lingkungan berfungsi sebagai penapisan awal terhadap dampak lingkungan. Karena itu, sebelum mengantongi izin usaha, perusahaan harus terlebih dulu mengurus amdal dan izin lingkungan. “Izin lingkungan itu sebagai pengunci sebelum terbit izin usaha,” paparnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Nadia Astriani, berpendapat melalui RUU Cipta Kerja pemerintah akan menerbitkan banyak diskresi untuk memuluskan jalannya investasi. Tapi pandangan pemerintah terhadap pembangunan menjadi sangat sempit karena fokusnya hanya ekonomi.
Menurut Nadia, fungsi perizinan setidaknya ada 5 hal. Pertama, perencanaan, misalnya dimana lokasi yang boleh atau tidak untuk dilakukan kegiatan usaha. Kedua, pengendalian yakni mana kegiatan usaha yang boleh dan tidak serta persyaratannya. Ketiga, pemanfaatan, mengatur sejauh mana SDA yang boleh digunakan. Keempat, pengawasan, merupakan kewajiban pemerintah setelah menerbitkan izin. Kelima, anggaran, misalnya pemberian izin merupakan pemasukan bagi pemerintah daerah. Hal ini rawan diselewengkan dan di beberapa daerah izin limbah dan lahan diobral karena memberi pemasukan bagi daerah.
RUU Cipta Kerja mengatur hal baru terkait bentuk perizinan yaitu persetujuan, standar, dan pernyataan. Selama ini hanya ada 5 bentuk perizinan yang dikenal yaitu izin, dispensasi, lisensi, konsesi, dan rekomendasi yang semuanya menimbulkan akibat hukum. Tapi bentuk perizinan baru yang diatur RUU Cipta Kerja memunculkan persoalan bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dan pengawasannya.
Soal izin lingkungan yang dicabut melalui RUU Cipta Kerja, Nadia menegaskan izin lingkungan mengintegrasikan sejumlah izin. Jika mau menyederhanakan prosesnya, Nadia mengusulkan sejumlah perizinan terkait seperti limbah dan lain-lain perlu dimasukan dalam izin lingkungan, bukan malah menghapus izin lingkungan.
“Proses izin lingkungan relatif membutuhkan waktu yang lama karena minim data. Konsultan harus turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data. Data sangat dibutuhkan untuk menyusun dokumen lingkungan,” katanya.