Senin, 19 September 2022 – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Anna Erliyana, S.H., M.H. menjadi narasumber di Ombudsman Republik Indonesia (RI) dalam kegiatan “Diskusi Peranan Ombudsman RI dan Peradilan Tata Usaha Negara serta Penerapan Norma Fiktif Positif dan Fiktif Negatif dalam Pelayanan Publik” pada Rabu, 14 September 2022. Diskusi ini disambut langsung oleh Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Mohammad Najih, S.H., M.Hum., Ph.D.
Pemaparan yang dibawa oleh Prof. Dr. Anna ialah membahas bagaimana penerapan norma fiktif positif dan negatif terkait dalam peranan Ombudsman RI.
Prof. Dr. Anna menyampaikan bahwa sebagai akademisi harus memiliki lima nilai-nilai dasar hukum administrasi negara yang perlu menjadi pegangan untuk aparatur tata usaha negara yaitu: Lawfulness, Fairness, Rationality, Openness, dan Efficiency.
“Kita meyakini bahwa setiap lembaga memiliki nilai-nilai untuk dicapai, terkait dengan prestasi mereka atau kinerja mereka. Setelah nilai-nilai yang akan dicapai tentu merancang aturan dan standar apa yang dikehendaknya, sehingga ada penyamaan presepsi antara penyelenggara dan masyarakat sebagai konsumen dan pelayanan publik.” Ujar Prof. Dr. Anna
Menurut Prof. Dr. Anna Ombudsman tidak dapat melakukan investigasi terhadap mutu keputusan, yang dapat dilakukan adalah investigasi terhadap prosedur yang dilakukan aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang menimbulkan tuntutan oleh warga.
“Ini lah mengapa Ombudsman kental sekali dengan hukum administrasi negara karena kenapa, Ombudsman mengutamakan prosedur. Soal hasil itu nanti dulu, namun jika prosedur dijalankan dengan baik dan hasil pun akan mengikuti. Karena tidak mungkin jika hasilnya betul lalu prosedurnya salah. Kalau prosedur itu kan dalam kewenangan kita tetapi kalau hasil kadang-kadang ada pihak luar yang mempengaruhi.” tambah Prof. Dr. Anna
Setiap otoritas administrasi (badan atau pejabat tata usaha negara) yang menyelenggarakan pelayanan publik wajib melayani setiap permohonan masyarakat yang diajukan kepadanya. Kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum itu melahirkan prinsip bahwa pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada warga negara dengan alasan tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Penerapan prinsip fiktif positif dalam pelayanan publik merupakan aktualisasi peningkatan kualitas pelayanan publik seiring dengan tuntutan paradigma pelayanan prima. (Humas/aniapr)